Kompetensi Guru

8:04 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

Kinerja guru mempunyai spesifikasi/kriteria tertentu. Kinerja guru dapat
dilihat dan diukur berdasarkan spesifikasi/kriteria kompetensi yang harus
dimiliki oleh setiap guru.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Guru. Dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Guru dikembangkan secara
utuh dari 4 kompetensi utama, yaitu: (1) kompetensi pedagogik, (2) kepribadian,
(3) sosial, dan (4) profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi
dalam kinerja guru.
1. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru berkenaan
dengan karakteristik siswa dilihat dari berbagai aspek seperti moral,
emosional, dan intelektual.
Hal tersebut berimplikasi bahwa seorang guru harus mampu menguasai
teori belajar dan prinsip-prinsip belajar, karena siswa memiliki karakter, sifat,
dan interest yang berbeda.
Berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum, seorang guru harus mampu
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan masing-masing dan
disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Guru harus mampu mengoptimalkan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan
kemampuannya di kelas, dan harus mampu melakukan kegiatan
penilaian terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
Kemampuan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan aspek-aspek
yang diamati, yaitu:
a. Penguasaan terhadap karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral,
sosial, kultural, emosional dan intelektual.
b. Penguasaan terhadap teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik.
5
c. Mampu mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan
yang diampu.
d. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.
e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik.
f. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimiliki.
g. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
h. Melakukan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, memanfaatkan
hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
i. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
2. Kompetensi Kepribadian
Pelaksanaan tugas sebagai guru harus didukung oleh suatu perasaan
bangga akan tugas yang dipercayakan kepadanya untuk mempersiapkan generasi
kualitas masa depan bangsa. Walaupun berat tantangan dan rintangan
yang dihadapi dalam pelaksanaan tugasnya harus tetap tegar dalam melaksakan
tugas sebagai seorang guru.
Pendidikan adalah proses yang direncanakan agar semua berkembang
melalui proses pembelajaran. Guru sebagai pendidik harus dapat mempengaruhi
ke arah proses itu sesuai dengan tata nilai yang dianggap baik dan berlaku
dalam masyarakat.
Tata nilai termasuk norma, moral, estetika, dan ilmu pengetahuan, mempengaruhi
perilaku etik siswa sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat.
Penerapan disiplin yang baik dalam proses pendidikan akan menghasilkan
sikap mental, watak dan kepribadian siswa yang kuat. Guru dituntut harus
mampu membelajarkan siswanya tentang disiplin diri, belajar membaca,
mencintai buku, menghargai waktu, belajar bagaimana cara belajar, mematuhi
aturan/tata tertib, dan belajar bagaimana harus berbuat. Semuanya itu
akan berhasil apabila guru juga disiplin dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Guru harus mempunyai kemampuan yang berkaitan dengan kemantapan
dan integritas kepribadian seorang guru. Aspek-aspek yang diamati adalah:
6
a. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan
nasional Indonesia.
b. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan
bagi peserta didik dan masyarakat.
c. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa.
d. Menunjukan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi
guru, dan rasa percaya diri.
e. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
3. Kompetensi Sosial
Guru di mata masyarakat dan siswa merupakan panutan yang perlu dicontoh
dan merupkan suritauladan dalam kehidupanya sehari-hari. Guru perlu
memiliki kemampuan sosial dengan masyakat, dalam rangka pelaksanaan
proses pembelajaran yang efektif. Dengan dimilikinnya kemampuan tersebut,
otomatis hubungan sekolah dengan masyarakat akan berjalan dengan lancar,
sehingga jika ada keperluan dengan orang tua siswa, para guru tidak akan
mendapat kesulitan.
Kemampuan sosial meliputi kemampuan guru dalam berkomunikasi,
bekerja sama, bergaul simpatik, dan mempunyai jiwa yang menyenangkan.
Kriteria kinerja guru yang harus dilakukan adalah:
a. Bertindak objektif serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin,
agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial
ekonomi.
b. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
c. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia
yang memiliki keragaman sosial budaya.
d. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara
lisan dan tulisan atau bentuk lain.
4. Kompetensi Profesional
Kompetensi Profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru dalam
perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Guru mempunyai tu7
gas untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran,
untuk itu guru dituntut mampu menyampaikan bahan pelajaran.
Guru harus selalu meng-update, dan menguasai materi pelajaran yang disajikan.
Persiapan diri tentang materi diusahakan dengan jalan mencari informasi
melalui berbagai sumber seperti membaca buku-buku terbaru, mengakses dari
internet, selalu mengikuti perkembangan dan kemajuan terakhir tentang
materi yang disajikan.
Kompetensi atau kemampuan kepribadian yaitu kemampuan yang harus
dimiliki guru berkenaan dengan aspek:
a. Dalam menyampaikan pembelajaran, guru mempunyai peranan dan tugas
sebagai sumber materi yang tidak pernah kering dalam mengelola proses
pembelajaran. Kegiatan mengajarnya harus disambut oleh siswa sebagai
suatu seni pengelolaan proses pembelajaran yang diperoleh melalui latihan,
pengalaman, dan kemauan belajar yang tidak pernah putus.
b. Dalam melaksakan proses pembelajaran, keaktifan siswa harus selalu diciptakan
dan berjalan terus dengan menggunakan metode dan strategi mengajar
yang tepat. Guru menciptakan suasana yang dapat mendorong siswa
untuk bertanya, mengamati, mengadakan eksperimen, serta menemukan
fakta dan konsep yang benar. Karena itu guru harus melakukan kegiatan
pembelajaran menggunakan multimedia, sehingga terjadi suasana
belajar sambil bekerja, belajar sambil mendengar, dan belajar sambil bermain,
sesuai kontek materinya.
c. Di dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru harus memperhatikan
prinsip-prinsip didaktik metodik sebagai ilmu keguruan. Misalnya bagaimana
menerapkan prinsip apersepsi, perhatian, kerja kelompok, korelasi
dan prinsip-prinsip lainnya.
d. Dalam hal evaluasi, secara teori dan praktik, guru harus dapat melaksanakan
sesuai dengan tujuan yang ingin diukurnya. Jenis tes yang digunakan
untuk mengukur hasil belajar harus benar dan tepat. Diharapkan pula guru
dapat menyusun butir secara benar, agar tes yang digunakan dapat memotivasi
siswa belajar.
Kemampuan yang harus dimiliki guru dalam proses pembelajaran dapat
diamati dari aspek-aspek:
8
a. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung
mata pelajaran yang diampu.
b. Menguasai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran/
bidang pengembangan yang diampu.
c. Mengembangkan materi pelajaran yang diampu secara kreatif.
d. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan
tindakan reflektif
e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi
dan mengembangkan diri

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Proses Pembentukan Budaya Organisasi

7:38 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

Proses terbentuknya budaya dalam organisasi yakni munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi.
Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus.
Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan setengah perbaikan dari yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu, usaha dan uang

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Pendidikan sebagai Investasi

7:35 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain
Juga telah digambarkan bahwa
Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala sektor.
Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikanpun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu.
Cara pandangan ini sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Nilai Ekonomi Pendidikan

7:33 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu.
Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”, kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas (15/12/2004). Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang iperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang dianut Indonesia.
Namun, sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara bekembang sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001) menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990 menjadi lebih dari separuhnya.
Nyatanya, kenaikan dari tingkat pendidikan di negara-negara berkambang tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada “keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.
Kebanyakan negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut. Kasus ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Dalam periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.
Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antar negara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi stndar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.
Asumsi darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Disisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.
Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali produktivitas lebih ditentukan oleh pengaaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.
Orang bisa mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Intervensi Ekonomi Secara Spesifik Pada Pendidikan
Pendapat yang mengataan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat sama sekali tidak berdasar secara impiris. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan secara hati-hati.
Bentuk kehati-hatian adalah tidak terjeba untuk mengukut peranan pemerintah dari besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besar, melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan bagaimana. Di beberapa negara Asia yang sedang berkembang meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah, dari hasil studi ADB menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an dalam laporan World Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan oefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu.
Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian bat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan disana.
Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diteraka secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.
Menurut Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi di pengembangan SDM, karena pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama 17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti tertuang pada pasal 31 Ayat 4.
Investasi dibidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelathan harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan kontribusi dari lintas sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Faktor yang mempengaruhi Biaya Pendidikan

12:26 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

a. Faktor yang Mempengaruhi Biaya Pendidikan.
“Lembaga pendidikan sebagai produsen jasa pendidikan, seperti halnya pada bidang usaha lainnya menghadapi masalah yang sama, yaitu biaya produksi, tetapi ada beberapa kesulitan khusus mengenai penerapan perhitungan biaya produksi. J Hallack (2004:63)” mengemukakan tiga macam kesulitan, yaitu berkenaan dengan (1) definisi biaya produksi, (2) identifikasi transaksi ekonomi yang berhubungan dengan pendidikan, dan (3) suatu kenyataan bahwa pendidikan mempunyai sifat sebagai pelayan umum.
Produksi pendidikan diartikan sebagai unit pelayanan khusus (units of specific services). Unit output harus meliputi dimensi waktu, seperti tahun belajar atau jam belajar agar biaya-biaya dalam mempersiapkan output dibandingkan input. Input meliputi barang-barang yang dibeli dan orang-orang yang disewakan untuk menyediakan jasa itu. Diantara masukan (input) yang penting dalam sistem bidang pendidikan ruang, peralatan, buku, material, dan waktu para guru dan karyawan lain. Output menjadi hasil tambahan yang diakibatkan oleh suatu kenaikan biaya pendidikan yang diterima disekolah, selagi masukan (input) menjadi bagian biaya kenaikan itu. Suatu unsur biaya tambahan, yang tidak hadir di fungsi produksi yang terdahulu, menjadi biaya kesempatan dari siswa.
Analisis mengenai biaya produksi pendidikan pada dasarnya menggunakan model teori ”input-proses-output” dimana sekolah dipandang sebagai suatu sistem industri jasa.
Prof Mark Blaug, (idochi, 2004:182) ”……Kita menghadapi suatu kelemahan yang merembes pada fungsi produksi pendidikan, bahwa hubungan antara inputs sekolah disatu pihak, dan output sekolah dipihak lain yang secara konvensional diukur melalui skors-skors achievement.”
Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya dan pembiayaan pendidikan sekolah hal ini dipengaruhi oleh:
1. Kenaikan harga (rising prices)
2. Perubahan relatif dalam gaji guru (teacher’s sallaries)
3. Perubahann dalam populasi dan kenaikannya prosentasi anak disekolah negeri
4. Meningkatnya standard pendidikan (educational standards)
5. Meningkatnya usia anak yang meninggalkan sekolah
6. Meningkatnya tuntutan terhadap pendidikan lebih tinggi (higher education)
b. Macam-Macam Jenis Biaya
Beberapa jenis dan golongan biaya pendidikan yang dapat penulis paparkan berikut ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut mengenai konsep pembiayaan pendidikan.
i. Biaya Langsung dan Tidak langsung (Direct and Indirect Cost)
Ø Biaya langsung (direct cost) diartikan sebagai pengeluaran uang yang secara langsung membiayai penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Anwar (1991:30).
Ø Biaya yang secara langsung menyentuh aspek dan proses pendidikan. Contohnya biaya untuk gaji guru, dan pengadaan fasilitas belajar mengajar Gaffar (1991:57).
Ø Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa sendiri Fattah (2000:23).
ii. Biaya tidak langsung (indirect cost)
diartikan sebagai biaya yang umum nya meliputi hilangnya pendapatan peserta didik karena sedang mengikuti pendidikan (earning foregone by students), bebasnya beban pajak karena sifat sekolah yang tidak mencari laba (cost of tux exemption), bebas nya sewa perangkat sekolah yang tidak dipakai secara langsung dalam proses pendidikan serta penyusutan sebagai cermin pemakaian perangkat sekolah yang sudah lama dipergunakan (implicit rent and depreciation) Fattah (2000:24).

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Efektivitas Kepemimpinan

1:51 PM URAY ISKANDAR 2 Comments

a. Pengertian Kepemimpinan
Seorang pemimpin mendesain pekerjaan beserta mekanismenya, didukung staf yang melaksanakan tugas sesuai kemampuan dan keahliannya. Pemimpin menggunakan pengaruh atas dasar wewenang atu kekuasaannya dalam menggerakkan sistem sosial guna mencapai tujuan. Jadi kepemimpinan sebagai menciptakan visi, mempengaruhi sikap, perilaku, pendapat, nilai-nilai, norma dan sebaginya dari pengikut. Senada dengan itu Martin J. Canon (1982) dalam Syaiful Sagala mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan atasan mempengaruhi perilaku bawahan maupun perilaku kelompok dalam organisasi.
Menurut Ngalim Purwanto ( 2009: 26 ) bahwa kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dn dapat melaksanakan tugas-tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ad kegembiraan bathin serta merasa tidak terpaksa.
Sedangkan menurut Sudarwan Danim ( 2010: 6 ) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasikan dan memberi arah kepada individu atau kelompok yang tergabung di dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Selanjutnya menurut Wahyudi ( 2009 :120 ) bahwa pengertian kepemimpinan adalah sebagai kemampuan seseorang dalam menggerakkah, mengarahkan sekaligus mempengaruhi pola pikir, cara kerja setiap anggota agar bersikap mandiri dalam bekerja terutama dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan percepatan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Berikutnya menurut Dadi Permadi, dkk ( 2010 : 23 ) kepemimpinan merupakan proses kegiatan pemimpin untuk mempengaruhi individu atau kelompok yang dipimpinnya dalam usah mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
Becoming a naturally effective leader does not depend upon your ability to emulate the behaviors and attitudes of the “great leaders” you read about in books. Becoming a naturally effective leader simply requires you to stop trying to be someone else or some combination of other people. ( Gayla Hodges, President and Principal, Change Agents, Inc. Akses tanggal 7 Maret 2011 )

Menjadi seorang pemimpin alami yang efektif tidak tergantung pada kemampuan Anda untuk meniru perilaku dan sikap dari "pemimpin besar" anda baca dibuku. Menjadi seorang pemimpin alami yang efektif hanya mengharuskan Anda untuk berhenti mencoba menjadi orang lain atau beberapa kombinasi dari orang lain. Tentunya pemimpin efektif mulai dengan menjadi diri sendiri.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mengkoordinasikan segala kegiatan serta memberi arahan kepada individu atau kelompok kerja dalam rangka mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien.



b. Teori Kepemimpinan
1) Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory )
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan beerangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukannya diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan “the greatma theory” Dalam perkemabangannya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwaa sifat – sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan, akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain ; sifat fisik, mental dan kepribadian.
2) Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecenderungan kearah dua hal :
(a) Konsiderasi yaitu kecenderungan pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti: membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia bekonsultasi dengan bawahan.
(b) Struksur inisiasi yaitu kecenderungan seorang pemimpin yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat, bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil apa yang akan dicapai.Jadi berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi juga. Kemudian juga timbul teori kepemimpinan situasi dimana seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.
3) Teori kontingensi
Mulai berkembang tahun 1962, teori ini menyatakan bahwa tidak ada satu sistem manajemen yang optimum, sistem tergantung pada tingkat perubahan lingkungannya. Sistem ini disebut sistem organik (sebagai lawan sistem mekanistik), pada sistem ini mempunyai beberapa ciri:
(a) Substansinya adalah manusia bukan tugas.
(b) Kurang menekankan hirarki
(c) Struktur saling berhubungan, fleksibel, dalam bentuk kelompok
(d) Kebersamaan dalam nilai, kepercayaan
(e) Norma Pengendalian diri sendiri, penyesuaian bersama\
4) Teori Behavioristik
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa manajemen yang efektif bila ada pemahaman tentang pekerja – lebih berorientasi pada manusia sebagai pelaku. Beberapa tokohnya, antara lain:
(a) Maslow
Individu mempunyai 5 kebutuhan dasar yaitu physical needs, security needs, social needs, esteem needs, self actualization needs. Kebutuhan tersebut akan menimbulkan suatu keinginan untuk memenuhinya. Organisasi perlu mengenali kebutuhan tersebut dan berusaha memenuhinya agar timbul kepuasan.
(b) Douglas Mc Gregor (1906-1964)
Teori X dan teori Y. Teori X melihat karyawan dari segi pessimistik, manajer hanya mengubah kondisi kerja dan mengektifkan penggunaan rewards & punishment untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Teori Y melihat karyawan dari segi optimistik, manajer perlu melakukan pendekatan humanistik kepada karyawan, menantang karyawan untuk berprestasi, mendorong pertumbuhan pribadi, mendorong kinerja.
5) Teori Humanistik
Teori ini lebih menekankan pada prinsip kemanusiaan. Teori humanistic biasanya dicirikan dengan adanya suasana saling menghargai dan adanya kebebasan. Teori Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan “motivated organism”. Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel pokok, yaitu;
(a) kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya
(b) organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan.
(c) interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama.
Seorang pemimpin diharapkan memiliki kecakapan teknis maupun manajerial yang profesional. Kecakapan teknis sesuai dengan bidangnya, sedangkan kecakapan manajerial menuntut perannya dalam memimpin orang lain. Ketrampilan tersebut terpancar dalam tindakannya seperti menyeleksi, mendidik, memotivasi, mengembangkan sampai memutuskan hubungan kerja.
Oleh karena itu kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu organisasi, karena kepemimpinan yang efektif dapat menggerakkan, mengarahkan dan mendorong orang untuk lebih berusaha mengerahkan segenap kemampuannya dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Moeljono.2003:54) menyatakan bahwa konsep kepemimpinan sebagai berikut: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Maksudnya, seorang pemimpin hendaknya dapat membentuk, memperhatikan, memelihara, dan menjaga kehendak dan keperluan atasan kepada bawahan dengan baik, mampu bekerja sama, mencapai tujuan bersama (keberhasilan tim). Jadi kepemimpinan dalam pengambilan keputusan merupakan proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga terjadi peningkatan dan produktivitas kerjanya lebih baik dan ada peningkatan.
Kepala sekolah adalah pemimpin tertinggi di suatu sekolah. Setiap pemimpin mempunyai pola yang berbeda-beda dalam menerapkan kepemimpinannya. Cara mempengaruhi, mengarahkan, dan mendorong pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpinnya berbeda-beda. Perbedaan pola kepemimpinan itulah yang sering disebut sebagai tipe kepemimpinan.

c. Pemimpin efektif
Menjadi seorang pemimpin yang efektif secara alami hanya memerlukan seseorang untuk berhenti berusaha menjadi orang lain atau beberapa kombinasi dari orang lain. Tentu saja pemimpin yang efektif mulai dengan menjadi diri sendiri. Menurut Gayla Hodge (2009) dalam Sudarwan Danim bahwa karakteristik pemimpin yang efektif adalah sebagai berikut :
1) Memiliki Visi, pemimpin dapat melihat kemana organisasi harus pergi sebelum orang lain melakukannya.
2) Memiliki fokus untuk mencapai tujuan, pemimpin melakukan apa yang masuk akal dan bekerja dengan basis keunggulan
3) Memenangi dukungan, memanfaatkan gaya dan aktivitas yang paling cocok untuk mereka sebagai individu.
4) Secara alami lebih terfokus untuk menjadi daripada melakukannya, pemimpin mengambil waktu untuk benar-benar tahu diri mereka sendiri.
5) Tahu bagaimana mereka bekerja, pemimpin belajar dari keberhasilan dan kegagalan, mengasah kemampuan, mengintegrasikan pengalaman, keteranpilan, kompetensi dan kesadaran dirinya.
6) Secara alami tahu bagaimana memanfaatkan kekuatan
7) Tidak mencoba menjadi orang lain, seorang pemimpin memahami bahwa bekerja untuk diri sendiri hanya seketika berada pada posisi terbaiknya.
8) Mencari orang-orang dengan berbagai ciri efektivitas alam, pemimpin tidak hanya menghargai orang lain, melainkan juga bergantung pada orang lain untuk mengisi kekosongan.
9) Menarik orang lain, pemimpin dari orang-orang ingin bekerja untuk dengan mereka.
10) Mengembangkan kekuatan, dimana pemimpin membangun kekuatan diri sendiri sambil berusaha untuk memperbaiki kelemahannya.
3. Kinerja guru
a. Pengertian
Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Semua komponen lain, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, biaya, dan sebagainya tidak akan banyak berarti apabila esensi pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik tidak berkualitas. Semua komponen lain, terutama kurikulum akan “hidup” apabila dilaksanakan oleh guru. Begitu pentingnya peran guru dalam mentransformasikan input-input pendidikan, sampai-sampai banyak pakar menyatakan bahwa di sekolah tidak akan ada perubahan atau peningkatan kualitas tanpa adanya perubahan dan peningkatan kualitas guru. Bahkan guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melaui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut peranan guru sulit digantikan oleh orang lain.
Bernardin dan Russel (dalam Ruky, 2002:15) memberikan pengertian atau kinerja sebagai berikut : “performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during time period. Prestasi atau kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama kurun waktu tertentu ( http://teorionline.wordpress.com/2010/01/25/teori-kinerja/ Akses tanggal 20 Desember 2010)
Menurut Syafri Mangkuprawira dan Aida Vitayala, dalam Martinis Yamin ( 2010:129 ) kinerja merupakan suatu konstruksi multidimensi yang mencakup banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut terdiri dari intrinsik yakni guru dan ekstrinsik kepemimpinan, sistem, tim dan situasional.
Robert Bacal mengemukakan bahwa manajemen kinerja, sebagai :
“… sebuah proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan penyelia langsungnya. Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem. Artinya, ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikut sertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan”.( http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/03/manajemen-kinerja-guru/Akses tanggal 20 Desember 2010 )
Menurut Irawan (2002:11), bahwa kinerja (performance) adalah hasil kerja yang bersifat konkret, dapat diamati, dan dapat diukur. Jika kita mengenal tiga macam tujuan, yaitu tujuan organisasi, tujuan unit, dan tujuan pegawai, maka kita juga mengenal tiga macam kinerja, yaitu kinerja organisasi, kinerja unit, dan kinerja pegawai. Dessler (2000:87) berpendapat : Kinerja (prestasi kerja) karyawan adalah prestasi aktual karyawan dibandingkan dengan prestasi yang diharapkan dari karyawan. Prestasi kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat. Selain itu dapat juga dilihat kinerja dari karyawan tersebut terhadap karyawan lainnya. ( http://re-searchengines.com/isjoni12.html. Akses tanggal 20 Desember 2010)
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Tinggi rendahnya kinerja pekerja berkaitan erat dengan sistem pemberian penghargaan yang diterapkan oleh lembaga/organisasi tempat mereka bekerja.
Dengan demikian bahwa kinerja merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinerja perusahaan (corporate performance) terdapat hubungan yang erat. Dengan perkataan lain bila kinerja karyawan (individual performance) baik maka kemungkinan besar kinerja perusahaan (corporate performance) juga baik.
Adapun ukuran kinerja menurut T.R. Mitchell (1989) dapat dilihat dari empat hal, yaitu:
1) Quality of work – kualitas hasil kerja
2) Promptness – ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan
3) Initiative – prakarsa dalam menyelesaikan pekerjaan
4) Capability – kemampuan menyelesaikan pekerjaan
5) Comunication – kemampuan membina kerjasama dengan pihak lain.
Standar kinerja perlu dirumuskan untuk dijadikan acuan dalam mengadakan penilaian, yaitu membandingkan apa yang dicapai dengan apa yang diharapkan. Standar kinerja dapat dijadikan patokan dalam mengadakan pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dilaksanakan. Menurut Ivancevich (1996), dalam (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/03/manajemen-kinerja-guru/akses tanggal 20 desember 2010 ) patokan tersebut meliputi:
(a) hasil, mengacu pada ukuran output utama organisasi
(b) efisiensi, mengacu pada penggunaan sumber daya langka oleh organisasi
(c) kepuasan, mengacu pada keberhasilan organisasi dalam memenuhi kebutuhan karyawan atau anggotanya;
(d) keadaptasian, mengacu pada ukuran tanggapan organisasi terhadap perubahan

2 Komentar Tog Bhe Maseh:

Keterampilan Manajerial

1:50 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

a. Pengertian Manajer
Istilah manajer adalah siapa saja yang bertanggung jawab untuk melaksanakan aktivitas utama dalam sebuah manajemen. Apa aktivitas utama tersebut ? Pada beberapa literatur, aktivitas utama dibagi menjadi empat bagian, yang memang merupakan tugas-tugas pokok seorang manejer, yakni: merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan. Kepala Sekolah sebagai manajer menempati posisi yang telah ditentukan didalam organisasi sekolah. Kepala sekolah mempunyai posisi puncak yang memegang kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Selain empat tugas utama tersebut, masih banyak tugas-tugas dan fungsi lain sesuai dengan klasisfikasi yang lebih detail. Hal ini berhubungan dengan perbedaan tingkat dan cakupan kegiatan organisasi. Jadi konsep manajemen adalah aktivitas atau seni mengatur dan mengetahui secara tepat apa yang ingin dikerjakan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam klasifikasi dasar, manejer mempunyai tiga tingkat peran, yakni:
1). Manajer lini pertama, adalah tingkat paling rendah dalam sebuah organisasi dimana manejer bertanggung jawab atas pekerjaan orang lain. Manajer ini bertugas mengarahkan karyawan non-menejemen; manajer tersebut tidak mengawasi menajer yang lain. Contoh dari manajer lini pertama adalah foreman atau supervisor produksi dalam sebuah pabrik.
2). Manajer Menengah, pada tingkat ini, manejemen mencakup lebih dari satu tingkat dalam sebuah organisasi. Manajer menengah mengarahkan kegiatan menajer dari tingkat yang lebih rendah bahkan kadang-kadang langsung pada karyawan operasional. Tanggung jawab dan prinsip kerja manajer menengah adalah mengarahkan aktivitas yang mengimplementasikan kebijakan organisasi dan menyeimbangkan permintaan dari manejer mereka dengan kapasitas karyawan.
3). Manajer Puncak, mereka bertanggung jawab untuk manajemen keseluruhan dari sebuah organisasi. Mereka menetapkan kebijakan operasional sebuah organisasi dan pedoman interaksi organisasi. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen, akses tgl 10 Desember 2010 )

Tingkatan-tingkatan manajemen dalam suatu organisasi dapat digambarkan sebagai berikut :














Gambar 1 : Tingkatan Manajemen

Seorang kepala sekolah, di samping harus mampu melaksanakan proses manajemen yang merujuk pada fungsi-fungsi manajemen, juga dituntut untuk memahami sekaligus menerapkan seluruh substansi kegiatan pendidikan.
Managers identify their own leadership styles, to understand how subordinates are affected by their leadership style, and to explore the use of alternative leadership styles consistent with employees’ needs. ( Fred C. Lunenburg 2008:11)

Manajer bertugas untuk mengidentifikasi gaya kepemimpinan mereka sendiri, untuk memahami bagaimana bawahan dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan mereka, dan untuk mengeksplorasi penggunaan alternatif kepemimpinan yang konsisten dengan kebutuhan karyawan.
Dikemukakan pula bahwa sebagai kepala administrasi, kepala sekolah bertugas untuk membangun manajemen sekolah serta bertanggungjawab dalam pelaksanaan keputusan manajemen dan kebijakan sekolah.
Sebuah organisasi yang makin membesar harus ada orang yang mengkondisikan aktifitas-aktifitas pada tingkatan operasi maupun mengambil keputusan tentang produk-produk atau jasa-jasa yang akan dihasilkan, maka orang yang mengkoordinasikan aktifitas-aktifitas organisasi itulah yang disebut manajer (Winardi, 1990 dalam Wahyudi). Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa manajer adalah orang yang mempunyai tanggung jawab atas bawahan sumber daya organisasi yang mana ia dapat mengkoordinasikan aktifitas organisasi dalam rangka mencapai tujuan.
Ben. M. Harris ( 1998:34) menarik kesimpulan sebagai berikut :
The services associated with the management function are sometimes referred as auxiliary services. Like special pupil services, they tend to be noninstructional and of numerous kinds. Tax collecting, purchasing, accounting, printing,warehousing, equipment maintenance, and cleaning are but a few of the services for which a school and must either contract with private firms or provide specialized personnel.
Layanan yang berhubungan dengan fungsi manajemen kadang-kadang disebut sebagai layanan tambahan. Seperti halnya layanan murid khusus, mereka cenderung bukan bersifat pelajaran dan berbagai macam. Mengumpulkan pajak, pembelian, akuntansi, percetakan, pergudangan, peralatan pemeliharaan, dan pembersihan hanyalah beberapa layanan yang sekolah dan harus baik kontrak dengan perusahaan swasta atau menyediakan personil khusus.
Hal serupa dikemukakan oleh Kantz dalam Segiovanni (Sudarwan Danim, 1995 dalam Wahyudi ) bahwa dalam keseluruhan mekanisme kerja manajemen sekolah sebagai proses sosial, mengemukan tiga jenis keterampilan yang seyogyanya dimiliki oleh kepala sekolah, yaitu : (1) keterampilan teknis, yakni keterampilan yang berhubungan dengan pengetahuan, metode, dan teknik-teknik tertentu dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu; (2) keterampilan manusiawi yakni keterampilan yang menunjukkan kemampuan seorang manajer di dalam bekerja dengan orang lain secara efektif dan efisien; (3) keterampilan konseptual yakni keterampilan yang berkenaan dengan cara kepala sekolah memandang sekolah, keterkaitan sekolah dengan struktur di atasnya dan dengan pranata-pranata kemasyarakatan, serta program kerja sekolah secara keseluruhan.
Dengan demikian pengertian manajer adalah seseorang yang memiliki strategi untuk mendayagunakan orang lain melalui kerjasama dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b. Evolusi Teori Manajemen
1) Teori Manajeman Klasik
Tujuan dari scientific Management (1870) menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan suatu pendekatan manajemen yang sistematik. Pada masa manajemen secara ilmiah manusia dianggap sebagai tenaga kerja rasional dan ekonomi dimana manusia disamakan dengan mesin. Pelopor teory organisasi klasik Hendry Fayol (Prancis) dalam bukunya : Administration Industrielle et geneelle (Administrasi industri dan umum). Dalam bukunya tersebut mengemukakan teory dan teknik administrasi sebagai pedoman pengelolaan administrasi yang kompleks

2) Teori Perilaku
Prinsip dasar perilaku organisasi disimpulkan oleh beberapa tokoh manajemen moderen sebagai berikut :
1) Manajemen tidak dapat dipandang sebagai suatu proses teknis secara ketat (peranan, prosedur, prinsip)
2) Manajemen harus secara sistematik, dan pendekatan yang digunakan harus dengan mempertimbangkan secara hati-hati
3) Organisasi sebagau suatu keseluruhan dan pendekatan manajer individual untuk pengawasan harus sesuai dengan situasi.
4) Pendekatan motivasional yang menghasilkan komitmen pekerja terhadap tujuan organisasi sangat dibutuhkan
3) Teori Kuantitatif (Riset Operasi dan Ilmu Manajemen)
Ditandai dengan perkembangan tim-tim riset operasi dalam pemecahan masalah-masalah industri, sejalan dengan perkembangan dunia teknologi, prosedur-prosedur riset operasional kemudian diformulasikan dan disebut dengan aliran Management Science.
4) Evolusi Teori Manajemen
Perkembangan teori manajemen untuk masa datang adalah :
1) Dominan, salah satu dari aliran utama dapat muncul sebagai yang paling berguna.
2) Divergence, setiap aliran melalui jalur sendiri
3) Convergence, aliran-aliran dapat menjadi sepaham dengan batasan-batasan diantara mereka cenderung kabur
4) Sintesa, masing-masing aliran berintegrasi
5) Proliferation, adanya kemungkinan muncul lebih banyak aliran lagi
c. Keterampilan Manajerial
Melakukan manajemen secara efektif dapat dimungkinkan jika manajer itu memiliki ketrampilan manajemen dengan baik. Ketrampilan itu dimaksudkanagar dapat mengelola sumber daya yang dimiliki organisasi baik sumber daya manusia maupun sumber daya lain secara efisien dan efektif. Selain itu, sumber-sumber tersebut tidak selalu tersedia dalam organisasi sehinga harus ada usaha-usaha manajer untuk mengadakannya atau mencari alternatif pemecahan masalah berkenaan dengan sumber daya itu. Kemampuan teknik manajerial kepala sekolah akan meliputi tentang berbagai ketrampilan dalam hal pemahaman yang luas tentang seluruh operasi sekolah dalam hubungannya dengan tuntutan teknik yang harus dikuasai.
Menurut Rohiat ( 2010: 9 ) keterampilan manajer ada 4 macam yaitu :
1) Keterampilan Konseptual, keterampilan untuk memahami dan mengoperasikan organisasi.
2) Keterampilan Manusiawi, keterampilan untuk bekerja sama, memotivasi dan memimpin
3) Keterampilan Teknik, keterampilan menggunakan pengetahuan, metode, teknik dan perlengkapan untuk menyelesaikan tugas-tugas.
4) Keterampilan Desain, kemampuan untuk memecahkan problem dalam mencarikan keuntungan-keuntungan bagi organisasi.
Kepala Sekolah merupakan jabatan karir yang diperoleh oleh seseorang guru setelah sekian lama menjabat sebagai guru. Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk mendayagunakan tenaga kependidikan melalui kerjasama atau koperatif, memberi kesempatan untuk meningkatkan profesi dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah. Dalam mencapai suatu tujuan organisasi bahwa seorang manajer harus memiliki ketrampilan manajerial agar dapat menjalankan fungsi-fungsi daripada manajemen.
Fred Luthans (1995) mengemukakan lima jenis keterampilan yang dibutuhkan oleh seorang manajer, yang mencakup : (1) Cultural flexibility; (2) Communication skills (3) Human Resources Development skills (4) Creativity ; dan (5) Self Management of learning. ( http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/02/kemampuan-manajerial-kepala-sekolah/Akses tanggal 17 Desember 2010 ). Kelima keterampilan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Cultural flexibility merupakan keterampilan yang merujuk kepada kesadaran dan kepekaan budaya, di mana seorang manajer dituntut untuk dapat menghargai nilai keberagaman kultur yang ada di dalam organisasinya. Kepala sekolah selaku manajer di sekolah sangat mungkin akan dihadapkan dengan warga sekolah, dengan latar kultur yang beragam, baik guru, tenaga administrasi maupun siswa. Oleh karenanya, kepala sekolah dituntut untuk dapat menghargai keberagaman kultur ini.
Communication skill merupakan keterampilan manajer yang berkenaan dengan kemampuan untuk berkomunikasi, baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun non verbal. Keterampilan komunikasi amat penting bagi seorang kepala sekolah, karena hampir sebagian besar tugas dan pekerjaan kepala sekolah senantiasa melibatkan dan berhubungan orang lain. Komunikasi yang efektif akan sangat membantu terhadap keberhasilan organisasi secara keseluruhan.
Human Resources Development skills merupakan keterampilan manajer yang berkenaan dengan pengembangan iklim pembelajaran (learning climate), mendesain program pelatihan, pengembangan informasi dan pengalaman kerja, penilaian kinerja, penyediaan konseling karier, menciptakan perubahan organisasi, dan penyesuaian bahan-bahan pembelajaran. Dalam perspektif persekolahan, kepala sekolah dituntut untuk memiliki keterampilan dalam mengembangkan sumber daya manusia yang tersedia di sekolahnya, sehingga mereka benar-benar dapat diberdayakan dan memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan pendidikan di sekolah
Creativity merupakan keterampilan manajer yang tidak hanya berkenaan dengan pengembangan kreativitas dirinya sendiri, akan tetapi juga keterampilan untuk menyediakan iklim yang mendorong semua orang untuk menjadi kreatif. Sehubungan dengan hal ini, seorang kepala sekolah dituntut untuk memiliki keterampilan dalam menciptakan iklim kreativitas di lingkungan sekolah yang mendorong seluruh warga sekolah untuk mengembangkan berbagai kreativitas dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya.
Self- management of learning merupakan keterampilan manajer yang merujuk kepada kebutuhan akan belajar yang berkesinambungan untuk mendapatkan berbagai pengetahuan dan keterampilan baru. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut untuk senantiasa berusaha memperbaharui pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

KETERAMPILAN MANAJERIAL DAN EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

1:48 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Seorang kepala sekolah, di samping harus mampu melaksanakan proses manajemen yang merujuk pada fungsi-fungsi manajemen, juga dituntut untuk memahami sekaligus menerapkan seluruh substansi kegiatan pendidikan. Kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan: menjabarkan sumber daya sekolah untuk mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, kepala administrasi, sebagai manajer perencanaan dan pemimpin pengajaran, dan mempunyai tugas untuk mengatur, mengorganisir dan memimpin keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di sekolah.
Dikemukakan pula bahwa sebagai kepala administrasi, kepala sekolah bertugas untuk membangun manajemen sekolah serta bertanggungjawab dalam pelaksanaan keputusan manajemen dan kebijakan sekolah. Sementara itu, menurut pendapat E. Kosasih ( 2010 : 101 ) bahwa kepala sekolah merupakan pribadi yang menjadi inti dalam peningkatan dan pengembangan sekolah. Sebagai pemimpin dalam pengajaran, kepala sekolah berperan sebagai koordinator bagi orang tua siswa, guru dan staf .
Kepala sekolah sebagai manajer merupakan pemegang kunci maju mundurnya sekolah. Oleh karena itu, supaya pendidikan dapat maju, maka harus dikelola oleh manajer pendidikan yang profesional. Kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama atau kooperatif, memberi kesempatan kepada para tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya, dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah. Kepala sekolah harus memahami dan mampu mewujudkannya kedalam tindakan dan perilaku.
Pada mereka harus tersedia pengetahuan yang cukup tentang kebutuhan nyata masyarakat serta kesediaan dan keterampilan untuk mempelajari secara kontinyu perubahan yang sedang terjadi di masyarakat sehingga sekolah melalui program-program pendidikan yang disajikannya dapat senantiasa menyesuaikan diri dengan kebutuhan baru dan kondisi baru “. Diisyaratkan oleh pendapat tersebut, bahwa kepala sekolah sebagai salah satu kategori administrator pendidikan perlu melengkapi wawasan kepemimpinan pendidikannya dengan pengetahuan dan sikap yang antisipatif terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, termasuk perkembangan kebijakan makro pendidikan. Wujud perubahan dan perkembangan yang paling aktual saat ini adalah makin tingginya aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, dan gencarnya tuntutan kebijakan pendidikan yang meliputi peningkatan aspek-aspek pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi dan relevansi.
Wildavsky (Sudarwan Danim, 2002) mengemukakan bahwa salah satu preposisi tentang kebijakan pendidikan bagi kepala sekolah atau calon kepala sekolah, bahwa “kompetensi minimal seorang kepala sekolah adalah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang keadministrasian sekolah; keterampilan hubungan manusiawi dengan staf, siswa dan masyarakat, dan keterampilan teknis instruksional dan non instruksional.” (http://lilisulastri.wordpress.com/category/perilaku-organisasi-organizatonal-behavior/Akses Tanggal 10 Desember 2010 )
Kemampuan manajerial kepala sekolah merupakan faktor penting dan strategis dalam kerangka peningkatan kualitas dan kemajuan sekolah yang dipimpinnya. Dengan kemampuan manajerial, baik kemampuan teknik, kemampuan hubungan kemanusian, maupun kemampuan konseptual yang memadai diharapkan kepala sekolah mampu menggerakan seluruh potensi madrasah termasuk dapat memacu peningkatan kualitas kinerja professional para guru di sekolah tersebut. Dengan kinerja guru yang berkualitas, maka proses pembelajaran akan berlangsung dengan optimal.
Sekolah yang sehat memiliki kultur organisasi sekolah yang baik. Sekolah dikatakan sehat bila terdapat dorongan dan semangat yang tinggi. Moral kerja yang tinggi jika kepala sekolah, guru dan staf selalu bekerja dengan semangat yang tinggi, sangat antusias, bergairah, dan sebagainya. Selanjutnya sekolah sehat bila sekolah itu terhindar dari tekanan-tekanan berbagai pihak. Semangat kerja, antusiasme, motivasi, dan sebagainya akan dapat diciptakan dengan baik jika sekolah mempunyai seorang pemimpin yang mampu mengelola dan memenej dengan baik lembaganya. Perubahan struktur dan jenis tenaga yang diperlukan oleh pasar tenaga kerja merupakan satu sumber inspirasi bagi kepala sekolah dan guru untuk membuat keputusan-keputusan inovatif.
Manajer suatu organisasi pada umumnya hanya tahu apa tugas mereka agar proses dalam organisasi dapat berlangsung terus. Namun, jarang diantara mereka yang tahu bagaimana bertindak menghadapi perubahan-perubahan yang terus berlangsung. Jarang yang mampu mengantisipasi perubahan yang bakal terjadi di masyarakat pada umumnya dan dalam organisasi pada khususnya. Jarang di antara mereka berinovasi, memasang strategi baru sebagai hasil antisipasi mereka. Padahal, pekerjaan tersebut ialah tugas mereka yang pada umumnya mereka tenggelam dalam tugas rutin demi lancarnya gerak roda organisasi dan kesuksesan tugas rutin inilah yang mereka kejar.
Kepemimpinan dalam kontek sekolah lebih menekankan pada terjadinya hubungan antara personil sekolah serta menciptakan iklim kebersamaan dan saling memiliki yang ditandai dengan rasa kebersamaan dalam bekerja. Dalam kondisi seperti itu akan tercipta hubungan yang harmonis diantara seluruh personil sekolah (Kepala Sekolah, Guru, Staf Tata Usaha, Siswa, dll.). Keberhasilan pimpinan menggerakkan bawahan sangat tergantung kepada kemampuannya mempengaruhi bawahannya agar mau berkerja dengan baik. Kepemimpinan merupakan faktor penentu yang paling dominan dalam usaha organisasi untuk mencapai tujuan dan berbagai sasarannya.
Berdasarkan satuan pendidikan, kepala sekolah menduduki dua jabatan penting untuk dapat menjamin kelangsungan proses pendidikan sebagaimana yang telah digariskan oleh peraturan perundang-undangan. Pertama, kepala sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah secara keseluruhan. Kedua, kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan disekolahnya. Sebagai pengelola pendidikan, kepala sekolah bertanggung jawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pendidikan dengan cara melaksanakan administrasi sekolah dengan seluruh substansinya. Disamping itu, kepala sekolah bertanggung jawab terhadap kualitas sumberdaya manusia yang ada agar mereka mampu menjalankan tugas-tugas pendidikan. Oleh karena itu, kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja para personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional para guru.
Masalah efektivitas kepemimpinan kepala sekolah merupakan hal yang pokok dalam kehidupan sistem organisasi sekolah. Sejak awal perkembangannya, ilmu manajemen selalu memfokuskan pengamatannya pada keefektifan dan keefisienan. Tidak mungkin ada pembicaraan tentang manajemen tanpa ada pemahaman mengenai efektivtias dan efisiensi. Pemimpin merupakan ujung tombak pembaharuan, karena pimpinan memiliki peran strategis dalam menentukan keberhasilan perubahan. Dalam menghadapi perubahan itu dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki mental yang kuat, yang mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan, memiliki visi, mencoba inovasi dan memiliki mental prima.
Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya.
Sorotan tersebut lebih bermuara kepada ketidakmampuan guru didalam pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisi-sisi kelemahan pada guru, hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan mungkin ada system yang berlaku, baik sengaja ataupun tidak akan berpengaruh terhadap permasalahan tadi.
Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita, bagaimana kinerja guru akan berdampak kepada pendidikan bermutu. Kita melihat sisi lemah dari system pendidikan nasional kita, dengan gonta ganti kurikulum pendidikan, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal, dan tidak demikian halnya guru professional.
Selain itu, kinerja guru juga sangat ditentukan oleh output atau keluaran dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), sebagai institusi penghasil tenaga guru, LPTK juga memiliki tanggungjawab dalam menciptakan guru berkualitas, dan tentunya suatu ketika berdampak kepada pembentukan SDM berkualitas pula. Oleh sebab itu LPTK juga memiliki andil besar di dalam mempersiapkan guru seperti yang disebutkan diatas, berkualitas, berwawasan serta mampu membentuk SDM mandiri, cerdas, bertanggungjawab dan berkepribadian.
Harapan ke depan, terbentuk sinergi baru dalam lingkungan persekolahan, dan perlu menjadi perhatian adalah terjalinnya kinerja yang efektif dan efisien disetiap struktur yang ada dipersekolahan. Kinerja terbentuk bilamana masing-masing struktur memiliki tanggungjawab dan memahami akan tugas dan kewajiban masing-masing. Era reformasi dan desentralisasi pendidikan menyebabkan orang bebas melakukan kritik, titik lemah pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus, adakalanya kritik yang diberikan dapat menjadi sitawar sidingin di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari kritik yang diberikan, hal ini dapat memberikan dampak terhadap kinerja guru yang bersangkutan.
Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negatif kiranya akan menjadi masukan yang sangat berarti bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, dan menjadi kritikan sebagai pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan diri di masa yang akan datang. Kritik terhadap kinerja guru perlu dilakukan, tanpa itu bagaimana guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama ini, dengan demikian akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan lebih lanjut.
Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya, dan indikator sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi sumber daya manusianya, maka semakin baik tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu indikator tersebut sangat ditentukan oleh kinerja guru.
Bila kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukan kinerja maksimal di dalam menjalan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Akan tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan kinerja baik, tentunya secara akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro.
Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi yang diembannya, rasa tanggungjawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan loyalitasnya di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi yang akan digunakan, termasuk alat media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi.
Rendahnya kinerja guru akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas yang pada gilirannya akan berpengaruh pula terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Rendahnya kinerja guru harus diidentifikasi penyebabnya. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi terhadap kinerja seorang guru. Pada kondisi semacam ini, kepala sekolah memegang peranan penting, karena dapat memberikan iklim yang memungkinkan bagi guru berkarya dengan penuh semangat. Guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Guru adalah seorang tenaga profesional yang dapat menjadikan murid-muridnya mampu merencanakan, menganalisis dan menyimpulkan masalah yang dihadapi
Seorang guru tidak hanya terbatas pada status sebagai pengajar saja, namun peranan guru lebih luas lagi yaitu seabgai penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kinerja guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun terus ditingkatkan. Guru punya komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu maka guru akan kerdil dalam ilmu pengetahuan, akan tetap tertinggal akan akselerasi zaman yang semakin tidak menentu. Apalagi pada kondisi kini kita dihadapkan pada era global, semua serba cepat, serba dinamis, dan serba kompetitif. Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan niat yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik. Kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan tentunya kinerja masa depan lebih baik dari kinerja hari ini.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Tipe-Tipe Supervisi

9:47 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

Walaupun sudah banyak diketahui bahwa fungsi supervisi adalah menolong atau membantu guru-guru agar dapat berkembang secara mandiri, namun pada prakteknya banyak kegiatan supervisi terutama yang dilakukan oleh penilik atau pengawas lebih bersifat inspektif. Banyak kegiatan supervisi lebih ditekankan untuk menemukan kesalahan-kesalahan yang mungkin akan dibuat oleh guru-guru.
Briggs mengemukakan 4 tipe supervisi dilihat dari pelaksanaanya yaitu “supervisi yang bersiafat korektif (corrective supervision), supervisi yang bersifat preventif (preventive supervision), supervisi yang bersifat kreatif (creative supervision), dan supervisi yang bersifat konstruktif (constructive supervision).
a. Supervisi yang bersifat korektif
Kegiatan supervisi yang bersifat korektif ini lebih menekankan usaha untuk mencari-cari kesalahan dari pihak yang disupervisi (guru-guru). Memang mencari kesalahan atau segi negatif seseorang lebih mudah daripada mencari kebaikan-kebaikan atau segi positifnya. Perlu disadari bahwa mencari dan menemukan kesalahan yang disupervisi tidak menolong orang tersebut dari masalahnya. Supervisi yang menekankan pada usaha untuk mencari kesalahan bukanlah alat yang efektif untuk memperbaiki proses belajar mengajar.
Guru-guru yang selalu ditunjukan kesalahanya selain tidak menjadi baik bahkan dapat menjadi frustasi dan bersikap negatif terhadap program-program supervisi. Kesalahan adalah bukan suatu cela. Setiap orang, termasuk guru-guru, tidak pernah luput dari berbuat salah sehingga harus dapat diketemukan usaha-usaha perbaikan dari kesalahan-kesalahan tersebut. Tugas seorang supervisor atau kepala sekolah ialah berusaha untuk mencari hal-hal yang positif dari pekerjaaan guru. Dari hal-hal yang positif ini kepala sekolah dapat membangkitkan motivasi guru untuk berkembang.
b. Supervisi yang bersifat preventif
Supervisi ini sangat menekankan pada usaha untuk melindungi guru-guru dari berbuat salah. Guru-guru selalu diingatkan untuk tidak berbuat kesalahan dengan memberikan kepada mereka batasan-batasan, larangan-larangan atau sejumlah pedoman bertindak. Akibatnya guru-guru tidak berani membuat hal-hal lain kecuali yang telah ditatapkan. Mereka tidak berani mencoba hal-hal yang baru karena takut salah. Apabila hal ini berlangsung terus-menerus maka guru tidak memiliki lagi kepercayaan pada diri sendiri. Mencegah agar guru-guru tidak membuat kesalahan-kesalahan tidaklah salah, tetapi lebih penting ialah bagaimana menyiapkan mereka agar mampu menghadapi kesulitan-kesulitan yang mungkin akan terjadi. Pokok permasalahanya ialah bagaimana mempersiapkan guru-guru agar terlatih menghadapi persoalan.
Dalam hal ini peranan sekolah ialah menolong guru-guru menyusun perencanaan kerja yang terperinci sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan dapat dilihat sebelumnya.
c. Supervisi yang konstruktif
Supervisi yang bersifat konstruktif ialah supervisi yang berorientasi kemasa depan. Supervisi yang demikian ini didasari pada kenyataan dan keyakinan melihat kesalahan yang lampau serta menjaga agar guru tidak membuat kesalahan. Hal ini tidak banyak menolong guru-guru untuk berkembang dalam profesi maupun kepribadianya.
Hakikat pendidikan ialah membangun agar menjadi lebih baik. Peranan supervisi adalah membina dan membangun. Kesalahan-kesalahan masa lampau dapat digunakan sebagai pengalaman dan penemuan untuk masa depan. Jadi tugas supervisi adalah menolong guru-guru untuk selalu melihat kedepan, melihat hal-hal yang baru dan secara antusias mengusahakan perkembangan.
d. Supervisi yang bersifat kreatif
Apabila didalam supervisi yang konstruktif peranan supervisi atau kepala sekolah masih lebih besar, maka pada supervisi tipe ini guru lebih besar perananya dalam mengusahakan perbaikan proses belajar mengajar. Peranan supervisor hanyalah mendorong dan membimbing. Sedangkan usaha-usaha untuk menemukan perbaikan diserahkan kepada guru-guru. Dengan kata lain peranan kepala sekolah adalah menciptakan situasi yang dapat menyuburkan timbulnya kreatifitas pada guru-guru.
Hal-hal yang baru hanya mungkin terjadi berkat adanya kreativitas yang tinggi. Daya kreativitas hanya muncul dalam situasi dimana orang merasa aman untuk mencoba hal-hal yang baru, dengan resiko akan membuat kesalahan-kesalahan.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Konsep Efektivitas Organisasi

10:54 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

A. Pengertian Efektivitas Organisasi
Konsep efektivitas sesungguhnya merupakan suatu konsep yang luas, mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar organisasi. Konsep efektivitas ini oleh para ahli belum ada keseragaman pandangan, dan hal tersebut dikarenakan sudut pandang yang dilakukan dengan pendekatan disiplin ilmu yang berbeda, sehingga melahirkan konsep yang berbeda pula di dalam pengukurannya. Namun demikian, banyak juga ahli dan peneliti yang telah mengungkapkan apa dan bagaimana mengukur efektivitas itu.
Emitai Etzioni (1982:54) mengemukakan bahwa “efektivitas organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran.” Komaruddin (1994:294) juga mengungkapkan “efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukan tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.”
The Liang Gie (2000:24) juga mengemukakan “efektivitas adalah keadaan atau kemempuan suatu kerja yang dilaksanakan oleh manusia untuk memberikan guna yang diharapkan.”

Sedangkan menurut pendapat Gibson (1984:28) mengemukakan bahwa “efektivitas adalah konteks perilaku organisasi merupakan hubungan antar produksi, kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan dan pengembangan.”
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasi-aktivasi yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.

Gibson (1984:38) mengungkapkan tiga pendekatan mengenai efektivitas yaitu:
1. Pendekatan Tujuan. Pendekatan tujuan untuk mendefinisikan dan mengevaluasi efektivitas merupakan pendekatan tertua dan paling luas digunakan. Menurut pendekatan ini, keberadaan organisasi dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pendekatan tujuan menekankan peranan sentral dari pencapaian tujuan sebagai kriteria untuk menilai efektivitas serta mempunyai pengaruh yang kuat atas pengembangan teori dan praktek manajemen dan perilaku organisasi, tetapi sulit memahami bagaimana melakukannya. Alternatif terhadap pendekatan tujuan ini adalah pendekatan teori sistem.
2. Pendekatan Teori Sistem. Teori sistem menekankan pada pertahanan elemen dasar masukan-proses-pengeluaran dan mengadaptasi terhadap lingkungan yang lebih luas yang menopang organisasi. Teori ini menggambarkan hubungan organisasi terhadap sistem yang lebih besar, diman organisasi menjadi bagiannya. Konsep organisasi sebagian suatu sistem yang berkaitan dengan sistem yang lebih besar memperkenalkan pentingnya umpan balik yang ditujukan sebagai informasi mencerminkan hasil dari suatu tindakan atau serangkaian tindakan oleh seseorang, kelompok atau organisasi. Teori sistem juga menekankan pentingnya umpan balik informasi. Teori sistem dapat disimpulkan: (1) Kriteria efektivitas harus mencerminkan siklus masukan-proses-keluaran, bukan keluaran yang sederhana, dan (2) Kriteria efektivitas harus mencerminkan hubungan antar organisasi dan lingkungn yang lebih besar dimana organisasai itu berada. Jadi: (1) Efektivitas organisasi adalah konsep dengan cakupan luas termasuk sejumlah konsep komponen. (3) Tugas manajerial adalah menjaga keseimbangan optimal antara komponen dan bagiannya
3. Pendekatan Multiple Constituency. Pendekatan ini adalah perspepktif yang menekankan pentingnya hubungan relatif di antara kepentingan kelompok dan individual dalam hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Dengan pendekatan ini memungkinkan pentingnya hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Dengan pendekatan ini memungkinkan mengkombinasikan tujuan dan pendekatan sistem guna memperoleh pendekatan yang lebih tepat bagi efektivitas organisasi.

Robbins (1994:54) mengungkapkan juga mengenai pendekatan dalam efektivitas organisasi:
1. Pendekatan pencapaian tujuan (goal attainment approach). Pendekatan ini memandang bahwa keefektifan organisasi dapat dilihat dari pencapaian tujuannya (ends) daripada caranya (means). Kriteria pendekatan yang populer digunakan adalah memaksimalkan laba, memenangkan persaingan dan lain sebaginya. Metode manajemen yang terkait dengan pendekatan ini dekenal dengan Manajemen By Objectives (MBO) yaiutu falsafah manajemen yang menilai keefektifan organisasi dan anggotanya dengan cara menilai seberapa jauh mereka mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
2. Pendekatan sistem. Pendekatan ini menekankan bahwa untuk meningkatkan kelangsungan hidup organisasi, maka perlu diperhatikan adalah sumber daya manusianya, mempertahankan diri secara internal dan memperbaiki struktur organisasi dan pemanfaatan teknologi agar dapat berintegrasi dengan lingkungan yang darinya organisasi tersebut memerlukan dukungan terus menerus bagi kelangsungan hidupnya.
3. Pendekatan konstituensi-strategis. Pendekatan ini menekankan pada pemenuhan tuntutan konstituensi itu di dalam lingkungan yang darinya orang tersebut memerlukan dukungan yang terus menerus bagi kelangsungan hidupnya.
4. Pendekatan nilai-nilai bersaing. Pendekatan ini mencoba mempersatukan ke tiga pendekatan diatas, masing-masing didasarkan atas suatu kelompok nilai. Masing-masing didasarkan atas suatu kelompok nilai. Masing-masing nilai selanjutnya lebih disukai berdasarkan daur hidup di mana organisasi itu berada.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan tujuan didasarkan pada pandangan organisasi diciptakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dalam teori sistem, organisasi dipandang sebagai suatu unsur dari sejumlah unsur yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain.

Sedangkan pendekatan Multiple Constituency merupakan pendekatan yang menggabungkan pendekatan tujuan dengan pendekatan sistem sehingga diperoleh satu pendekatan yang lebih tepat bagi tercapainya efektifitas organisasi. Sedangkan untuk pendekatan nilai-nilai bersaing merupakan pendekatan yang menyatukan ketiga pendekatan yang telah dikemukakan di atas yang disesuaikan dengan nilai suatu kelompok.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas
Berdasarkan pendekatan-pendekatan dalam efektivitas organisasi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi adalah sebagai berikut: (1) Adanya tujuan yang jelas, (2) Struktur organisasi. (3) Adanya dukungan atau partisipasi masyarakat, (4) Adanya sistem nilai yang dianut

Organisasi akan berjalan terarah jika memiliki tujuan yang jelas. Adanya tujuan akan memberikan motivasi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Selanjutnya tujuan organisasi mencakup beberapa fungsi diantaranya yaitu memberikan pengarahan dengan cara menggambarkan keadaan yang akan datang yang senantiasa dikejar dan diwujudkan oleh organisasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi organisasi harus mendapat perhatian yang seriuas apabila ingin mewujudkan suatu efektivitas. Richard M Steers (1985:209) menyebutkan empat faktor yang mempengaruhi efektivitas, yaitu:


Di bawah ini penulis menguraikan empat faktor yang mempengaruhi efektivitas, yang dikemukakan oleh Richard M Steers (1985:8):
1. Karakteristik Organisasi adalah hubungan yang sifatnya relatif tetap seperti susunan sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi. Struktur merupakan cara yang unik menempatkan manusia dalam rangka menciptakan sebuah organisasi. Dalam struktur, manusia ditempatkan sebagai bagian dari suatu hubungan yang relatif tetap yang akan menentukan pola interaksi dan tingkah laku yang berorientasi pada tugas.
2. Karakteristik Lingkungan, mencakup dua aspek. Aspek pertama adalah lingkungan ekstern yaitu lingkungan yang berada di luar batas organisasi dan sangat berpengaruh terhadap organisasi, terutama dalam pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan. Aspek kedua adalah lingkungan intern yang dikenal sebagai iklim organisasi yaitu lingkungan yang secara keseluruhan dalam lingkungan organisasi.
3. Karakteristik Pekerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap efektivitas. Di dalam diri setiap individu akan ditemukan banyak perbedaan, akan tetapi kesadaran individu akan perbedaan itu sangat penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Jadi apabila suatu rganisasi menginginkan keberhasilan, organisasi tersebut harus dapat mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan organisasi.
4. Karakteristik Manajemen adalah strategi dan mekanisme kerja yang dirancang untuk mengkondisikan semua hal yang di dalam organisasi sehingga efektivitas tercapai. Kebijakan dan praktek manajemen merupakan alat bagi pimpinan untuk mengarahkan setiap kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam melaksanakan kebijakan dan praktek manajemen harus memperhatikan manusia, tidak hanya mementingkan strategi dan mekanisme kerja saja. Mekanisme ini meliputi penyusunan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan atas sumber daya, penciptaan lingkungan prestasi, proses komunikasi, kepemimpinan dan pengambilan keputusan, serta adaptasi terhadap perubahan lingkungan inovasi organisasi.

Menurut pendapat di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa: 1) organisasi terdiri atas berbagai unsur yang saling berkaitan, jika salah satu unsur memiliki kinerja yang buruk, maka akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan; 2) Keefektifan membutuhkan kesadaran dan interaksi yang baik dengan lingkungan; 3) kelangsungan hidup organsiasi membutuhkan pergantian sumber daya secara terus menerus. Suatu perusahaan tidak memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi, akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuannya tetapi apabila suatu perusahaan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dapat lebih mudah tercapai hal itu dikarenakan efektivitas akan selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.

C. Kriteria Pengukuran Efektivitas Organisasi
Tercapainya tingkat efektivitas yang tinggi perlu memperhatikan kriteri-kriteri efektivitas sebagaimana yang dikemukakan oleh Richard M Steers (1985:46) sebagai berikut: (1) Produktivitas. (2) Kemampuan berlaba. (3) Kesejahteraan pegawai
Secara lebih operasional, Emitai Atzoni yang dikutip oleh Indrawijaya (1989:227) mengemukakan “efektivitas organisasi akan tercapai apabila organisasi tersebut memenuhi kriteria mampu beradaptasi, berintegrasi, memiliki motivasi, dan melaksanakan produksi dengan baik”.
Gibson (1984:32-34) berpendapat bahwa kriteria efektivitas meliputi:
1. Kriteria efektivitas jangka pendek: Produksi, Efisiensi, Kepuasan.
2. Kriteria efektivitas jangka menengah: Persaingan, dan Pengembangan
3. Kriteria efektivitas jangka panjang
4. Kelangsungan hidup

Sondang P Siagian (2000:32) mengungkapkan beberapa hal yang menjadi kriteria dalam pengukuran efektivitas:
Efektivitas dapat diukur dari berbagai hal, yaitu: kejelasan tujuan yang hendak dicapai, kejelasan strategi pencapaian tujuan, proses analisa dan perumusan kebijakan yang mantap, perencanaan yang matang, penyusunan program yang tepat, tersedianya sarana dan prasarana kerja, pelaksanaan yang efektif dan efisien, sistem pengawasan dan pengendalian yang mendidik.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

KOMITE SEKOLAH

8:38 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

Pengertian Komite sekolah

Sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap penyelenggara pendidikan jalur sekolah semangkin meningkat, maka persatuan orang tua murid dan guru (PMOG) pada awal tahun 1974 di bubarkan dan dibentuk suatu badan yaitu Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Dalam perkembangan selanjutnya dengan keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor : 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka dibentuklah komite sekolah.

Komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efesiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan baik dari jalur pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah.
Berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor : 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tanggal 02 april 2002, maka pengertian dan nama komite sekolah adalah sebagai berikut :
a) Komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efesiensi penelolaan pendidikan di satuan pendidikan.
b) Nama komite sekolah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan.
c) BP3, Komite sekolah dan atau majelis yang sudah ada dapat memperluas fungsi, peran, dan keanggotaan sesuai dengan acuan.

Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan dan hasil pendidikan yang diberikan oleh sekolah, dan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional melalui upaya peningkatan mutu, pemerataan, dan efesiensi penyelenggaraan pendidikan, dan tercapainya demokratisasi pendidikan, perlu adanya dukungan dan peran serta masyarakat untuk bersinergi dalam suatu wadah yang lebih sekedar lembaga pengumpul dana pendidikan dari orang tua siswa.

Kondisi nyata tersebut dalam memasuki era manajemen berbasis sekolah sekolah perlu di benahi selaras dengan tuntutan perubahan yang dilandasi kesepakatan, komitmen, kesadaran dan kesiapan membangun budaya baru dan profesionalisme dalam mewujudkan “ masyrakat sekolah” yang memiliki loyalitas pada peningkatan mutu sekolah. Untuk terciptanya suatu masyarakat sekolah yang kompak dan sinergis, maka komite sekolah merupakan bentuk atau wujud kebersamaan yang dibangun melalui kesepakatan ( surat Keputusan Mendiknas Nomor :044/U/2002)

Komite sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satu satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, atau beberapa satuan pendidikan yang sama di satu komplek yang sama. Nama komite sekolah adalah satu nama yang generik. Artinya, bahwa nama badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, seperti komite sekolah, komite pendidikan, komite pendidikan luar sekolah, dewan sekolah, majelis sekolah, majelis madrasah, komite TK, atau nama lain yang disepakati. Dengan demikian, organisasi yang ada tersebut dapat memperluas fungsi, peran, keanggotaan sesuai dengan panduan atau melebur menjadi organisasi baru, yang bernama komite sekolah ( surat Keputusan Mendiknas Nomor :044/U/2002). Peleburan BP3 atau bentuk-bentuk organisasi lain yang ada di sekolah kewenangannya berkembang sesuai kebutuhan dalam wadah komite sekolah.

Pembentukan komite sekolah menjadi lebih kuat dari asfek legilitasnya, karena telah dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 56 sebagai berikut :
1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah; 2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis; 3) Komite sekolah sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalampeningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberi pertimbangan arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan; 4) ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah sebagai dimaksud dalam ayat (1) , (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Komite sekolah merupakan badan ang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hirarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya, Posisi komite sekolah, satuan pendidikan, dan lembaga- lembaga pemerintah lainnya mengacu pada kewenangan masing- masing berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Kedudukan Komite sekolah

Komite sekolah yang ada pada Sekolah Dasar di Kota Sibolga berkedudukan di satuan pendidikan, selain itu terdapat komite sekolah yang tersebar pada satuan pendidikan dalam berbagai jenjang, jenis, dan jalur pendidikan ada sekolah tunggal dan ada sekolah yang berada dalam satu kompleks. Ada sekolah Negeri dan ada sekolah swasta yang didirikan ole yayasan penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, maka komite sekolah dapat dibentuk dengan alternatif sebagai berikut:
Pertama, komite sekolah yang dibentuk dalam satuan pendidikan. Satuan pendidikan yang jumlah siswanya banyak, atau sekolah khusus seperti sekolah luar biasa, termasuk dalam katagori yang dapat membentuk komite sekolah sendiri.
Kedua, komite sekolah yang di bentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang sejenis. Sebagai misal, beberapa Sd yang terletak didalam satu kompleks atau kawasan yang berdekatan dapat membentuk satu komite sekolah.
Ketiga, komite sekolh yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjang dan terletak didalam satu kompleks atau kawasan yang berdekatan. Sebagai misal, ada stu kompleks pendidikan yang terdiri dari satuan pendidikan TK, SD, SLTP, SLTA dan SMK dapat membentuk satu komite sekolah.
Keempat, komite sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjeng pendidikan atau dalam pembinaan satu yayasan penyelenggara pendidikan, misalnya sekolah- sekolah dibawah lembaga pendidikan Muhammadiyah, Al-washliyah, Al-ittihadiyah, taman siswa, sekolah katolik, sekolah kristen dan sebagainya.

Tujuan Komite sekolah
Dibentuknya komite sekolah dimaksudkan agar adanya wadah organisasi masyarakat sekolah yang mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli terhadap peningkatan kualitas sekolah. Komite sekolah yang dibentuk dapat dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya , demografis, ekologis, nilai kesepakatan, serta kepercayaan yang dibangun sesuai potensi masyarakat setempat. Oleh karena itu komite sekolah yang dibangun harus merupakan pengembangan kekayaan filosofis masyarakat secara kolektif. Artinya, komite sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada penggunaan (client model), berbagi kewenangan (power sharing and advocacy) dan kemitraan (patnership model) yang difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan pendidikan.

Menurut SK Mendiknas Nomor 044/U/2002, adapun tujuan dibentuknya komite sekolah sebagai suatu organisasi masyarakat sekolah adalah sebagai berikut:
1) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan disatuan pendidikan
2) Meningkatkan tanggungjawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3) Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

Komite sekolah ang dibentuk setiap ditempat dan wilayah dapat dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya, demokrafis, ekologis, nilai kesepakatan, serta kepercayaan yang di bangun sesuai dengan potensi masyarakat setempat. Oleh sebab itu komite sekolah harus merupakan pengembangan kekayaan filosofis masyarakat kolektif. Artinya, sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada penggunaan (client model), berbagi kewenangan (power sharing and advocacy) dan kemitraan (patnership model) yang difokuskan pada peningkatan kualitas pelayanan peserta didik.

Peran dan Fungsi Komite sekolah
Peran dan fungsi komite sekolah adalah landasan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasinya. Komite sekolah memiliki peran sebagai mitra kerja lembaga pendidikan (sekolah), diantaranya adalah sebagai penasehat sekolah, pendudukung sekolah, pengontrol/pemantau, sebagai penghubung dengan stakeholders pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional (2004: 23) merinci peran komite sekolah adalah:
a. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
b. Pendukung layanan pendidikan (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan satuan pendidikan.
c. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka tranparansi dan akuntabelitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
d. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.

Disamping itu pula Departemen Pendidikan Nasional (2004:24) menegaskan Komite Sekolah memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
b. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
c. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
d. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai :
1) Kebujakan dan program pendidikan.
2) Rencana Anggran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
3) Kriteria kinerja satuan pendidikan.
4) Kriteria tenaga pendidikan.
5) Kriteria fasilitas pendidikan.
6) Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
e. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalan pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
f. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan disatuan pendidikan
g. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

Beranjak dari pandangan diatas, peran dan fungsi komite sekolah akan menjadi suatu wadah yang mewadahi kemitraan antara sekolah dengan masyarakat. Terjalinnya koordinasi atau kerjasama sekolah dengan masyarakat merupakan salah satu pendukung keberhasilan penyelenggaraan konsep manajemen berbasis sekolah. Upaya untuk meningkatkan peran masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orang tua dan masyarakat, menciptakan suasna kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya maka paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipasif yang melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai keberhasilan bersama.

Wewenang dan kegiatan pokok Komite sekolah
A. Wewenang Komite Sekolah
Dalam Nanang Fattah (2004: 160) dinyatakan bahwa komite sekolah mempunyai wewenang sebagai berikut :
1. Menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga komite sekolah.
2. Bersama-sama sekolah menetapkan rencana setrategi pengembangan sekolah
3. Bersama-sama sekolah menetapkan standar pelayanan sekolah.
4. Bersama-sama sekolah membahas bentuk kesejahteraan personil sekolah.
5. Bersama-sama sekolah menetapkan RAPBS
6. Mengkaji pertanggungjawaban program sekolah
7. Mengkaji dan menilai kinerja sekolah
8. Merekomendasikan kepada sekolah atau guru yang berprestasi dan memenuhi persyaratan profesionalisme serta administratif secara normatif sesuai dengan landasan hukum untuk promosi dan diajukan kepada pihak berwenang, dalam hal ini kepala Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten.
9. Menerima kepala sekolah dan guru yang dipromosikan oleh sekolah lain sesuai denga persyaratan profesionalisme serta administratif secara normatif sesuai denga landasan hukum untuk dipromosikan dan ditunjuk oleh pihak yang berwenang.
10. Merekomendasikan kepada sekolah atau guru yang melanggar etika profesionalisme serta administratif secara normatif sesuai dengan landasan hukum yang berlaku dan diajukan kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini kepala kantor Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten.

Kegiatan Pokok Komite Sekolah
Selanjutnya Nanang Fattah (2004;161-162) menyatakan bahwa komite sekolah mempunyai kegiatan pokok sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan rapat-rapat komite sesuai dengan program yang telah ditetapkan.
2) Bersama-sama sekolah merumuskan dan menetapkan Visi dan Misi sekolah.
3) Bersama sekolah menyusun standar pelayanan pembelajaran disekolah.
4) Bersama-sama sekolah menyusun rencana strategik pengembangan sekolah.
5) Bersama-sama sekolah menyusun dan menetapkan rencana program tahunan sekolah termasuk RAPBS.
6) Membahas dan turut menetapkan pemberian tambahan kesejahteraan berupa uang honororium yang diperoleh dari masyarakat kepada sekolah, tenaga guru dan tenaga administratif sekolah.
7) Bersama-sama sekolah mengembangkan potensi unggulan, baik yang bersifat akademis maupun non akademis.
8) Menghimpun dan menggali sumber dana dari masyarakat untuk meningkatkan kualotas pelayanan sekolah.
9) Mengelola kontribusi masyarakat berupa uang yang diberikan kepada sekolah.
10) Mengelola kontribusi masyarakat yang berupa non material (tenaga, pikiran) yang diberikan kepada sekolah.
11) Mengevaluasi program sekolah secara profesional sesuai dengan kesepakatan pihak sekolah, meliputi ; pengawasan penggunaan sarana dan prasarana sekolah, pengawas keuangan secara berkala dan berkesinambungan.
12) Mengidentifikasi berbagai permasalahan dan memecahkannya bersama-sama dengan pihak sekolah.
13) Memberikan respon terhadap kurikulum yang dikembangkan secara standar nasional maupun lokal.
14) Memberikan motivasi dan penghargaan kepada tenaga pendidik dan kependidikan
15) Memberikan otonomi secara profesional kepada guru mata pelajaran dalam melaksanakan tugas-tugas kependidkannya sesuai dengan kaidah dan kopetensi guru.
16) Membangun jaringan kerjasama dengan pihak luar sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan proses dan hasil pendidikan di sekolah.
17) Memantau kualitas proses pelayanan dan hasil pendidikan di sekolah.
18) Mengkaji laporan pertanggungjawaban pelaksanaan program yang dikonsultasikan oleh kepala sekolah.
19) Menyampaikan usul atau rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah.

Eksestensi Komite sekolah Pasca Diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 dan 48 Tahun 2008.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar dan Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, maka semua pihak perlu membaca secara komprehensif dan menyeluruh atas pasal-pasal yang tertuang dalam memahami kehadiran kedua Peraturan Pemerintah (PP) tersebut agar tidak lagi terjadi kesimpangsiuran dalam pelaksanaannya, seperti ungkapan yang kurang tepat dari hampir semua pemimpin dari mulai gubernur hingga kepala kantor kementerian pendidikan kabupaten/kota dengan mengkampanyekan slogan pendidikan gratis yang melahirkan kebijakan “ dilarang melakukan pungutan sepeserpun dari orang tua murid dengan dalih apapun” dengan dalil Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar, Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan :
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.

Melihat fenomena ini kita perlu memperhatikan pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 yang menyatakan, ketentuan mengenai investasi dan biaya operasional diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendanaan pendidikan. Selanjutnya, Pasal 11 ayat (2) menegaskan,”Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya pendidik, tenaga kependidikan, dan biaya operasi untuk setiap satuan pendidikan pelaksana program wajib belajar dengan pembagian beban tanggungjawab sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendanaan pendidikan”.

Perataran Pemerintah Nomor 47 tahun 2008 pasal 9 sudah menjelaskan tidak boleh memungut biaya. Akan tetapi bukan berarti ruang partisipasi masyarakat ditutup. Aturan pembiayaan pendidikan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, pasal 51 ayat (1) menyatakan” Pendanaan Pendidikan bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat”, selanjutnya dijelaskan dalam ayat (4) menyatakan’ Dana Pendidikan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dapat bersumber dari: a. anggaran pemerintah; b. bantuan pemerintah daerah; c. pungutan dari peserta didik atau orangtua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan; d. bantuan dari pemangku kepentingan satuan pendidikan diluar peserta didik atau orangtua/walinya; e. bantuan dari pihak asing yang tidak mengikat; dan atau f. sumber lainnya yang sah.

Selanjutnya dalam pasal 13 peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 selengkapnya menyatakan “(1) masyarakat berhak: a. berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan porgram wajib belajar, serta b. mendapat data dan informasi tentang penyelenggaraan program wajib belajar. (2) Nasyarakat berkewajiban mendukung penyelenggaraan Program wajib belajar. (3) Hak dan Kewajiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian pasca lahirnya PP 47/2008 tentang wajib belajar dan PP 48/2008 tentang pendanaan pendidikan, maka komite sekolah sebagai badan yang mewadwhi partisipasi masyarakat sangat diharapkan berperan sebagai pendukung baik yang berwujud finansial, pemkiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidkan di satuan pendidkan. Disamping itu juga komite sekolah berperan sebagai pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan, serta sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.

Untuk menjalankan perannya itu, komite sekolah memiliki fungsi yaitu mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggara pendidikan bermutu. Badan itu juga melekukan kerjasama dengan masyarakat, baik perorangan maupun organisasi, dunia usaha dan industri dan pemerintah, berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Fungsi lainnya adalah menampung dan menganalisis aspirasi, pandangan, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.

Disamping itu, komite sekolah memberikan masukan dan pertimbangan kepada satuan pendidikan mengenai kebijakan dari program pendidikan; kreteria kinerja satuan pendidikan; kriteria tenaga kependidikan, khususnya guru dan dan kepala satuan pendidikan; kriteria fasilitas pendidikan; dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan. Komite sekolah juga berfungsi dalam mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan dan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

Komite sekolah dan Partisipasi Masyarakat
Keterbatasan Pemerintah dalam pengadaan sarana dan prasarana, serta pembiayaan pendidikan menyebabkan dukungan serta partisipasi masyarakat menjadi penting, terutama masyarakat yang terkait langsung dengan sekolah yang bersangkutan. Pendidikan sebagai lembaga sosial akan semakin lancar dan berhasil melaksanaka tugasnya, serta memperoleh simpati dari masyarakat, jika dapat menjalin hubungan yang harmonis dan serasi dengan segenap masyarakat dan lingkungan, melalui manajemen pengembang hubungan sekolah dengan masyarakat.

Hubungan sekolah dan masyarakat pada hakekatnya merupakan sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Dalam hal ini, sekolah sebagai sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif dan effisien. Sebaliknya sekolah juga harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat , khususnya kebutuhan pendidikan. Oleh karena itu, sekoalh berkewajiban memberikan penerangan tentang tujuan-tujuan, program-program, kebutuhan serta keadaan sekolah. Sebaliknya, sekolah juga harus mengetahui dengan jelas apa kebutuhan, harapan, dan tuntutan masyarakat harus dibina dan dikembangkan suatu hubungan yang harmonis.

Menumbuhkan partisipasi masyarakat dan lingkungan sekitar sekolah ini semakin dirasakan pentingnya pada masyarakat yang telah menyadari dan memahami pentingnya pendidikan. Namu tidak berarti pada masyarakat yang masih kurang menyadari pentingnya pendidikan, hubungan kerjasama ini tidak perlu dibina dan dikembangkan. Pada masyarakat yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan, sekolah dituntut lebih aktif dan kreatif untuk mengembangkan hubungan kerjasama yang lebih harmonis.

Hubungan sekolah dengan masyarakat brjalan dengan baik, rasa tanggungjawab dan partisifasi masyarakat untuk memajukan sekolah juga baik dan tinggi. Agar tercipta hubungan dan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat, perlu adanya upaya sekolah menyampaikan gambaran yang jelas tentang keadaan sekolah, yang diinformasikan kepada sekolah melalui laporan lisan dan tulisan, dapat berupa laporan kepada orang tua murid dan masyarakat, dengan media buletin bulanan, penerbitan surat kabar, siaran radio dan televisi, pameran sekolah, open house, kunjungan kerumah murid dan lain-lain.

Selanjutnya, mengembangkan partisipasi masyarakat dan lingkungan sekitar sekolah , kepala sekolah dan guru merupakan kunci keberhasilan, yang menaruh perhatian terhadap apa yang terjadi pada peserta didik disekolah dan apa yang dipikirkan orang tua dan masyarakat tentang sekolah. Kepala sekolah dituntut senantiasa berusaha membina dan mengembangkan hubungan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Hubungan yang harmonis ini akan membentuk 1) saling pengertian antara sekolah, orangtua, masyarakat, dan lembaga-lembaga lain yang ada pada masyarakat, termasuk dunia kerja; 2) saling membantu antara sekolah dan masyarakat karena mengetahui manfaat, arti pentingnya peran masing-masing; 3) kerjasama yang erat antara sekolah dengan berbagai pihak yang ada di masyarakat akan menjadikan mereka merasa bangga dan ikut bertanggungjawab atas suksesnya pendidikan disekolah.

Partisipasi masyarakat mengacu pada adanya keikut sertaan masyarakat secara nyata dalam suatu kegiatan. Partisipasi ini dapat berupa gagasan, kritik membangun, dukungan dan pelaksanaan pendidikan. Dalam sistem pemerintahan yang berkebijakannya barsifat top-down, partisipasi masyarakat dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan tidak begitu dipermasalahkan, namun pada sistem pemerintahan yang bottom-up , tingginya partisipasi masyarakat dapat dijadiakn tolak ukur keberhasilan kebijakan tersebut.

Koentjaraningrat dalam Mulyasa, (2004:17) menggolongkan partisipasi masyarakat kedalam tipologinya, ialah”Partisipasi kuantitatif menunjuk kepada frekuensi keikutsertaan masyarakat terhadap implementasi kebijakan, sedangkan partisipasi kualitatif menunjuk pada tingkat dan derajatnya”. Partisipasi masyarakat juga dapat dikelompokkan berdasarkan posisi individu dalam kelompoknya. Pertama, partisipasi masyarakat dalam aktifitas bersama dalam proyek khusus. Kedua, partisipasi anggota masyarakat sebagai individu dalam aktivitas bersama pembangunan.

Partisipasi masyarakat juga dapat dilihat dari cakupannya. Partisipasi secara luas diartikan sebagai demokratisasi politik, di dalamnya masyarakat menentukan tjuan, strategi dan perwakilan dalam pelaksanaannya, kebijakan dan pembangunan. Secara sempit partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan perubahan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan arti pembangunan sendiri.

Sisten desentralisasi dan demokrasi pendidikan, partisipasi masyarakat sangat di perlukan. Masyarakat harus menjadi patrner sekolah dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran, karena kerjasama antara keduanya sangat penting dalam membentuk pribadi peserta didik. Dalam susanan yang demikian, sekolah memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai partner masyarakat, sekolah akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang dalam lingkungan masyarakat, bahan bacaan, tontonan dan kondisi sosial ekonomi. Sekolah juga harus bertanggungjawab terhadap perubahan masyarakat, yang dapat dilakukan melalui fungsi layanan bimbingann dan forum komunikasi antara sekolah dengan masyarakat. Disisi lain, kesadaran peserta didik untuk mendayagunakan masyarakat sebagai sumber belajar dipengarruhi oleh kegiatan dan pengalaman mengajar yang diikuti disekolah.

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa sekolah dan masyarakat merupakan patnership dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan aspek-aspek pendidikan, diantaranya :
a. Sekolah dengan masyarakat merupaka satu keutuhan dalam menyelenggarakan pendidikan dan pembinaan pribadi peserta didik.
b. Sekolah dengan pendidik fan tenaga kependidikan menyadari pentingnya kerjasama dengan masyarakat, bukan saja dalam melakukan pembaruan tetapi juga dalam menerima berbagai konsekuensi dan dampaknya, serta mencari alternatif pemecahannya.
c. Sekolah dengan masyarakat sekitar memiliki andil dan mengambil bagian serta bantuan dalam pendidikan di sekolah, untuk mengembangkan berbagai potensi secara optimal sesuai dengan harapan peserta didik.
Kementerian Pendidikan Nasional (1990; 5-19) menguraikan bahwa :
Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan rasional, yaitu (1) adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan kebutuhan masyarakat; (2) ketepan sasaran dan target pendidikan yang ditangani oleh sekolah ditentukan oleh kejelasan perumusan kontrak antara fungsi sebagai layanan pesanan masyarakat sangat di pengaruhi oleh ikatan objektif antara sekolah dan masyarakat.

Sejalan dengan bergulirnya roda reformasi yang didorong oleh mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, persepsi dan pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini, terutama berangkat dari tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya membekali anaknya dengan berbagai pengetahuan dan tehnologi sebagai bekal menghadapi berbagai tantangan dimasa depan.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat perlu senantiasa di kembangkan. Sebagaimana diungkapkan Mulyasa (2004; 173) bahwa :” School public relation is process of communiction between the scholl and community for purpose of incresing citizen understsnding of educational needs and practice and encouraging intelligent citizen interest and cooperation in the work of improving the school’.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat merupaka suatu proses komunikasi untuk meningkatkan pengertian warga masyarakat tentang kebutuhan dan praktek, sreta mendorong minat, dan kerjasama dalam usaha memperbaiki sekolah, karena komunikasi ini merupakan lintasan dua arah, yaitu dari arah sekolah ke masyarakat dan sebaliknya. Hubungan sekolah dengan masyarakat akan tumbuh jika masyrakat juga merasakan manfaat keikutsertaannya dalam program sekolah. Manfaat dapat diartikan luas, termasuk rasa diperhatikan dan rasa puas karena dapat menyumbangkan kemampuannya bagi kepentingan sekolah. Jadi, prinsip menumbuhkan hubungan sekolah denga masyarakat adalah dapat saling memberikan kepuasan. Salah satu jalan penting untuk membina hubungan dengan masyarakat adalah menetapkan komunikasi yang efektif.

Melalui Wadah komite sekolah tentulah partisipasi masyarakat dan stakeholders lainnya terwadahi. Sesuai skalanya, Dewan Pendidikan merupakan mitra pemerintah kabupaten/kota. Sementara komite sekolah merupaka mitra satuan pendidikan.
Komite Sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, atau beberapa satuan pendidikan yang sama di satu kompleks yang sama. Nama Komite sekolah merupakan nama generik, artinya, bahwa nama badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah, Komite Pendidikan, Komite Pendidikan Luar Sekolah, Dewan Sekolah, Majelis Sekolah, Majelis Madrasah, Komite TK, atau nama lainnya yang disepakati. Dengan demikian organisasi yang ada tersebut dapat memperluas fungsi, peran, dan keanggotaannya sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, Nomor : 044/U/2002.

Pembentukan Komite Sekolah sesuai dengan uraian Kementerian Pendidikan Nasional (2006:21) diterangkan bahwa :
Komite Sekolah dapat dibentuk dengan alternatif sebagai berikut :
Pertama, Komite Sekolah yang dibentuk di satu satuan pendidikan, kedua, Komite ekolah yang di bentuk untuk beberapa satuan pendidikan sekolah yang sejenis. Ketiga, Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjang pendidikan dan terletak didalam satu kompleks atau kawasan yang berdekatan.

Berdasarkan uraian diatas, maka jelas bahwa komite sekolah merupakan satu wadah yang dapat di bentuk secara fleksibel sehingga diharapkan memudahkan untuk di bentuk disetiap sekolah atau kumpulan sekolah. Kondisi ini penting karena keberadaan komite sekolah sangat menunjang dalam mewadahi jalinan kerjasama antara sekolah dan masyarakat.

Dalam keadaan seperti itu, maka komite sekolah akan dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang sejalan dengan kondisi dan permasalahan di masing-masing sekolah. Komite sekolah dapat melaksanakan fungsinya sebagai patner dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumber daya pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan yang dapat memberikan fasilitas bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak mungkin, sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif. Komite sekolah bisa ikut serta meneliti berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok maupun secara individual sehingga dapat membantu guru-guru untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya.

0 Komentar Tog Bhe Maseh: