Pembiayaan Pendidikan

7:53 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Pembiayaan sekolah adalah proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah di berbagai wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pembiayaan sekolah ini berkaitan dengan bidang politik pendidikan dan program pembiayaan pemerintah serta administrasi sekolah. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam pembiayaan sekolah, yakni school revenues, school expenditures, capital dan current cost. Dalam pembiayaan sekolah tidak ada pendekatan tunggal dan yang paling baik untuk pembiayaan semua sekolah karena kondisi tiap sekolah berbeda.
Setiap kebijakan dalam pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Dengan mengkaji berbagai peraturan dan kebijakan yang berbeda-beda di sektor pendidikan, kita bisa melihat konsekuensinya terhadap pembiayaan pendidikan, yakni:
1. Keputusan tentang siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan
2. Keputusan tentang bagaimana mereka akan dididik
3. Keputusan tentang siapa yang akan membayar biaya pendidikan
4. Keputusan tentang sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung pembiayaan sekolah
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada dua hal pokok yang harus dapat dijawab, yakni: i) bagaimana sumber daya akan diperoleh, ii) bagaimana sumber daya akan dialokasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan/tipe sekolah/kondisi daerah yang berbeda. Terdapat dua kriteria untuk menganalisis setiap hal tersebut, yakni, i) efisiensi yang terkait dengan keberadaan sumber daya yang dapat memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan ii) keadilan yang terkait dengan benefits dan costs yang seimbang.
Sedangkan Menurut J. Wiseman dalam Nanang Fattah (2009:83) terdapat tiga aspek yang perlu dikaji dalam melihat apakah pemerintahan perlu terlibat dalam masalah pembiayaan pendidikan:
1. Kebutuhan dan ketersediaan pendidikan terkait dengan sektor pendidikan dapat dianggap sebagai salah satu alat perdagangan dan kebutuhan akan investasi dalam sumberdaya manusia/human capital
2. Pembiayaan pendidikan terkait dengan hak orang tua dan murid untuk memilih menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang akan berdampak pada social benefit secara keseluruhan
3. Pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan
Dalam hal pendidikan kejuruan dan industri, M. Woodhall dalam Nanang Fattah (2009 18) menjelaskan bahwa di masa lalu pembiayaan pendidikan jenis ini ditanggung oleh perusahaan. Perusahaan memberi subsidi kepada para pekerjanya sendiri. Sekarang peran pemerintah semakin besar dalam pembiayaan ini. Hal itu disebabkan adanya kepentingan ekonomi. Artinya kebijakan ketenagakerjaan, diharapkan dapat meningkatkan kepentingan untuk membagi biaya dan manfaat dari pendidikan ini dengan adil.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan kejuruan ini adalah:
1. Peran pemerintah dalam membiayai jenis pendidikan ini
2. Perbedaan antara jenis training yang umum dan spesifik
3. Pilihan antara training yang on dan off the job
4. Keseimbangan antara pembiayaan dari pemerintah dan sektor swasta di pendidikan
5. Pentingnya praktek kerja sebagai kelanjutan dari jenis pendidikan ini
6. Pembayaran kompensasi selama mengikuti pendidikan ini
7. Sumber daya yang dialokasikan untuk jenis pendidikan ini
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk miningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam UUD 1945 pasal 31 “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.” Hal ini membuktikan adanya langkah pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia. Kenyataannya, tidak semua orang dapat memperoleh pendidikan yang selayaknya, dikarenakan berbagai faktor termasuk mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan. Kondisi inilah kemudian mendorong dimasukannya klausal tentang pendidikan dalam amandemen UUD 1945. Konstitusi mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan biaya pendidikan 20% dari APBN maupun APBD agar masyarakat dapat memperoleh pelayanan pendidikan. Ketentuan ini memberikan jaminan bahwa ada alokasi dana yang secara pasti digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan.
Namun, dalam pelaksanaanya pemerintah belum punya kapasitas finansial yang memadai, sehingga alokasi dana tersebut dicicil dengan komitmen peningatan alokasi tiap tahunnya. Peningkatan kualitas pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manfaat berupa peningkatan kualitas SDM. Disisi lain, prioritas alokasi pembiayaan pendidikan seyogianya diorientasikan untuk mengatasi permasalahan dalam hal aksebilitas dan daya tampung. Karena itu, dalam mengukur efektifitas pembiayaan pendidikan, terdapat sejumlah prasyarat yang perlu dipenuhi agar alokasi anggaran yang tersedia dapat terarah penggunaannya.
Menurut Adam Smith, dalam Nanang Fattah (2009:5) Human Capital yang berupa kemampuan dan kecakapan yang diperoleh melalui Pendidikan, belajar sendiri, belajar sambil bekerja memerlukan biaya yang dikeluarkan oleh yang bersangkutan. Perolehan ketrampilan dan kemampuan akan menghasilkan tingkat balik Rate of Return yang sangat tinggi terhadap penghasilan seseorang. Berdasarkan pendekatan Human Kapital ada hubungan Lenier antara Investment Pendidikan dengan Higher Productivity dan Higher Earning. Manusia sebagai modal dasar yang di Infestasikan akan menghasilkan manusia terdidik yang produktif dan meningkatnya penghasilan sebagai akibat dari kualitas kerja yang ditampilkan oleh manusia terdidik tersebut,dengan demikian manusia yang memperoleh penghasilan lebih besar dia akan membayar pajak dalam jumlah yang besar dengan demikian dengan sendirinya dapat meningkatkan pendapatan negara.
Peningkatan ketrampilan yang dapat mengahasilkan tenaga kerja yang Produktivitasnya tinggi dapat dilakukan melalui Pendidikan yang dalam pembiayaannya menggunakan efesiensi Internal dan Eksternal. Dalam upaya mengembangkan suatu sistem pendidikan nasional yang berporos pada pada pemerataan, relevansi, mutu, efisiensi, dan efektivitas dikaitkan dengan tujuan dan cita-cita pendidikan kita, namun dalam kenyataannya perlu direnungkan, dikaji, dibahas, baik dari segi pemikira tioritis maupun pengamatan emperik.
Untuk dapat tercapai tujuan pendidikan yang optimal, maka salah satunya hal paling penting adalah mengelola biaya dengan baik sesuai dengan kebutuhan dana yang diperlukan. Administrasi pembiayaan minimal mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Penyaluran anggaran perlu dilakukan secara strategis dan intergratif antara stakeholder agar mewujutkan kondisi ini, perlu dibangun rasa saling percaya, baik internal pemerintah maupun antara pemerintah dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat itu sendiri dapat ditumbuhkan. Keterbukaan, partisipasi, akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan menjadi kata- kata kunci untuk mewujutkan efektifitas pembiayaan pendidikan.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Budaya Organisasi

7:34 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Budaya adalah sumber keunggulan kompetitif utama berkelanjutan yang kemungkinan
timbul sebagai pemersatu dalam organisasi sistem, struktur dan karir (Subir Chowdhury,
2005: 327). Budaya sebagai semua temu hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan, kebendaan dan kebudayaan
jasmaniah dalam upaya menguasai alam sekitar¬nya. Rasa meliputi jiwa manusia,
mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti luas, di
dalamnya meliputi ideologi, kebatinan, kesenian serta segala pengetahuan dan teknologi
(Soerjono Soekanto, 1993: 166).
Sekolah merupakan suatu organisasi, dan budaya yang ada di tingkat sekolah
merupakan budaya organisasi. Resep utama budaya organisasi adalah interpretasi
kolektif yang dilakukan oleh anggota-anggota organisasi berikut hasil aktivitasnya.
Budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku
anggota organisasi. Budaya selalu menga¬lami perubahan, hal ini sesuai dengan
peranan sekolah sebagai agen perubahan yang selalu siap untuk mengikuti perubahan
yang terjadi. Maka budaya organisasi sekolah diharapkan juga mampu mengikuti,
menyeleksi, dan berinovasi terhadap perubahan yang terjadi. Tilaar, 2004: 41
mengemukakan bahwa kebudayaan dan pendidikan merupakan dua unsur yang tidak
dapat dipisahkan karena saling mengikat. Budaya itu hidup dan berkembang karena
proses pendidikan, dan pendidikan itu hanya ada dalam suatu konteks kebudayaan.
Yang ada dalam arti kurikulum adalah sebagai rekayasa dari pembudayaan suatu
masyarakat, sedangkan proses pendidikan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses
pembudayaan yang dinamik.
Budaya organiasi terdiri dari dua komponen yaitu: 1) nilai (value) yakni sesuatu yang
diyakini oleh warga organisasi dalam menge¬tahui apa yang benar dan apa yang salah,
dan 2) keyakinan (belief) yakni sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam
organisasinya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam penyeleng¬garaan pendidikan
diharapkan para pelaksana pendidikan di sekolah dapat mengubah budaya organisasinya
sesuai dengan kondisi yang ada.
Terdapat beberapa kriteria kelompok dalam merespon perubahan dikemukakan oleh
Handoko T. Hani, 2001: 322-323 yaitu: 1) menyangkal perubahan yang terjadi,
2) mengabaikan adanya perubahan, 3) menolak perubahan, 4) menerima perubahan dan
menyesuaikan dengan perubahan, dan 5) mengantisipasi perubahan dan
merencanakannya.
Kondisi yang terjadi mengenai sikap, perilaku, pola pikir, tindakan terhadap keadaan
organisasi adalah merupakan suatu budaya organisasi.
Budaya organisasi dapat diciptakan dan dikondisikan oleh sesama tenaga kerja yang ada
di organisasi bersangkutan.
Budaya organisasi memiliki peranan yang sangat strategis untuk mendorong dan
meningkatkan keefektifan kinerja organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.
Budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial yang mengikat sesama anggota
organiasi secara bersama-sama dalam suatu visi dan tujuan yang sama.
Ada 4 fungsi budaya organisasi yaitu; 1) memberikan suatu iden¬titas organisasional
kepada anggota organisasi, 2) memfasilitasi dan membuahkan komitmen kolektif, 3)
meningkatkan stabilitas sistem sosial, dan 4) membentuk perilaku dengan membantu
anggota-anggota organisasi memiliki pengertian tehadap sekitarnya.
Budaya organisasi dapat dikatakan baik jika mampu menggerakkan seluruh personal
secara sadar dan mampu memberikan kontribusi terhadap keefektifan serta
produktivitas kerja yang optimal.

Setiap organisasi mempunyai budaya organisasi yang mempengaruhi semua aspek organisasi dan perilaku anggotanya secara individual dan kelompok. Budaya organisasi memiliki peranan yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan keefektifan kinerja organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial yang mengikat sesama anggota organiasi secara bersama-sama dalam suatu visi dan tujuan yang sama.
Budaya organisasi yang di dalamnya memuat norma-norma dan nilai-nilai dasar mengenai hidup manusia, diyakini dapat memberikan pengaruh yang
signifikan bagi pembentukan perilaku kepala sekolah dan guru-guru dalam melakukan aktivitas sesuai fungsinya masing-masing serta membantu mereka memahami nilai dan makna dari pekerjaan yang ditangani di sekolah.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Menurut Mc. Namara dalam Hikmat ( 2009:211) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi input, budaya organisasi mencakup umpan balik ( feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Adapun dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu pada asumsi, nilai dan norma. Sementara dilihat dari output berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada warga sekolah.
Budaya organisasi sekolah dibangun oleh pola-pola kerja yang dilakukan oleh warga sekolah setiap hari, yang kemudian dianut sebagai suatu nilai yang menjadi tradisi sekolah. Tradisi dijalankan oleh sekolah secara berulang-ulang menjadi ritual kemudian muncul sebagai kultur sekolah yang terus dipertahankan anggotanya secara turun temurun dan akan menjadi kebanggaan. Sekolah menjadi rumah tinggal yang memberi kebanggaan kepada seluruh warga sekolah.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ardana, dkk (2008:170) bahwa budaya organisasi adalah sistem dan keyakinan bersama yang dianut oleh para anggota organisasi yang menentukan sebagian besar cara mereka bertindak.
Pengertian budaya organisasi menurut Edgar Schein, dalam Wirawan (2008:8) adalah pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan oleh suatu kelompok orang selagi mereka belajar untuk menyelesaikan problem-problem, menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal dan berintegrasi dengan lingkungan internal.
Selanjutnya menurut Indrawijaya ( 2010:198) budaya organisasi adalah keseluruhan nilai, norma-norma, kepercayaan-kepercayaan dan opini-opini yang dianut dan dijunjung tinggi bersama oleh para anggota orgnisasi, sehingga memberi arah dan corak kepada anggota organisasi tersebut.

Sedangkan menurut Robbins ( 1990:479) budaya organisasi dijelaskan sebagai nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan, cara pekerjaan dilakukan ditempat itu, asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat diantara anggota organisasi.
Dengan demikian budaya organisasi adalah suatu pola dasar yang dikembangkan oleh organisasi sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta merupakan kepercayaan maupun harapan bersama para anggota organisasi. untuk menanggulangi masalah-masalah yang diadaDalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.
Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
(1) Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
(2) Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and religion.
Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.
Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Kepala Sekolah, Kinerja Guru dan Budaya Organisasi Sekolah

8:12 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Pemimpin akan muncul jika ada sekelompok orang bekerja yang melakukan aktivitas bersama untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan dan kesiapan sese¬orang untuk mempengaruhi, membimbing dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mereka mau berbuat sesuatu demi tercapai tujuan bersama (Gibson dalam Sudarmayanti, 2002: 272).
Jadi dalam memimpin pasti terlibat kemampuan seseorang untuk mempengaruhi atau memotivasi orang lain/bawahannya agar mereka mau melaksanakan tugasnya dengan baik. Pengertian lain bahwa kepemimpinan merupakan suatu aktivitas untuk mempengaruhi perilaku atau seni mempengaruhi manusia baik perorangan maupun kelompok (Miftah Toha, 2004: 9).
Pengertian juga mengungkapkan bahwa pemimpin ditentukan oleh bakat dan kemampuan/kepandaian. Bakat yaitu sifat yang dibawa sejak lahir sedang kemampuan atau kepandaian yaitu suatu kemampuan yang dicapai karena belajar atau berlatih secara teori maupun praktek mengenai kepemimpinan untuk bertindak sebagai pemimpin. Di dalam prakteknya akan lebih baik apabila kedua hal tersebut ada pada diri seorang pemimpin, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi dan kemampuan untuk mengelola pekerjaan atau suatu organisasi.
Kepemimpinan berkaitan dengan sebuah organisasi bahwa kepe¬mimpinan sebagai pencerminan suatu kualitas organisasi sebagai sistem yang memiliki karakteristik. Konsep tersebut menjadi gambaran bahwa maju dan mundurnya suatu organisasi sangat tergantung dari pemimpin.
Lembaga pendidikan atau sekolah sebagai organisasi formal merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen. Dari komponen yang ada seorang pemimpin harus mengetahui dan memberdayakan bawahannya untuk mengerjakan tugas.
Sehubungan dengan jabatan sebagai kepala sekolah sebenarnya terdapat tiga peran yaitu: 1) Kepala Sekolah sebagai pemimpin sekolah, 2) Kepala Sekolah sebagai manajer dan 3) Kepala Sekolah sebagai administrator.
Kepala sekolah sebagai pemimpin yaitu mengarahkan, mempe¬ngaruhi, memberi pengertian atau sejenisnya kepada staf untuk bekerja mencapai tujuan. Sedang kepala sekolah sebagai manajer berkaitan dengan pengelolaan sekolah mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan pelaporannya. Kepala sekolah sebagai adminsitrator berkaitan dengan jabatan dalam keorganisasian yaitu terkait dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab seperti halnya dikemukakan Wirawan (2002: 17) bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses bukan sesuatu yang terjadi seketika. Istilah proses dalam istilah kepemimpinan ini terdiri dari masukan, proses dan keluaran.
Pemimpin mempunyai peranan sebagai subyek yang aktif, kreatif dalam menggerakkan orang baik sebagai individu maupun kelompok/organisasi dalam pencapaian tujuan/visi, secara efektif. Kepemimpinan kepala sekolah memiliki peran strategi dalam kerangka manajemen dan kepala sekolah merupakan salah satu faktor terpenting dalam menunjang keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Kepala sekolah adalah pengelola satuan pendidikan yang bertugas menghimpun, memanfaatkan, mengoptimalkan seluruh potensi dan SDM, sumber daya lingkungan (sarana dan prasarana) serta sumber dana yang ada untuk membina sekolah dan masyarakat sekolah yang dikelolanya.
Kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami kebera¬daan sekolah sebagai organiasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peran kepala sekolah sebagai seorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.
Kualitas kepemimpinan menurut Rodger D. Callons dalam Timpe (1993: 38-40) telah diidentifikasi sejumlah ciri-ciri pemimpin yang berhasil diantaranya adalah kelancaran berbicara, kemampuan untuk memecahkan masalah, kesadaran akan kebutuhan, keluwes¬an, kecerdasan, kesediaan menerima tanggung jawab, ketrampilan sosial dan kesadaran akan lingkungan. Pemimpin sebagai suatu atribut yang terdiri dari 12 karakteristik yaitu : 1) fitalitas dan stamina fisik, 2) inteligensia, 3) kemampuan menerima tanggung jawab, 4) kompetensi penugasan, 5) mema¬hami kebutuhan orang lain, 6) terampil berurusan dengan orang lain, 7) ingin berhasil, 8) kemauan bermotivasi, 9) keberanian, keteguhan dan ketahanan pribadi, 10) kemampuan menenangkan perasaan, 11) kemampuan memanajemen, memutuskan dan menetapkan, 12) adaptasi dan fleksibilitas (Salusu, 1996: 210).
Berdasarkan beberapa sifat pemimpin di atas maka pemimpin merupakan orang pilihan yang mempunyai sifat-sifat unggul dibanding dengan lainnya dalam satu kelompok.
Di samping sifat, fungsi dan kualitas terdapat implikasi dari sifat-sifat, perilaku, pengetahuan, dan fungsi dalam pelaksanaan sehari-hari dengan cara atau gaya tersendiri agar berhasil sesuai dengan harapan. Terdapat 2 dua gaya yang digunakan oleh pemimpin yaitu gaya yang berorientasi pada tugas dan gaya yang berorientasi pada karyawan. Gaya pemimpin yang berorientasi pada tugas yaitu mengarahkan dan mengawasi secara ketat bawahannya untuk memastikan bahwa tugas dijalankan dengan memuaskan. Gaya pemimpin yang berorientasi pada karyawan yaitu mencoba memotivasi karyawan bukan mengendalikan karyawan (Linkert dikutif oleh James AF Stoner, 1982: 120)
Terdapat 8 tipe kepemimpinan yaitu 1) tipe kharismatik, 2) Tipe paternalistik dan maternalistis, 3) tipe meliteristis, 4) tipe otokratis, 5) tipe laissez faire, 6) tipe populastis, 7) tipe administratif atau eksekutif, 8) tipe demokratis.
Berdasarkan pendapat Gary Yukl, 2002: 6, dijelaskan berbagai ukuran dari keberhasilan pencapaian tujuan yang disebabkan oleh kepemimpinan dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung.
Dengan demikian kepemimpinan mempunyai pengaruh terhadap hasil kerja atau produktivitas secara langsung maupun tidak langsung. Kinerja Guru
Kinerja merupakan hasil kerja seluruh aktivitas dari seluruh komponen sumber daya yang ada. Kinerja atau performance adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum sesuai dengan norma maupun etika (Suryadi Prawiro Sentono, 1999: 1).
Guru adalah seorang yang berdiri di depan kelas untuk menyam¬paikan ilmu pengetahuan dan sebagai orang yang banyak digugu dan ditiru. Menurut UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik (guru) merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembe¬lajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Guru adalah seorang tenaga profesional yang dapat menjadikan murid-muridnya mampu merencanakan, menganalisis dan menyim¬pul¬kan masalah yang dihadapi (Syafrudin Nurdin, 2005: 7).
Seorang guru tidak hanya terbatas pada status sebagai pengajar saja, namun peranan guru lebih luas lagi yaitu seabgai penyeleng¬gara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan/mutu pro¬duktivitas.
Kinerja seseorang sangat ditentukan oleh pengalaman, latihan, pendidikan dan karakteristik mental serta fisik, di samping itu kinerja juga dipengaruhi oleh aspek bahasa, aspek hukum, kebudayaan setempat yang merupakan tambahan spesifik penting lainnya.
Untuk penilaian kinerja oleh John Suprihanto, 1996: 2 dapat ditujukan pada berbagai aspek yaitu; 1) kemampuan kerja, 2) kerajin¬an, 3) disiplin, 4) hubungan kerja, 5) prakarsa dan kepemimpinan atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya. Hal yang mudah mempengaruhi kinerja adalah imbalan yang diperoleh, hadiah yang diberikan baik hadiah dari luar maupun dari dalam akan dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Hadiah ter¬sebut dapat memotivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan lebih baik.
Sesuatu yang paling berperan untuk memotivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan lebih baik adalah adanya hadiah. Disamping hal tersebut juga diperlukan kemampuan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan pemberian penghargaan.
Kinerja guru sebagai tenaga kependidikan dan sebagai karyawan/ pegawai negeri sipil baik di lembaga/yayasan sekolah, berperan sebagai pengelola pendidikan. Maka sebagai seorang guru dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya di sekolah dalam rangka mencapai tujuan, terkait dengan prestasi belajar siswa. Pendidik/guru sebagai unsur yang sangat strategis dan sebagai ujung tombak dalam merealisasikan tujuan untuk mewujudkan produktivitas sekolah yang berkualitas. Pendidikan harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk me¬wujud¬kan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi; 1) kompetensi pedagogik, 2) kompe¬tensi kepribadian, 3) kompetensi profesional, dan 4) kompetensi sosial (PP 19/2005: 23-24).
Dengan demikian kinerja guru merupakan hasil yang dicapai oleh seorang guru dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya di sekolah baik sebagai pendidik dan pengajar dalam rangka mencapai tujuan yaitu mewujudkan lulusan/prestasi belajar siswa yang optimal. Budaya Organisasi Sekolah
Budaya adalah sumber keunggulan kompetitif utama berkelanjutan yang kemungkinan timbul sebagai pemersatu dalam organisasi sistem, struktur dan karir (Subir Chowdhury, 2005: 327).
Budaya sebagai semua temu hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan, kebendaan dan kebudayaan jasmaniah dalam upaya menguasai alam sekitar¬nya. Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti luas, di dalamnya meliputi ideologi, kebatinan, kesenian serta segala pengetahuan dan teknologi (Soerjono Soekanto, 1993: 166).
Budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Budaya selalu menga¬lami perubahan, hal ini sesuai dengan peranan sekolah sebagai agen perubahan yang selalu siap untuk mengikuti perubahan yang terjadi. Maka budaya organisasi sekolah diharapkan juga mampu mengikuti, menyeleksi, dan berinovasi terhadap perubahan yang terjadi. Tilaar, 2004: 41 mengemukakan bahwa kebudayaan dan pendidikan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan karena saling mengikat. Budaya itu hidup dan berkembang karena proses pendidikan, dan pendidikan itu hanya ada dalam suatu konteks kebudayaan. Yang ada dalam arti kurikulum adalah sebagai rekayasa dari pembudayaan suatu masyarakat, sedangkan proses pendidikan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses pembudayaan yang dinamik.
Budaya organiasi terdiri dari dua komponen yaitu: 1) nilai (value) yakni sesuatu yang diyakini oleh warga organisasi dalam menge¬tahui apa yang benar dan apa yang salah, dan 2) keyakinan (belief) yakni sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam organisasinya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam penyeleng¬garaan pendidikan diharapkan para pelaksana pendidikan di sekolah dapat mengubah budaya organisasinya sesuai dengan kondisi yang ada.
Terdapat beberapa kriteria kelompok dalam merespon perubahan dikemukakan oleh Handoko T. Hani, 2001: 322-323 yaitu: 1) menyangkal perubahan yang terjadi, 2) mengabaikan adanya perubahan, 3) menolak perubahan, 4) menerima perubahan dan menyesuaikan dengan perubahan, dan 5) mengantisipasi perubahan dan merencanakannya.
Kondisi yang terjadi mengenai sikap, perilaku, pola pikir, tindakan terhadap keadaan organisasi adalah merupakan suatu budaya organisasi.
Budaya organisasi dapat diciptakan dan dikondisikan oleh sesama tenaga kerja yang ada di organisasi bersangkutan. Budaya organisasi memiliki peranan yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan keefektifan kinerja organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial yang mengikat sesama anggota organiasi secara bersama-sama dalam suatu visi dan tujuan yang sama.
Ada 4 fungsi budaya organisasi yaitu; 1) memberikan suatu iden¬titas organisasional kepada anggota organisasi, 2) memfasilitasi dan membuahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas sistem sosial, dan 4) membentuk perilaku dengan membantu anggota-anggota organisasi memiliki pengertian tehadap sekitarnya.
Budaya organisasi dapat dikatakan baik jika mampu menggerakkan seluruh personal secara sadar dan mampu memberikan kontribusi terhadap keefektifan serta produktivitas kerja yang optimal. Dengan demikian budaya organisasi sekolah sebagai bagian kebiasa¬¬an dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formulanya untuk menciptakan norma perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan dalam rangka mencapai tujuan organisasi sekolah

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Produktivitas Sekolah

8:11 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Produktivitas merupakan rasio antara input (masukan) dan out put (keluaran) yang diperoleh. Masukan dapat berupa biaya produksi, peralatan dan lainnya sedang keluaran dapat berupa barang, uang atau jasa.
Jika diterapkan pada pendidikan maka produktivitas merupakan hasil segala upaya dari sekolah dengan menghasilkan kuantitas serta kualitas siswa, dan pendidikan. Namun dalam pengertian keluaran atau hasil ini cenderung pada kualtias keluasan.
Demikian pula produktivitas di bidang pendidikan/sekolah me¬nyang¬kut upaya peningkatan produksi. Sebagai sarana untuk meningkatkan produksi di bidang pendidikan adalah ketenagaan, kepandaian/keahlian, teknik pembelajaran, kurikulum, peralatan atau sarana prasarana pendidikan sebagai sistem pendidikan (Hasibuan, 2005: 128)
Produktivitas yang diharapkan terjadinya peningkatan pengetahuan dan perilaku siswa menuju ke arah yang lebih baik maupun peningkatan kuantitas. Di dunia pendidikan lebih cenderung ke peningkatan kualitas atau mutu lulusan yang semakin tinggi.
Dewasa ini produktivitas individu mendapatkan perhatian cukup besar. Individu sebagai tenaga kerja yang memiliki kualitas adalah ukuran untuk menyatakan seberapa jauh dipenuhi berbagai per¬syaratan, spesifikasi dan harapan. Kualitas berkaitan dengan hasil yang dicapai dan proses produksi, hal ini mempengaruhi kualitas hasil yang dicapai. Keluaran di bidang pendidikan meliputi berbagai upaya yang terkait dengan peningkatan kuantitas out put, peningkatan kualitas out put, peningkatan efektivitas kerja dan peningkatan efisiensi kerja Oleh Smith 1990: 45 dikemukakan bahwa produktivitas dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan. Pengertian tersebut dikaitkan dengan keberadaan guru, yaitu berupa gaji dan penghasilan lainnya dari tempat kerja atau sekolah.
Apabila kebutuhan dapat dipenuhi maka guru akan lebih semangat untuk meningkatkan produktivitas kerja.
Produktivitas pendidikan mencakup tiga fungsi yaitu: 1) the administrative function, 2) the psychology production function, 3) the economic production function. Beberapa prinsip untuk meningkatkan produktivitas dan merupakan cara atau strategi dalam pencapaiannya yaitu: 1) mempercepat produk dapat diimplikasikan dalam dunia pendidikan adalah peningkatan proses pencapaian tujuan pembelajaran; 2) mendapatkan posisi yang tepat diimplikasikan di dunia pendidikan yaitu dengan menempatkan guru sesuai dengan bidang studi yang menjadi latar belakang pendidikannya; 3) jangan menambah kapasitas yang telah ada diimplikasikan di dunia pendidikan adalah memaksakan kerja kepada guru di luar kemampuannya; 4) gunakan informasi yang akurat untuk mengukur kerja.
Beberapa unsur yang menentukan produktivitas sekolah diantara¬nya adalah kepemimpinan kepala sekolah, guru, sarana prasarana, siswa dan unsur penunjang lainnya.
Khusus bagi guru memegang peranan penting di dalam produktivitas sekolah yang berkaitan dengan kualitas lulusan siswa. Sedang faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas sekolah tergantung dari berbagai hal yang saling berhubungan diantaranya adalah dengan guru, sarana prasarana, pemimpin, siswa, aturan serta unsur-unsur lainnya yang terkait.
Secara umum pengukuran produktivitas berarti perbandingan yang dapat dibedakan dalam 3 jenis yang sangat berbeda yaitu: 1) perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan pelaksanaan secara historis yang tidak menunjukkan apakah pelaksanaan sekarang ini memuaskan, namun hanya mengetengahkan meningkat atau ber¬kurang, 2) perbandingan pelaksanaan antara satu unit (perorangan) dengan unit lainnya. Pengukuran secamam ini merupakan pencapaian secara relatif, dan 3) perbandingan pelaksanaan sekarang dengan target yang dicapai. Inilah yang terbaik, sebab memusatkan perhatian pada sasaran/tujuan.
Berdasarkan atas hasil temuan bahwa 1) Ternyata terdapat pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung kepemimpinan kepala sekolah terhadap produktivitas sekolah; 2) Terdapat pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung budaya organisasi sekolah terhadap produktivitas sekolah; 3) terdapat pengaruh langsung kinerja guru terhadap produktivitas sekolah.

Kesimpulan
Produktivitas sekolah baik secara kuantitas dan kualitasnya dapat ditingkatkan melalui peningkatan profesionalitas kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru serta budaya organisasi sekolah yang mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung. Peningkatan strategi kepemimpinan profesional, dilakukan dengan jalan mengadakan analisis lingkungan yang meliputi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman/tantangan. Melalui peningkatan gaya kepemimpinan dengan menerapkan gaya kepemimpinan situasional. Khususnya bagi yang memerlukan sikap tegas dapat diterapkan gaya kepemimpinan otoriter, namun bagi yang dapat diajak bekerja sama dilakukan gaya kepemimpinan demokrasi.
Produktivitas sekolah dapat meningkat jika penerapan demokrasi antar unsur sumberdaya manusia terwujud, disamping juga diperlu¬kan peningkatan budaya saling menghargai, budaya inovatif, budaya kreatif, budaya profesionalisme dan budaya belajar. Bagi semua unsur yang terkait dalam satu sistem juga harus melak¬sana¬kannya baik siswa, guru dan karyawan termasuk kerjasama dengan unsur terkait di luar lembaga yang ada.
Berbagai unsur sekolah yang ada terutama guru, diharapkan dapat menciptakan kondisi adanya budaya organisasi sekolah yang sejuk, nyaman sehingga dengan adanya budaya organisasi yang baik di sekolah akan tercipta suasana akademik yang kondusif. Akhirnya berpengaruh tercapainya produktivitas sekolah dan kinerja guru yang optimal.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Budaya organisasi sekolah dan kinerja guru

8:10 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Sekolah merupakan suatu organisasi, dan budaya yang ada di tingkat sekolah merupakan budaya organisasi. Resep utama budaya organisasi adalah interpretasi kolektif yang dilakukan oleh anggota-anggota organisasi berikut hasil aktivitasnya.
Budaya organisasi yang dimaksudkan disini ini adalah aspek-aspek non fisik, misalnya komitmen kerja, pola komunikasi, sikap terhadap pekerjaan, semangat kerja, sikap terhadap sesama, harapan, kepercayaan dan norma-norma serta nilainilai kejujuran, keadilan dan kebenaran yang dirasakan oleh guru ekonomi selaku anggota organisasi sekolah. Keterampilan manajerial Kepala Sekolah adalah kemampuan yang nyata dalam hal menguasai pengetahuan dan menggunakan teknik atau strategi tertentu dalam mengaplikasikan, menjabarkan, dan menterjemahkan konsep-konsep manajemen kedalam
pekerjaan praktis di sekolah, mampu mendistribusikan pekerjaan kepada guru-guru dan pegawai dan mengarahkan serta mengendalikannya secara efektif.
Budaya organisasi yang di dalamnya memuat norma-norma dan nilai-nilai dasar mengenai hidup manusia, diyakini dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi pembentukan perilaku kepala sekolah dan guru-guru dalam melakukan aktivitas sesuai fungsinya masing-masing serta membantu mereka memahami nilai dan makna dari pekerjaan yang ditangani di sekolah. Dan kinerja yang dicapai selama ini, baik oleh kepala sekolah maupun oleh guru-guru ekonomi SLTA di Kabupaten Blitar tentunya karena ada kontribusi dari aspek-aspek budaya organisasi. Pemikiran M e g g i n s o n , et al. (1992:11) memberikan makna lain, yaitu bahwa elemen-elemen budaya organisasi yang dominan berpengaruh positif terhadap perilaku anggota organisasi, perlu dikelola dengan baik agar para anggota organisasi lebih mentranformasikan dan memahami maknanya dalam meningkatkan kinerja mereka sebagai anggota organisasi.
Jika kepala sekolah mengaktualisasikan fungsi keterampilan manajerialnya secara nyata dan objektif dalam mengelola seluruh aktivitas di sekolah yang dipimpinnya, maka pelaksanaan fungsi pengawasannya terhadap aktivitas guru berlangsung baik dan mendapat dukungan yang efektif. Kemampuan dan niat baik kepala sekolah mengaktualisasikan fungsi dan peran manajerial dimaksud akhirnya berdampak positif terhadap hasil kerja guru ekonomi di sekolah.
Peranan manajer tentu saja bermakna bagi kepala sekolah yaitu menampilkan perilaku yang diharapkan untuk membangun pekerjaannya. Para manajer juga diharapkan
meningkatkan hubungan interpersonal dengan stafnya dan berusaha menerima dan mengirim informasi yang tepat dari stafnya sebagai upaya untuk meningkatkan hasil kerja staf di lembaga yang dipimpinnya.
Beberapa pemikiran dirujuk di atas dapat memperkokoh temuan dalam penelitian ini mengenai betapa kuatnya pengaruh keterampilan dan kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap peningkatan performansi kerja staf dan guru-guru ekonomi yang dipimpinnya kemampuan kepala sekolah dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi manajemen yang mencerminkan pelaksanaan tugas yang terkait dengan keterampilan manajerial mencakup keterampilan konsep, keterampilan teknik, dan dan keterampilan hubungan manusiawi. Pelaksanaan tiga aspek keterampilan manajerial tersebut berada dan berkaitan dengan lingkup manusia, pekerjaan, proses kerjasama dan teknis atau cara yang dipakai dalam melakukan kegiatan organisasi, sehingga memiliki keterkaitan yang erat dengan nilai-nilai budaya yang dianut, hidup dan berkembang di sekolah. Hubungan yang dimaksud terletak pada usaha nyata kepala sekolah dalam mengaplikasikan konsep manajemen ke dalam tindakan operasional yaitu mengarahkan, mengontrol suatu kegiatan dan memahami, menerima, mengenal serta membangun hubungan yang harmonis dengan
guru-guru ekonomi dan staf administrasi sekolah yang mengandung pula di dalamnya visi, misi, cita-cita, komitmen, sikap terhadap pekerjaan, sikap hormat dan menghargai sesama, dan harapan atas hasil yang akan diperoleh. Semua aspek budaya organisasi sekolah tersebut dapat mewarnai kinerja kepala sekolah dalam melaksanakan tugas-tugas manajerialnya.
Budaya organisasi suatu sekolah mempunyai hubungan yang nyata dengan keterampilan manajerial dan juga mempunyai hubungan pengaruh dengan pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah. Dan jika hubungan yang nyata antara budaya organisasi sekolah dengan keterampilan manajerial kepala sekolah yang dimaksud dapat dihubungkan dengan pelaksanaan pengawasan, semuanya berada di dalam satu kawasan aktivitas manajemen. Ketiga hal tersebut merupakan komponen dalam suatu sistem organisasi manajemen.

Kepala Sekolah, Kinerja Guru dan Budaya Organisasi Sekolah
Pemimpin akan muncul jika ada sekelompok orang bekerja yang melakukan aktivitas bersama untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan dan kesiapan sese¬orang untuk mempengaruhi, membimbing dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mereka mau berbuat sesuatu demi tercapai tujuan bersama (Gibson dalam Sudarmayanti, 2002: 272).
Jadi dalam memimpin pasti terlibat kemampuan seseorang untuk mempengaruhi atau memotivasi orang lain/bawahannya agar mereka mau melaksanakan tugasnya dengan baik. Pengertian lain bahwa kepemimpinan merupakan suatu aktivitas untuk mempengaruhi perilaku atau seni mempengaruhi manusia baik perorangan maupun kelompok (Miftah Toha, 2004: 9).
Pengertian juga mengungkapkan bahwa pemimpin ditentukan oleh bakat dan kemampuan/kepandaian. Bakat yaitu sifat yang dibawa sejak lahir sedang kemampuan atau kepandaian yaitu suatu kemampuan yang dicapai karena belajar atau berlatih secara teori maupun praktek mengenai kepemimpinan untuk bertindak sebagai pemimpin. Di dalam prakteknya akan lebih baik apabila kedua hal tersebut ada pada diri seorang pemimpin, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi dan kemampuan untuk mengelola pekerjaan atau suatu organisasi.
Kepemimpinan berkaitan dengan sebuah organisasi bahwa kepe¬mimpinan sebagai pencerminan suatu kualitas organisasi sebagai sistem yang memiliki karakteristik. Konsep tersebut menjadi gambaran bahwa maju dan mundurnya suatu organisasi sangat tergantung dari pemimpin.
Lembaga pendidikan atau sekolah sebagai organisasi formal merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen. Dari komponen yang ada seorang pemimpin harus mengetahui dan memberdayakan bawahannya untuk mengerjakan tugas.
Sehubungan dengan jabatan sebagai kepala sekolah sebenarnya terdapat tiga peran yaitu: 1) Kepala Sekolah sebagai pemimpin sekolah, 2) Kepala Sekolah sebagai manajer dan 3) Kepala Sekolah sebagai administrator.
Kepala sekolah sebagai pemimpin yaitu mengarahkan, mempe¬ngaruhi, memberi pengertian atau sejenisnya kepada staf untuk bekerja mencapai tujuan. Sedang kepala sekolah sebagai manajer berkaitan dengan pengelolaan sekolah mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan pelaporannya. Kepala sekolah sebagai adminsitrator berkaitan dengan jabatan dalam keorganisasian yaitu terkait dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab seperti halnya dikemukakan Wirawan (2002: 17) bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses bukan sesuatu yang terjadi seketika. Istilah proses dalam istilah kepemimpinan ini terdiri dari masukan, proses dan keluaran.
Pemimpin mempunyai peranan sebagai subyek yang aktif, kreatif dalam menggerakkan orang baik sebagai individu maupun kelompok/organisasi dalam pencapaian tujuan/visi, secara efektif. Kepemimpinan kepala sekolah memiliki peran strategi dalam kerangka manajemen dan kepala sekolah merupakan salah satu faktor terpenting dalam menunjang keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Kepala sekolah adalah pengelola satuan pendidikan yang bertugas menghimpun, memanfaatkan, mengoptimalkan seluruh potensi dan SDM, sumber daya lingkungan (sarana dan prasarana) serta sumber dana yang ada untuk membina sekolah dan masyarakat sekolah yang dikelolanya.
Kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami kebera¬daan sekolah sebagai organiasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peran kepala sekolah sebagai seorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.
Kualitas kepemimpinan menurut Rodger D. Callons dalam Timpe (1993: 38-40) telah diidentifikasi sejumlah ciri-ciri pemimpin yang berhasil diantaranya adalah kelancaran berbicara, kemampuan untuk memecahkan masalah, kesadaran akan kebutuhan, keluwes¬an, kecerdasan, kesediaan menerima tanggung jawab, ketrampilan sosial dan kesadaran akan lingkungan. Pemimpin sebagai suatu atribut yang terdiri dari 12 karakteristik yaitu : 1) fitalitas dan stamina fisik, 2) inteligensia, 3) kemampuan menerima tanggung jawab, 4) kompetensi penugasan, 5) mema¬hami kebutuhan orang lain, 6) terampil berurusan dengan orang lain, 7) ingin berhasil, 8) kemauan bermotivasi, 9) keberanian, keteguhan dan ketahanan pribadi, 10) kemampuan menenangkan perasaan, 11) kemampuan memanajemen, memutuskan dan menetapkan, 12) adaptasi dan fleksibilitas (Salusu, 1996: 210).
Berdasarkan beberapa sifat pemimpin di atas maka pemimpin merupakan orang pilihan yang mempunyai sifat-sifat unggul dibanding dengan lainnya dalam satu kelompok.
Di samping sifat, fungsi dan kualitas terdapat implikasi dari sifat-sifat, perilaku, pengetahuan, dan fungsi dalam pelaksanaan sehari-hari dengan cara atau gaya tersendiri agar berhasil sesuai dengan harapan. Terdapat 2 dua gaya yang digunakan oleh pemimpin yaitu gaya yang berorientasi pada tugas dan gaya yang berorientasi pada karyawan. Gaya pemimpin yang berorientasi pada tugas yaitu mengarahkan dan mengawasi secara ketat bawahannya untuk memastikan bahwa tugas dijalankan dengan memuaskan. Gaya pemimpin yang berorientasi pada karyawan yaitu mencoba memotivasi karyawan bukan mengendalikan karyawan (Linkert dikutif oleh James AF Stoner, 1982: 120)
Terdapat 8 tipe kepemimpinan yaitu 1) tipe kharismatik, 2) Tipe paternalistik dan maternalistis, 3) tipe meliteristis, 4) tipe otokratis, 5) tipe laissez faire, 6) tipe populastis, 7) tipe administratif atau eksekutif, 8) tipe demokratis.
Berdasarkan pendapat Gary Yukl, 2002: 6, dijelaskan berbagai ukuran dari keberhasilan pencapaian tujuan yang disebabkan oleh kepemimpinan dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung.
Dengan demikian kepemimpinan mempunyai pengaruh terhadap hasil kerja atau produktivitas secara langsung maupun tidak langsung. Kinerja Guru
Kinerja merupakan hasil kerja seluruh aktivitas dari seluruh komponen sumber daya yang ada. Kinerja atau performance adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum sesuai dengan norma maupun etika (Suryadi Prawiro Sentono, 1999: 1).
Guru adalah seorang yang berdiri di depan kelas untuk menyam¬paikan ilmu pengetahuan dan sebagai orang yang banyak digugu dan ditiru. Menurut UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik (guru) merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembe¬lajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Guru adalah seorang tenaga profesional yang dapat menjadikan murid-muridnya mampu merencanakan, menganalisis dan menyim¬pul¬kan masalah yang dihadapi (Syafrudin Nurdin, 2005: 7).
Seorang guru tidak hanya terbatas pada status sebagai pengajar saja, namun peranan guru lebih luas lagi yaitu seabgai penyeleng¬gara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan/mutu pro¬duktivitas.
Kinerja seseorang sangat ditentukan oleh pengalaman, latihan, pendidikan dan karakteristik mental serta fisik, di samping itu kinerja juga dipengaruhi oleh aspek bahasa, aspek hukum, kebudayaan setempat yang merupakan tambahan spesifik penting lainnya.
Untuk penilaian kinerja oleh John Suprihanto, 1996: 2 dapat ditujukan pada berbagai aspek yaitu; 1) kemampuan kerja, 2) kerajin¬an, 3) disiplin, 4) hubungan kerja, 5) prakarsa dan kepemimpinan atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya. Hal yang mudah mempengaruhi kinerja adalah imbalan yang diperoleh, hadiah yang diberikan baik hadiah dari luar maupun dari dalam akan dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Hadiah ter¬sebut dapat memotivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan lebih baik.
Sesuatu yang paling berperan untuk memotivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan lebih baik adalah adanya hadiah. Disamping hal tersebut juga diperlukan kemampuan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan pemberian penghargaan.
Kinerja guru sebagai tenaga kependidikan dan sebagai karyawan/ pegawai negeri sipil baik di lembaga/yayasan sekolah, berperan sebagai pengelola pendidikan. Maka sebagai seorang guru dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya di sekolah dalam rangka mencapai tujuan, terkait dengan prestasi belajar siswa. Pendidik/guru sebagai unsur yang sangat strategis dan sebagai ujung tombak dalam merealisasikan tujuan untuk mewujudkan produktivitas sekolah yang berkualitas. Pendidikan harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk me¬wujud¬kan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi; 1) kompetensi pedagogik, 2) kompe¬tensi kepribadian, 3) kompetensi profesional, dan 4) kompetensi sosial (PP 19/2005: 23-24).
Dengan demikian kinerja guru merupakan hasil yang dicapai oleh seorang guru dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya di sekolah baik sebagai pendidik dan pengajar dalam rangka mencapai tujuan yaitu mewujudkan lulusan/prestasi belajar siswa yang optimal. Budaya Organisasi Sekolah
Budaya adalah sumber keunggulan kompetitif utama berkelanjutan yang kemungkinan timbul sebagai pemersatu dalam organisasi sistem, struktur dan karir (Subir Chowdhury, 2005: 327).
Budaya sebagai semua temu hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan, kebendaan dan kebudayaan jasmaniah dalam upaya menguasai alam sekitar¬nya. Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti luas, di dalamnya meliputi ideologi, kebatinan, kesenian serta segala pengetahuan dan teknologi (Soerjono Soekanto, 1993: 166).
Budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Budaya selalu menga¬lami perubahan, hal ini sesuai dengan peranan sekolah sebagai agen perubahan yang selalu siap untuk mengikuti perubahan yang terjadi. Maka budaya organisasi sekolah diharapkan juga mampu mengikuti, menyeleksi, dan berinovasi terhadap perubahan yang terjadi. Tilaar, 2004: 41 mengemukakan bahwa kebudayaan dan pendidikan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan karena saling mengikat. Budaya itu hidup dan berkembang karena proses pendidikan, dan pendidikan itu hanya ada dalam suatu konteks kebudayaan. Yang ada dalam arti kurikulum adalah sebagai rekayasa dari pembudayaan suatu masyarakat, sedangkan proses pendidikan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses pembudayaan yang dinamik.
Budaya organiasi terdiri dari dua komponen yaitu: 1) nilai (value) yakni sesuatu yang diyakini oleh warga organisasi dalam menge¬tahui apa yang benar dan apa yang salah, dan 2) keyakinan (belief) yakni sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam organisasinya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam penyeleng¬garaan pendidikan diharapkan para pelaksana pendidikan di sekolah dapat mengubah budaya organisasinya sesuai dengan kondisi yang ada.
Terdapat beberapa kriteria kelompok dalam merespon perubahan dikemukakan oleh Handoko T. Hani, 2001: 322-323 yaitu: 1) menyangkal perubahan yang terjadi, 2) mengabaikan adanya perubahan, 3) menolak perubahan, 4) menerima perubahan dan menyesuaikan dengan perubahan, dan 5) mengantisipasi perubahan dan merencanakannya.
Kondisi yang terjadi mengenai sikap, perilaku, pola pikir, tindakan terhadap keadaan organisasi adalah merupakan suatu budaya organisasi.
Budaya organisasi dapat diciptakan dan dikondisikan oleh sesama tenaga kerja yang ada di organisasi bersangkutan. Budaya organisasi memiliki peranan yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan keefektifan kinerja organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial yang mengikat sesama anggota organiasi secara bersama-sama dalam suatu visi dan tujuan yang sama.
Ada 4 fungsi budaya organisasi yaitu; 1) memberikan suatu iden¬titas organisasional kepada anggota organisasi, 2) memfasilitasi dan membuahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas sistem sosial, dan 4) membentuk perilaku dengan membantu anggota-anggota organisasi memiliki pengertian tehadap sekitarnya.
Budaya organisasi dapat dikatakan baik jika mampu menggerakkan seluruh personal secara sadar dan mampu memberikan kontribusi terhadap keefektifan serta produktivitas kerja yang optimal. Dengan demikian budaya organisasi sekolah sebagai bagian kebiasa¬¬an dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formulanya untuk menciptakan norma perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan dalam rangka mencapai tujuan organisasi sekolah

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Keterampilan Managerial Kepala Sekolah dan Kinerja Guru

8:08 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin pendidikan, seorang Kepala Sekolah mengkoordinir, mengawasi, mengarahkan serta menilai berbagai kegiatan sekolah yang sedang dikerjakan. Ada pula hal lain yang amat penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang Kepala Sekolah yaitu berupa perhatian yang serius terhadap permasalahan-permasalahan khusus yang ada pada diri para guru, misalnya tingkat ketekunan, kesetiaan serta keseriusan dalam melaksanakan tugas-tugas sekolah.
Seorang Kepala Sekolah dapat menanggulangi permasalahan dan mengendalikan perilaku guru-guru serta mengikat perhatian mereka secara efektif dalam melaksanakan tugas-tugas di sekolah adalah hal yang perlu dilaksanakan. Salah satu fungsi manajerial yang dilakukan oleh Kepala Sekolah adalah fungsi pengawasan atau disebut juga fungsi pengendalian. Dan kegiatan pengawasan patut dilaksanakan oleh Kepala Sekolah karena hal itu merupakan salah satu fungsi atau proses manajemen yang wajib diimplentasikan secara nyata di sekolah. Sesuai dengan hakekatnya, kegiatan pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah merupakan kegiatan balikan untuk mengidentifikasi secara jelas apakah hasil yang dicapai konsisten atau tidak konsisten dengan hasil yang diharapkan dalam rencana serta penyimpangan yang terjadi di dalam pelaksanaan suatu program sekolah. Nampak di sini bahwa ada kegiatan operasional yang terkandung dalam hakekat pengawasan tersebut yaitu terdapat upaya peningkatan dan perbaikan kinerja
Dari penjelasan di atas, nampak bahwa hasil yang maksimal di suatu sekolah, ditentukan oleh kualitas penguasaan bidang dan dedikasi yang tinggi dari para guru ekonomi di sekolah dimaksud. Dan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas akademik dan semangat mengabdi dari para guru ekonomi di suatu sekolah adalah melalui kegiatan pengawasan atau kontrol yang dilakukan secara terus menerus oleh Kepala Sekolah.
Kepala Sekolah mengganggap hal yang mendasari upaya mengefektifkan kegiatan pengawasan adalah bahwa jika kinerja guru-guru ekonomi di sekolah diperbaiki dan ditingkatkan, maka mereka semakin menguasai konsep materi pelajaran dan proses pembelajaran sehingga akan berdampak positif terhadap hasil yang maksimal. Pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah adalah merupakan banyak operasional atau implementasi dari salah satu subtansi proses manajemen dalam keseluruhan sistem di sekolah. Oleh kerena itu pelaksanaan fungsi pengawasan itu adalah sebagai bentuk konkret dari salah satu komponen di dalam keseluruhan sistem sekolah, maka tingkat keefektifannya dipenggaruhi atau tergantung pula pada dukungan dari komponen-komponen lain dalam keseluruhan sistem sekolah. Berangkat dari teori sistem dalam manajemen, maka dikatakan bahwa tingkat keefektifan pelaksanaan fungsi pengawasan di sekolah terwujud karena didukung oleh beberapa variabel, antara lain budaya organisasi di sekolah dan keterampilan manajerial kepala sekolah. Dukungan dari dua variabel tersebut terhadap tingkat keefektifan pelaksanan fungsi pengawasan di sekolah suksesnya seorang Kepala Sekolah dalam memperbaiki dan meningkatkan kinerja guru-guru ekonomi. Misalnya tingkat pendidikan, masa kerja, tingkat penghasilan,
fasilitas kerja yang memadai dan kesibukan lain di luar tugas pokoknya.
Gorton (1976) dalam temuan penelitiannya mengatakan bahwa keterampilan manajerial penting bagi peningkatan kinerja guru. Megan dkk (2005) menyatakan bahwa keterampilan manajerial berpengaruh positif terhadap kinerja guru. Metcalf dan Urwick dalam Mantja menyimpulkan bahwa keikutsertaan guru dalam fungsi-fungsi kepemimpinan dapat meningkatkan kinerjanya.
Hasil penelitian Holten Sion yang berjudul keterampilan manajerial kepala sekolah, komitmen, daya tahan terhadap stres, kepuasan dan performansi mengajar guru menunjukkan bahwa: Berdasarkan hasil analisis deskriptif keterampilan manajerial kepala sekolah dalam kualifikasi cukup, komitemen guru dalam kualifikasi antara tinggi dan sedang, daya tahan kerja guru terhadap stres kerja dalam kualifikasi kuat, kepuasan kerja guru dalam kualifikasi tinggi, performansi guru dalam kualifikasi cukup, dan prestasi akademik siswa dalam kualifikasi baik.
Berdasarkan hasil analisis jalur (path) ada hubungan langsung signifikan keterampilan manajerial kepala sekolah dengan komitmen guru, ada hubungan langsung signifikan keterampilan manajerial kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru, ada hubungan langsung signifikan keterampilan manajerial kepala sekolah dengan performansi guru, tidak ada hubungan daya tahan guru terhadap stres kerja dengan performansi guru, ada hubungan langsung antara kepuasan kerja guru dengan performansi mengajar guru, dan ada hubungan antara performansi mengajar guru terhadap prestasi akademik siswa. Secara simultan terdapat hubungan positif signifikan antara keterampilan manajerial kepala sekolah, komitmen guru, kepuasan kerja guru, dan performasi mengajar guru dengan prestasi akademik siswa.
Dalam penelitian Gemnafle (2003) disimpulkan bahwa keterampilan manajerial memberikan kontribusi 33,79 peren terhadap kinerja guru. Lebih lanjut Gemnafle menyimpulkan bahwa terdapat jalur hubungan kausal langsung yang cukup signifikan antara keterampilan manajerial kepala sekolah dengan kinerja guru dalam mengajar pada SMU Negeri dan swasta di Sulawesi Tenggara.78 Kesimpulan ini juga diperkuat oleh Caldwell sebagaimana dikutip Sion bahwa keterampilan manajerial adalah cara yang efektif untuk meningkatkan kinerja.
Hasil penelitian yang dilakukan di Universitas Michigan sebagaimana dikutip Supriyanto menunjukkan partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan akan menghasilkan kepuasan kerja dan kinerja yang lebih tinggi. Dengan asumsi bahwa pengambilan keputusan adalah bagian dari kegiatan manjerial, maka secara otomatis dapat dikatakan bahwa kinerja guru ada hubungannya dengan keterampilan manajerial kepala sekolah. Salah satu hasil penelitian yang mengungkapkan hubungan keterampilan manajerial dengan kinerja guru adalah penelitian Kasman (2003), yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kinerja guru dengan keterampilan manajerial kepala sekolah dasar.
Vroom dan Yetton (1973) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa semakin sering guru dilibatkan dalam pembuatan keputusan, maka semakin meningkat kinerjanya dalam melaksanakan tugas dan hasilnya juga meningkat. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kepala sekolah merupakan variabel penentu yang berpengaruh terhadap kinerja guru.
Keseluruhan temuan penelitian yang telah dikemukakan diatas memberikan penjelasan bahwa kinerja guru memiliki hubungan dengan seberapa baik keterampilan manajerial kepala sekolah. Pernyataan ini dapat dilihat dari hasil penelitin Megan dkk (2005) menyimpulkan bahwa kualitas manajemen kepala sekolah merupakan faktor yang menentukan efektivitas kinerja guru demi pencapaian hasil yang optimal.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

HARUSKAH BUDAYA ORGANISASI BERUBAH

7:44 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Oleh Uray Iskandar, S.Pd

Mengapa budaya organisasi harus berubah ? Alasan yang paling utama adalah karena hal tersebut harus dilakukan, mengingat siapapun yang masih bertahan atau memepertahankan cara-cara lama maka ia tidak akan bsia bertahan. Kita lihat saja yang telah terjadi di Mesir, Libia dan Yaman. Kita lihat di Kalbar yang bertekad menertibkan asset yang dimiliki daerah yang perlu kita berikan apresiasi dan kita dukung bersama. Memang seperti demikian yang diharapkan. Bahkan keinginan warga ingin mengubah status Dusun menjadi Desa, beberapa Desa ingin menjadi Kecamatan, beberapa Kecamatan ingin menjadi Kabupaten, beberapa Kabupaten ingin menjadi Propinsi.
Berikutnya bahwa suatu perubahan akan membawa pembaharuan, bahkan dengan perubahan akan memberikan pengharapan. Sekarang budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia. Menurut Husaini Usman ( 2006:215) bahwa perubahan organisasi adalah perpindahan ke arah yang lebih baik untuk mempertahankan keberadaan organisasi terhadap tuntutan perubahan zaman. Jika dalam jangka waktu tertentu sebuah organisasi tidak melakukan perubahan, dapat dipastikan organisasi itu akan ketinggalan. Bahkan bisa kehilangan keberadaan dalam bidangnya. Karena organisasi yang fleksibel dalam menerima perubahan yang terjadi akan tetap mempertahankan keberadaannnya
Setiap organisasi mempunyai budaya organisasi yang mempengaruhi semua aspek organisasi dan perilaku anggotanya secara individual dan kelompok. Budaya organisasi memiliki peranan yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan keefektifan kinerja organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial yang mengikat sesama anggota organiasi secara bersama-sama dalam suatu visi dan tujuan yang sama.
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic.
Selanjutnya menurut Indrawijaya ( 2010:198) budaya organisasi adalah keseluruhan nilai, norma-norma, kepercayaan-kepercayaan dan opini-opini yang dianut dan dijunjung tinggi bersama oleh para anggota organisasi, sehingga memberi arah dan corak kepada anggota organisasi tersebut.
Sedangkan menurut Robbins ( 1990:479) budaya organisasi dijelaskan sebagai nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan, cara pekerjaan dilakukan ditempat itu, asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat diantara anggota organisasi.
Menurut Furnham dan Gunter (1993), budaya merupakan alat perekat sosial dan menghasilkan kedekatan, sehingga dapat memperkecil diferensiasi dalam sebuah organisasi. Budaya organisasi juga memberikan makna bersama sebagai dasar dalam berkomunikasi dan memberikan rasa saling pengertian. Jika fungsi budaya ini tidak dilakukan dengan baik, maka budaya secara signifikan dapat mengurangi efisiensi organisasi
Dengan demikian budaya organisasi adalah suatu pola dasar yang dikembangkan oleh organisasi sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta merupakan kepercayaan maupun harapan bersama para anggota organisasi atau nilai-nilai yang terbentuk dari aktivitas individu dalam organisasi dalam pencapaian suatu tujuan.
Perubahan pada dasarnya melakukan segala sesuatu secara berbeda. Menurut Jeff Davidson, dalam Asri Laksmi Riani (2011) menjelaskan bahwa perubahan merujuk pada sebuah terjadinya sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan bias juga bermakna melakukan hal-hal dengan cara baru, mengikuti jalur baru, mengadopsi teknologi baru, memasang system baru, mengikuti prosedur-prosedur manejemen baru, penggabungan, melakukan reorganisasi atau terjadinya peristiwa yang bersifat mengganggu yang sangat signifikan.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang baik atau buruk, yang ada hanyalah budaya yang cocok atau tidak cocok . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Menurut Kurt Lewin perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu-individu atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan akan berhadapan dengan penolakan. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat tekanan dan melemahkan penolakan untuk berubah. Langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan : Pertama, Unfreezing, merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya kebutuhan untuk berubah. Upaya untuk mengatasi tekanan dari kelompok penentang dan pendukung perubahan. Kedua, Changing/Movement, merupakan langkah tindakan baik meperkuat maupun meperlemah. Secara bertahap tapi pasti, perubahan dilakukan. Jumlah penentang berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Ketiga: Refreezing, membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru. Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai, stabilkan melalui aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru dan cara pengelolaan organisasi yang baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendukung makin bertambah.
Dengan demikian perubahan tidak terjadi begitu saja atau dilahirkan, namun harus direncanakan. Dibutuhkan inisiatif tidak saja dari manajemen tetapi juga dari karyawan baik untuk perubahan inovatif maupun strategik.
( Oleh Uray Iskandar, S.Pd/ Guru SMP Negeri 1 Selakau )

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

TEORI KINERJA

10:10 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

A. DEFINISI KINERJA

Bernardin dan Russel (dalam Ruky, 2002:15) memberikan pengertian atau kinerja sebagai berikut : “performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during time period. Prestasi atau kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama kurun waktu tertentu.

Kinerja merupakan terjemahan dari kata performance (Job Performance), secara etimologis performance berasal dari kata to perform yang berarti menampilkan atau melaksanakan, sedang kata performance berarti “The act of performing; execution”( Webster Super New School and Office Dictionary ), menurut Henry Bosley Woolf performance berarti “The execution of an action” (Webster New Collegiate Dictionary ) Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja atau performance berarti tindakan menampilkan atau melaksanakan suatu kegiatan, oleh karena itu performance sering juga diartikan penampilan kerja atau prilaku kerja.

Menurut Gibson, dkk (2003: 355), job performance adalah hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja kefektifan kinerja lainnya. Sementara menurut Ilyas (1999: 99), kinerja adalah penampilan hasil kerja personil maupun dalam suatu organisasi. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personil di dalam organisasi.

Pengertian kinerja lainnya dikemukakan oleh Payaman Simanjuntak (2005:1) yang mengemukakan kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masing-masing individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut.

Menurut Irawan (2002:11), bahwa kinerja (performance) adalah hasil kerja yang bersifat konkret, dapat diamati, dan dapat diukur. Jika kita mengenal tiga macam tujuan, yaitu tujuan organisasi, tujuan unit, dan tujuan pegawai, maka kita juga mengenal tiga macam kinerja, yaitu kinerja organisasi, kinerja unit, dan kinerja pegawai. Dessler (2000:87) berpendapat : Kinerja (prestasi kerja) karyawan adalah prestasi aktual karyawan dibandingkan dengan prestasi yang diharapkan dari karyawan. Prestasi kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat. Selain itu dapat juga dilihat kinerja dari karyawan tersebut terhadap karyawan lainnya.

Kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta kemampuan untuk mencapai tujuan dan standar yang telah ditetapkan (Sulistyorini, 2001). Sedangkan Ahli lain berpendapat bahwa Kinerja merupakan hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu yang di dalamnya terdiri dari tiga aspek yaitu: Kejelasan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya; Kejelasan hasil yang diharapkan dari suatu pekerjaan atau fungsi; Kejelasan waktu yang diperlukan untuk menyelesikan suatu pekerjaan agar hasil yang diharapkan dapat terwujud (Tempe, A Dale, 1992).
Fatah (1996) Menegaskan bahwa kinerja diartikan sebagai ungkapan kemajuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu pekerjaan.
Dari beberapa penjelasan tentang pengertian kinerja di atas dapat disimpulkan bahwa Kinerja guru adalah kemampuan yang ditunjukkan oleh guru dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Kinerja dikatakan baik dan memuaskan apabila tujuan yang dicapai sesuai dengan standar yang telah ditetapkan

Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja dan prestasi kerja dapat disimpulkan bahwa pengertian kinerja maupun prestasi kerja mengandung substansi pencapaian hasil kerja oleh seseorang. Dengan demikian bahwa kinerja maupun prestasi kerja merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinrja perusahaan (corporate performance) terdapat hubungan yang erat. Dengan perkataan lain bila kinerja karyawan (individual performance) baik maka kemungkinan besar kinerja perusahaan (corporate performance) juga baik.

B. SYARAT PENILAIAN KINERJA
Terdapat kurang lebih dua syarat utama yang diperlukan guna melakukan penilaian kinerja yang efektif, yaitu (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif; dan (2) adanya objektivitas dalam proses evaluasi (Gomes, 2003:136).
Sedangkan dari sudut pandang kegunaan kinerja itu sendiri, Sondang Siagian (2008-223-224) menjelaskan bahwa bagi individu penilaian kinerja berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karirnya. Sedangkan bagi organisasi, hasil penilaian kinerja sangat penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan tentang berbagai hal seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem balas jasa, serta berbagai aspek lain dalam proses manajemen sumber daya manusia. Berdasarkan kegunaan tersebut, maka penilaian yang baik harus dilakukan secara formal berdasarkan serangkaian kriteria yang ditetapkan secara rasional serta diterapkan secara objektif serta didokumentasikan secara sistematik.
Dengan demikian, dalam melalukan penilaian atas prestasi kerja para pegawai harus terdapat interaksi positif dan kontinu antara para pejabat pimpinan dan bagian kepegawaian
C. METODE PENILAIAN KINERJA
Terdapat beberapa metode dalam mengukur prestasi kerja, sebagaimana diungkapkan oleh Gomes (2003:137-145), yaitu :
1. Metode Tradisional. Metode ini merupakan metode tertua dan paling sederhana untuk menilai prestasi kerja dan diterapkan secara tidak sistematis maupun sistematis. Yang termasuk kedalam metode tradisional adalah : rating scale, employee comparation, check list, free form essay, dan critical incident. (a) Rating scale. Metode ini merupakan metode penilaian yang paling tua dan banyak digunakan, dimana penilaian yang dilakukan oleh atasan atau supervisor untuk mengukur karakteristik, misalnya mengenai inisitaif, ketergantungan, kematangan, dan kontribusinya terhadap tujuan kerjanya. (b) Employee comparation. Metode ini merupakan metode penilaian yang dilakukan dengan cara membandingkan antara seorang pegawai dengan pegawai lainnya. Metode ini terdiri dari : (1) Alternation ranking : yaitu metode penilaian dengan cara mengurutkan peringkat (ranking) pegawai dimulai dari yang terendah sampai yang tertinggi berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. (2) Paired comparation : yaitu metode penilaian dengan cara seorang pegawai dibandingkan dengan seluruh pegawai lainnya, sehingga terdapat berbagai alternatif keputusan yang akan diambil. Metode ini dapat digunakan untuk jumlah pegawai yang relatif sedikit. (3) Porced comparation (grading) : metode ini sama dengan paired comparation, tetapi digunakan untuk jumlah pegawai yang relative banyak. (c) Check list. Metode ini hanya memberikan masukan/informasi bagi penilaian yang dilakukan oleh bagian personalia. (d) Freeform essay. Dengan metode ini seorang penilai diharuskan membuat karangan yang berkenaan dengan orang/karyawan/pegawai yang sedang dinilainya. (e) Critical incident Dengan metode ini penilai harus mencatat semua kejadian mengenai tingkah laku bawahannya sehari-hari yang kemudian dimasukan kedalam buku catatan khusus yang terdiri dari berbagai macam kategori tingkah laku bawahannya. Misalnya mengenai inisiatif, kerjasama, dan keselamatan.
2. Metode Modern. Metode ini merupakan perkembangan dari metode tradisional dalam menilai prestasi kerja. Yang termasuk kedalam metode modern ini adalah : assesment centre, Management By Objective (MBO=MBS), dan human asset accounting.
• Assessment centre. Metode ini biasanya dilakukan dengan pembentukan tim penilai khusus. Tim penilai khusus ini bisa dari luar, dari dalam, maupun kombinasi dari luar dan dari dalam.
• Management by objective (MBO = MBS). Dalam metode ini pegawai langsung diikutsertakan dalam perumusan dan pemutusan persoalan dengan memperhatikan kemampuan bawahan dalam menentukan sasarannya masing-masing yang ditekankan pada pencapaian sasaran perusahaan.
• Human asset accounting. Dalam metode ini, faktor pekerja dinilai sebagai individu modal jangka panjang sehingga sumber tenaga kerja dinilai dengan cara membandingkan terhadap variabel-variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan perusahaan.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA GURU

9:42 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan dan dianggap sebagai orang yang berperanan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan yang merupakan percerminan mutu pendidikan. Keberadaan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya tidak lepas dari pengaruh faktor internal maupun faktor eksternal yang membawa dampak pada perubahan kinerja guru. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru yang dapat diungkap tersebut antara lain :
1. Kepribadian dan dedikasi
Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru lainnya. Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah abstrak, yang hanya dapat dilihat dari penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Zakiah Darajat (dalam Djamarah SB, 1994) bahwa kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat.
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik, artinya seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan suatu gambaran dari kepribadian orang itu, dengan kata lain baik tidaknya citra seseorang ditentukan oleh kepribadiannya. Lebih lanjut Zakiah Darajat (dalam Djamarah SB, 1994) mengemukakan bahwa faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian inilah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa. Kepribadian adalah suatu cerminan dari citra seorang guru dan akan mempengaruhi interaksi antara guru dan anak didik. Oleh karena itu kepribadian merupakan faktor yang menentukan tinggi rendahnya martabat guru.
Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Semakin baik kepribadian guru, semakin baik dedikasinya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru, ini berarti tercermin suatu dedikasi yang tinggi dari guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas oleh Drosat (1998) bahwa salah satu dasar pembentukan kepribadian adalah sukses yang merupakan sebuah hasil dari kepribadian, dari citra umum, dari sikap, dari keterampilan karena ini semua melumasi proses interaksi-interaksi manusia
Kloges (dalam Suryabrata, 2001) mengemukakan bahwa ada tiga aspek kepribadian yaitu : (1). Materi atau bahan yaitu semua kemampuan (daya) pembawaan beserta talent-talentnya (keistimewaan-keistimewaan nya), (2). Struktur yaitu sifat-sifat bentuknya atau sifat-sifat normalnya. (3). Kualitas atau sifat yaitu sistem dorongan-dorongan. Sedangkan Menurut Freud (1950), kepribadian terdiri tiga aspek yaitu :
(1). Das Es (the id) yaitu aspek biologis, aspek ini merupakan sistem yang original dalam kepribadian sehingga aspek ini merupakan dunia bathin subyektif manusia dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia obyektif. (2). Das Ich (the ego) yaitu aspek psikologis, aspek ini timbul karena kebutuhan individu untuk berhubungan dengan dunia nyata, (3). Das Ueber Ich (the super ego) yaitu aspek sosiologis kepribadian merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.
Aspek-aspek tersebut di atas merupakan potensi kepribadian sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan profesinya. Karena tanpa aspek tersebut sangat tidak mungkin guru dapat melaksanakan tugas sesuai dengan harapan. Kepribadian dan dedikasi yang tinggi dapat meningkatkan kesadaran akan pekerjaan dan mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi. Guru yang memiliki kepribadian yang baik dapat membangkitkan kemauan untuk giat memajukan profesinya dan meningkatkan dedikasi dalam melakukan pekerjaan mendidik sehingga dapat dikatakan guru tersebut memiliki akuntabilitas yang baik dengan kata lain prilaku akuntabilitas meminta agar pekerjaan itu berakhir dengan hasil baik yang dapat memuaskan atasan yang memberi tugas itu dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atau segala pekerjaan yang dilaksanakan baik secara kualitatif maupun kuantitatif sesuai dengan standar yang ditetapkan dan tidak asal-asalan.
2. Pengembangan Profesi
Profesi guru kian hari menjadi perhatian seiring dengan perubahan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang menuntut kesiapan agar tidak ketinggalan. Menurut Pidarta (1999) bahwa Profesi ialah suatu jabatan atau pekerjaan biasa seperti halnya dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Tetapi pekerjaan itu harus diterapkan kepada masyarakat untuk kepentingan masyarakat umum, bukan untuk kepentingan individual, kelompok, atau golongan tertentu. Dalam melaksanakan pekerjaan itu harus memenuhi norma-norma itu. Orang yang melakukan pekerjaan profesi itu harus ahli, orang yang sudah memiliki daya pikir, ilmu dan keterampilan yang tinggi. Disamping itu ia juga dituntut dapat mempertanggung jawabkan segala tindakan dan hasil karyanya yang menyangkut profesi itu.
Lebih lanjut Pidarta (1997) mengemukakan ciri-ciri profesi sebagai berikut :
(1). Pilihan jabatan itu didasari oleh motivasi yang kuat dan merupakan panggilan hidup orang bersangkutan, (2). Telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus, yang bersifat dinamis dan berkembang terus. (3). Ilmu pengetahuan, dan keterampilan khusus tersebut di atas diperoleh melalui studi dalam jangka waktu lama di perguruan tinggi. (4). Punya otonomi dalam bertindak ketika melayani klien, (5). Mengabdi kepada masyarakat atau berorientasi kepada layanan sosial, bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial. (6).Tidak mengadvertensikan keahlian-nya untuk mendapatkan klien. (7). Menjadi anggota profesi. (8).Organisasi profesi tersebut menetukan persyaratan penerimaan para anggota, membina profesi anggota, mengawasi perilaku anggota, memberikan sanksi, dan memperjuangkan kesejahteraan anggota.
Bila diperhatikan ciri-ciri profesi tersebut di atas nampaknya bahwa profesi guru tidak mungkin dikenakan pada sembarang orang yang dipandang oleh masyarakat umum sebagai pendidik. Pekerjaan profesi harus berorientasi pada layanan sosial. Seorang profesional ialah orang yang melayani kebutuhan anggota masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Sebagai orang yang memberikan pelayanan sudah tentu membutuhkan sikap rendah hati dan budi halus. Sikap dan budi halus ini menjadi sarana bagi terjalinnya hubungan yang baik yang ikut menentukan keberhasilan profesi.
Pengembangan profesi guru merupakan hal penting untuk diperhatikan guna mengantisipasi perubahan dan beratnya tuntutan terhadap profesi guru. Pengembangan profesionalisme guru menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar memiliki pengetahuan, teknologi dan manajemen tetapi memiliki keterampilan tinggi, memiliki tingkah laku yang dipersyaratkan.
Pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) bahwa ada empat standar pengembangan profesi guru yaitu:
(1). Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri.; (2) Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains; (3) Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa.; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu.
Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan. Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Tuntutan memenuhi standar profesionalisme bagi guru sebagai wujud dari keinginan menghasilkan guru-guru yang mampu membina peserta didik sesuai dengan tuntutan masyarakat, disamping sebagai tuntutan yang harus dipenuhi guru dalam meraih predikat guru yang profesional sebagai mana yang dijelaskan dalam jurnal Educational Leadership (dalam Supriadi D. 1998) bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu: (1). Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2). Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3). Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4). Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5). Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai: (1). Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan, (2). Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia, (3). Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah. (Arifin I, 2000)
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru yang dapat dilakukan yaitu: (1). Peningkatan dan Pembinaan hubungan yang erat antara Perguruan Tinggi dengan pembinaan SLTA, (2). Meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru, (3). Program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan, (4). Meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik. (5). Pelaksanaan supervisi yang baik, (6). Peningkatan mutu manajemen pendidikan, (7). Melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linck and matc. (8). Pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang, (9). Pengakuan masyarakat terhadap profesi guru, (10). Perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundang-undangan. dan (11) Kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak (Hasan A M, 2001).
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment.
Menurut Akadum (1999) bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru yaitu : (1). Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2). Rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3). Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4). Masih belum smoothnya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5). Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya.
Upaya meningkatkan profesionalisme guru di antaranya melalui (1). Peningkatan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar. (2). Program sertifikasi (Pantiwati, 2001). Selain sertifikasi, menurut Supriadi (1998) yaitu mengoptimalkan fungsi dan peran kegiatan dalam bentuk PKG (Pusat Kegiatan Guru), KKG (Kelompok Kerja Guru), dan MGMP (musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya. Hal tersebut diperkuat pendapat dari Pidarta (1999) bahwa mengembangkan atau membina profesi para guru yang terdiri dari : (1). Belajar lebih lanjut. (2). Menghimbau dan ikut mengusahakan sarana dan fasilitas sanggar-sanggar seperti Sanggar Pemantapan Kerja Guru. (3). Ikut mencarikan jalan agar guru-guru mendapatkan kesempatan lebih besar mengikuti panataran-penataran pendidikan. (4). Ikut memperluas kesempatan agar guru-guru dapat mengikuti seminar-seminar pendidikan yang sesuai dengan minat dan bidang studi yang dipegang dalam usaha mengembangkan profesinya. (5). Mengadakan diskusi-diskusi ilmiah secara berkala disekolah. (6). Mengembangkan cara belajar berkelompok untuk guru-guru sebidang studi.
Pola pengembangan dan pembinaan profesi guru yang diuraikan di atas sangat memungkinkan terjadinya perubahan paradigma dalam pengembangan profesi guru sebagai langkah antisipatif terhadap perubahan peran dan fungsi guru yang selama ini guru dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi dan pengetahuan bagi siswa, padahal perkembangan teknologi dan informasi sekarang ini telah membuka peluang bagi setiap orang untuk dapat belajar secara mandiri dan cepat yang berarti siapapun bisa lebih dulu mengetahui yang terjadi sebelum orang lain mengetahuinya, kondisi ini mengisyaratkan adanya pergeseran pola pembelajaran dan perubahan fungsi serta peran guru yang lebih besar yang bukan lagi sebagai satu-satunya sumber informasi pengetahuan bagi siswa melainkan sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa dalam pembelajaran.
Pengembangan profesi guru harus pula diimbangi dengan usaha lain seperti mengusahakan perpustakaan khusus untuk guru-guru yang mencakup segala bidang studi yang diajarkan di sekolah, sehingga guru tidak terlalu sulit untuk mencari bahan dan referensi untuk mengajar di kelas. Pengembangan yang lain dapat dilakukan melalui pemberian kesempatan kepada guru-guru untuk mengarang bahan pelajaran tersendiri sebagai buku tambahan bagi siswa baik secara perorangan atau berkelompok. Usaha ini dapat memotivasi guru dalam melakukan inovasi dan mengembangkan kreativitasnya yang berarti memberi peluang bagi guru untuk meningkatkan kinerjannya.
Menurut W.F. Connell (1974) bahwa guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh profesi keguruan. Peranan profesi adalah sebagai motivator, supervisor, penanggung jawab dalam membina disiplin, model perilaku, pengajar dan pembimbing dalam proses belajar, pengajar yang terus mencari pengetahuan dan ide baru untuk melengkapi dan meningkatkan pengetahuannya, komunikator terhadap orang tua murid dan masyarakat, administrator kelas, serta anggota organisasi profesi pendidikan.
Menyadari akan profesi merupakan wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam keberhasilan pendidikan maka menjadi satu tuntutan bahwa guru harus sadar akan peran dan fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas Pidarta (1999) bahwa kesadaran diri merupakan inti dari dinamika gerak laju perkembangan profesi seseorang, merupakan sumber dari kebutuhan mengaktualisasi diri. Makin tinggi kesadaran seseorang makin kuat keinginannya meningkatkan profesi.
Pembinaan dan pengembangan profesi guru bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan dilakukan secara terus menerus sehingga mampu menciptakan kinerja sesuai dengan persyaratan yang diinginkan, disamping itu pembinaan harus sesuai arah dan tugas/fungsi yang bersangkutan dalam sekolah. Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai kegiatan maka semakin mendekatkan guru pada pencapaian predikat guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga harapan kinerja guru yang lebih baik akan tercapai.
3. Kemampuan Mengajar
Untuk melaksanakan tugas-tugas dengan baik, guru memerlukan kemampuan. Cooper (dalam Zahera, 1997) mengemukakan bahwa guru harus memiliki kemampuan merencanakan pengajaran, menuliskan tujuan pengajaran, menyajikan bahan pelajaran, memberikan pertanyaan kepada siswa, mengajarkan konsep, berkomunikasi dengan siswa, mengamati kelas, dan mengevaluasi hasil belajar
Kompetensi guru adalah kemampuan atau kesanggupan guru dalam mengelola pembelajaran. Titik tekannya adalah kemampuan guru dalam pembelajaran bukanlah apa yang harus dipelajari (learning what to be learnt), guru dituntut mampu menciptakan dan menggunakan keadaan positif untuk membawa mereka ke dalam pembelajaran agar anak dapat mengembangkan kompetensinya (Rusmini, 2003). Guru harus mampu menafsirkan dan mengembangkan isi kurikulum yang digunakan selama ini pada suatu jenjang pendidikan yang diberlakukan sama walaupun latar belakang sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda (Nasanius Y, 1998).
Aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan pemikiran pelajar yang diciptakan guru. Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya. Agar guru mampu berkompetensi harus memiliki jiwa inovatif, kreatif dan kapabel, meninggalkan sikap konservatif, tidak bersifat defensif tetapi mampu membuat anak lebih bersifat ofensif (Sutadipura, 1994).
Penguasaan seperangkat kompetensi yang meliputi kompetensi keterampilan proses dan kompetensi penguasaan pengetahuan merupakan unsur yang dikolaborasikan dalam bentuk satu kesatuan yang utuh dan membentuk struktur kemampuan yang harus dimiliki seorang guru, sebab kompetensi merupakan seperangkat kemampuan guru searah dengan kebutuhan pendidikan di sekolah, tuntutan masyarakat, dan perkembang-an ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kompetensi Keterampilan proses belajar mengajar adalah penguasaan terhadap kemampuan yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Kompetensi dimaksud meliputi kemampuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam menganalisis, menyusun program perbaikan dan pengayaan, serta menyusun program bimbingan dan konseling sedangkan Kompetensi Penguasaan Pengetahuan adalah penguasaan terhadap kemampuan yang berkaitan dengan keluasan dan kedalaman pengetahuan. Kompetensi dimaksud meliputi pemahaman terhadap wawasan pendidikan, pengembangan diri dan profesi, pengembangan potensi peserta didik, dan penguasaan akademik (Rusmini, 2003).
Kemampuan mengajar guru sebenarnya merupakan pencerminan penguasan guru atas kompetensinya. Imron (1995) mengemukakan 10 Kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh guru yaitu :
(1). Menguasai bahan, (2). Menguasai Landasan kependidikan, (3). Menyusun program pengajaran, (4). Melaksanakan Program Pengajaran, (5). Menilai proses dan hasil belajar, (6). Menyelenggarakan proses bimbingan dan penyuluhan, (7).Menyelenggarakan administrasi sekolah, (8). Mengembangkan kepribadian, (9). Berinterkasi dengan sejawat dan masyarakat, (10). Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk kepentingan mengajar.
Sedangkan menurut Uzer Usman (2002) bahwa jenis-jenis kompetensi guru antara lain (1). Kompetensi kepribadian meliputi: mengembangkan kepribadian, berinteraksi dan berkomunikasi, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, melaksanakan administrasi, melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran; (2). Kompetensi profesional antara lain mengusai landasan kependidikan, menguasai bahan pengajaran, menyusun program pengajaran, melaksanakan program pengajaran dan menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Kemampuan mengajar guru yang sesuai dengan tuntutan standar tugas yang diemban memberikan efek positif bagi hasil yang ingin dicapai seperti perubahan hasil akademik siswa, sikap siswa, keterampilan siswa, dan perubahan pola kerja guru yang makin meningkat, sebaliknya jika kemampuan mengajar yang dimiliki guru sangat sedikit akan berakibat bukan saja menurunkan prestasi belajar siswa tetapi juga menurunkan tingkat kinerja guru itu sendiri.
Untuk itu kemampuan mengajar guru menjadi sangat penting dan menjadi keharusan bagi guru untuk dimiliki dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa kemampuan mengajar yang baik sangat tidak mungkin guru mampu melakukan inovasi atau kreasi dari materi yang ada dalam kurikulum yang pada gilirannya memberikan rasa bosan bagi guru maupun siswa untuk menjalankan tugas dan fungsi masing-masing.
4. Antar Hubungan dan Komunikasi
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari dirumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat komunikasi.
Pentingnya komunikasi bagi organisasi tidak dapat dipungkiri, adanya komunikasi yang baik suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dan begitu pula sebaliknya. Misalnya Kepala Sekolah tidak menginformasikan kepada guru-guru mengenai kapan sekolah dimulai sesudah libur maka besar kemungkinan guru tidak akan datang mengajar. Contoh di atas menandakan betapa pentingnya komunikasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Muhammad A. (2001) bahwa kelupaan informasi dapat memberikan efek yang lebih besar terhadap kelangsungan kegiatan.
Komunikasi yang efektif adalah penting bagi semua organisasi oleh karena itu para pemimpin organisasi dan para komunikator dalam organisasi perlu memahami dan menyempurnakan kemampuan komunikasi mereka (Kohler, 1981). Guru dalam proses pelaksanaan tugasnya perlu memperhatikan hubungan dan komunikasi baik antara guru dengan Kepala Sekolah, guru dengan guru, guru dengan siswa, dan guru dengan personalia lainnya di sekolah. Hubungan dan komunikasi yang baik membawa konsekwensi terjalinnya interaksi seluruh komponen yang ada dalam sistem sekolah. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru akan berhasil jika ada hubungan dan komunikasi yang baik dengan siswa sebagai komponen yang diajar. Kinerja guru akan meningkat seiring adanya kondisi hubungan dan komunikasi yang sehat di antara komponen sekolah sebab dengan pola hubungan dan komunikasi yang lancar dan baik mendorong pribadi seseorang untuk melakukan tugas dengan baik.
Menurut Forsdale (1981) bahwa “communication is the process by which a system is established, maintained, and altered by means of shared signals that operate according to rules”. Sedangkan ahli lain berpendapat bahwa komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain (Brent D. Ruben, 1988).
Hubungan sosial antar manusia selalu terjadi di lingkungan kerja. Sebagai peneliti Terence R. Mitchell 1982 (dalam Junaidin, 2006) menemukan bahwa orang-orang di dalam organisasi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk interaksi interpersonal. Hubungan yang terjadi antara atasan dengan bawahan, bawahan dengan bawahan. Di sekolah hubungan dapat terjadi antara kepala sekolah dengan guru, antara guru dengan guru serta guru dengan siswa. Hubungan guru dengan siswa lebih sering dilakukan dibandingkan dengan hubungan guru dengan guru atau hubungan guru dengan kepala sekolah. Setiap hari guru harus berhadapan dengan siswayang jumlahnya cukup banyak yang terkadang sangat merepotkan tetapi bagi guru interaksi dengan siswa merupakan hal sangat menarik dan mengasyikkan apalagi dapat membantu siswa dalam menemukan cara mengatasi kesulitan belajar siswa.
Ada bermacam-macam interaksi di sekolah. Kalau ditinjau dari maksud interaksi yang terjadi maka ada dua macam interaksi yaitu (1) interaksi dalam konteks menjalankan tugas yang secara langsung mengarah pada tujuan organisasi dan (2). Interaksi diluar kontekspelaksanaan tugas, meskipun interaksi terjadi di lingkungan kerja. Hubungan yang sehat dan harmonis dalam konteks pelaksanaan tugas menjadi prasyarat agar produktivitas lebih meningkat lagi
Komunikasi digunakan untuk memahami dan menukarkan pesan verbal maupun non verbal antara pengirim informasi dengan penerima informasi untuk mengubah tingkah laku. Hubungan dan komunikasi yang dikembangkan guru terutama dalam proses pembelajaran dan pada situasi interaksi lain di sekolah memberi peluang terciptanya situasi yang kondusif untuk dapat memperlancar pelaksanaan tugas, segala persoalan yang dihadapi guru baik dalam pelaksanaan tugas utama maupun tugas tambahan dapat diselesaikan melalui penyelesaian secara bersama dengan rekan guru yang lain, tanpa hubungan dan komunikasi yang baik di dalam lingkungan sekolah apapun bentuk pekerjaan yang kita lakukan tetap akan mengalami hambatan dan kurang lancar.
Terbinanya hubungan dan komunikasi di dalam lingkungan sekolah memungkinkan guru dapat mengembangkan kreativitasnya sebab ada jalan untuk terjadinya interaksi dan ada respon balik dari komponen lain di sekolah atas kreativitas dan inovasi tersebut, hal ini menjadi motor penggerak bagi guru untuk terus meningkatkan daya inovasi dan kreativitasnya yang bukan saja inovasi dalam tugas utamanya tetapi bisa saja muncul inovasi dalam tugas yang lain yang diamanatkan sekolah. Ini berarti bahwa pembinaan hubungan dan komunikasi yang baik di antara komponen dalam sekolah menjadi suatu keharusan dalam menunjang peningkatan kinerja.
Untuk itu semakin baik pembinaan hubungan dan komunikasi dibina maka respon yang muncul semakin baik pula yang pada gilirannya mendorong peningkatan kinerja.
5. Hubungan dengan Masyarakat
Sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari sekolah sebab keduanya memiliki kepentingan, sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih, dan membimbing generasi muda bagi peranannya di masa depan, sementara masyarakat merupakan pengguna jasa pendidikan itu.
Menurut Pidarta (1999) bahwa suatu sekolah tidak dibenarkan mengisolasi diri dari masyarakat. Sekolah tidak boleh merupakan masyarakat tersendiri yang tertutup terhadap masyarakat sekitar, ia tidak boleh melaksanakan idenya sendiri dengan tidak mau tahu akan aspirasi–aspirasi masyarakat. Masyarakat menginginkan sekolah itu berdiri di daerahnya untuk meningkatkan perkembangan putra-putra mereka. Sekolah merupakan sistem terbuka terhadap lingkungannya termasuk masyarakat pendukungnya. Sebagai sistem terbuka sudah jelas ia tidak dapat mengisolasi diri sebab bila hal ini ia lakukan berarti ia menuju ke ambang kematian.
Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan bentuk hubungan komunikasi ekstern yang dilaksanakan atas dasar kesamaan tanggung jawab dan tujuan. Masyarakat merupakan kelompok individu–individu yang berusaha menyelenggarakan pendidikan atau membantu usaha-usaha pendidikan. Dalam masyarakat terdapat lembaga-lembaga penyelenggaran pendidikan, lembaga keagamaan, kepramukaan, politik, sosial, olah raga, kesenian yang bergerak dalam usaha pendidikan. Dalam masyarakat juga terdapat individu-individu atau pribadi-pribadi yang bersimpati terhadap pendidikan di sekolah.
Sekolah berada ditengah-tengah masyarakat dan dapat dikatakan berfungsi sebagai pisau bermata dua. Mata yang pertama adalah menjaga kelestarian nilai-nilai positif yang ada dalam masyarakat, agar pewarisan nilai-nilai masyarakat berlangsung dengan baik. Mata yang kedua adalah sebagai lembaga yang mendorong perubahan nilai dan tradisi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan kehidupan serta pembangunan. (Soetjipto dan Rafles Kosasi, 1999).
Hubungan sekolah dengan masyarakat adalah suatu proses komunikasi antara sekolah dengan masyarakat untuk meningkatkan pengertian masyarakat tentang kebutuhan serta kegiatan pendidikan serta mendorong minat dan kerjasama untuk masyarakat dalam peningkatan dan pengembangan sekolah. Hubungan sekolah dengan masyarakat ini sebagai usaha kooperatif untuk menjaga dan mengembangkan saluran informasi dua arah yang efisien serta saling pengertian antara sekolah, personalia sekolah dengan masyarakat. Hal ini dipertegas Mulyasa (2003) bahwa Tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu kepentingan sekolah dan kebutuhan masyarakat.
Tujuan hubungan masyarakat berdasarkan dimensi kepentingan sekolah antara lain : (1). Memelihara kelangsungan hidup sekolah, (2). Meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, (3). Memperlancar kegiatan belajar mengajar, (4). Memperoleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program-program sekolah.
Tujuan hubungan berdasarkan kebutuhan masyarakat antara lain : (1). Memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2). Memperoleh kemajuan sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, (3). Menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, dan (4). Memperoleh kembali anggota-anggota masyarakat yang terampil dan makin meningkatkan kemampuannya (Mulyasa, 2003).
Dalam melaksanakan hubungan sekolah-masyarakat perlu dianut beberapa prinsip sebagai pedoman dan arah bagi guru dan kepala sekolah, agar mencapai sasaran yang diinginkan. Prinsip-prinsip hubungan antara lain :
(1). Prinsip Otoritas yaitu bahwa hubungan sekolah-masyarakat harus dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas, karena pengetahuan dan tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan sekolah. (2). Prinsip kesederhanaan yaitu bahwa program-program hubungan sekolah masyarakat harus sederhana dan jelas, (3). Prinisp sensitivitas yaitu bahwa dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan masyarakat, sekolah harus sensitif terhadap kebutuhan serta harapan masyarakat. (4). Prinsip kejujuran yaitu bahwa apa yang disampaikan kepada msyarakat haruslah sesuatu apa adanya dan disampaikan secara jujur. (5). Prinsip ketepatan yaitu bahwa apa yang disampaikan sekolah kepada masyarakat harus tepat, baik dilihat dari segi isi, waktu, media yang digunakan serta tujuan yang akan dicapai (Soetjipto dan Rafles Kosasi (1999)
Agar hubungan dengan masyarakat terjamin baik dan berlangsung kontinu, maka diperlukan peningkatan profesi guru dalam hal berhubungan dengan masyarakat. Guru disamping mampu melakukan tugasnya masing-masing di sekolah, mereka juga diharapkan dapat dan mampu melakukan tugas-tugas hubungan dengan masyarakat. Mereka bisa mengetahui aktivitas-aktivitas masyarakatnya, paham akan adat istiadat, mengerti aspirasinya, mampu membawa diri di tengah-tengah masyarakat, bisa berkomunikasi dengan mereka dan mewujudkan cita-cita mereka. Untuk mencapai hal itu diperlukan kompetensi dan perilaku dari guru yang cocok dengan struktur sosial masyarakat setempat, sebab ketika kompetensi dan perilaku guru tidak cocok dengan struktur sosial dalam masyarakat maka akan terjadi benturan pemahaman dan salah pengertian terhadap program yang dilaksanakan sekolah dan berakibat tidak adanya dukungan masyarakat terhadap sekolah, padahal sekolah dan masyarakat memiliki kepentingan yang sama dan peran yang strategis dalam mendidik dan menghasilkan peserta didik yang berkualitas.
Hubungan dengan masyarakat tidak saja dibina oleh guru tetapi juga dibina oleh personalia lain yang ada disekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Pidarta (1999) yang mengatakan bahwa selain guru, anggota staf yang lain seperti para pegawai, para petugas bimbingan dan konseling, petugas-petugas medis, dan bahkan juga pesuruh dapat melakukan hubungan dengan masyarakat, sebab mereka ini juga terlibat dalam pertemuan-pertemuan, pemecahan masalah, dan ketatausahaan hubungan dengan masyarakat. Namun yang lebih banyak menangani hal itu adalah guru sehingga guru-gurulah yang paling dituntut untuk memiliki kompetensi dan perilaku yang cocok dengan struktur sosial.
Kemampuan guru membawa diri baik di tengah masyarakat dapat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap guru. Guru harus bersikap sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, responsif dan komunikatif terhadap masyarakat, toleran dan menghargai pendapat mereka. Bila tidak mampu menampilkan diri dengan baik sangat mungkin masyarakat tidak akan menghiraukan mereka. Bertalian dengan hal itu Pidarta (1999) menegaskan bahwa keadaan seperti itu akan menimbukan cap kurang baik terhadap guru. Citra guru di mata masyarakat menjadi pudar. Oleh karena itu kewajiban sekolah untuk menegakkan wibawa guru di tengah masyarakat dengan terus menyesuaikan diri sambil ikut memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Hal yang dilakukan guru dalam mendukung hubungan sekolah dengan masyarakat antara lain: (1). Membantu sekolah dalam melaksanakan tehnik-tehnik hubungan sekolah dengan masyarakat. Melalui : (a). Guru hendaknya selalu berpartisipasi lembaga dan organisasi di masyarakat (b). Guru hendaknya membantu memecahkan yang timbul dalam masyarakat. (2). Membuat dirinya lebih baik lagi dalam masyarakat melalui penyesuain diri dengan adat istiadat masyarakat karena guru adalah tokoh milik masyarakat. Tingkah laku guru di sekolah dan di masyarakat menjadi panutan masyarakat. Pada posisi terrsebut guru menjaga perilaku yang prima. Apabila masyarakat mengetahui bahwa guru-guru sekolah tertentu dapat dijadikan suri teladan di masyarakat, maka masyarakat akan percaya pada sekolah pada akhirnya masyarakat memberikan dukungan pada sekolah. (3). Guru harus melaksanakan kode etiknya, karena kode etik merupakan seperangkat aturan atau pedoman dalam melaksanakan tugas profesinya.
Penjelasan di atas menunjukkan betapa penting peran guru dalam hubungan sekolah dengan masyarakat. Terjalinnya hubungan yang harmonis antara sekolah-masyarakat membuka peluang adanya saling koordinasi dan pengawasan dalam proses belajar mengajar di sekolah dan keterlibatan bersama memajukan peserta didik. Guru diharapkan selalu berbuat yang terbaik sesuai harapan masyarakat yaitu terbinanya dan tercapainya mutu pendidikan anak-anak mereka.
Penciptaan suasana menantang harus dilengkapi dengan terjalinnya hubungan yang baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya. Ini dimaksudkan untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. Hanya sebagian kecil waktu yang dipergunakan oleh guru di sekolah dan sebagian besar ada di masyarakat. Agar pendidikan di luar ini terjalin dengan baik dengan apa yang dilakukan oleh guru di sekolah diperlukan kerjasama yang baik antara guru, orang tua dan masyarakat. Kewajiban guru mengadakan kontak hubungan dengan masyarakat merupakan bagian dan tugas guru dalam mendidik siswa dan mengembangkan profesinya sebagai guru. Sekolah adalah milik bersama antara warga sekolah itu sendiri, pemerintah dan masyarakat.
Dengan adanya perubahan paradigma pendidikan sekarang ini membuka peluang bagi masyarakat untuk dapat menilai sekolah dan guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengawasan dan evaluasi yang dilakukan masyarakat baik secara perseorangan maupun kelompok yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung membawa konsekwensi bagi terciptanya kondisi kerja kearah yang lebih baik karena kelangsungan hidup sekolah sangat tergantung pula dari keterlibatan masyarakat sebagai unsur pendukung keberhasilan sekolah maka guru secara langsung terpengaruh dan berdampak pada kinerja guru sebab ketika guru menunjukkan kinerja yang tidak baik disuatu sekolah maka masyarakat tidak akan memberikan respon positif bagi kelangsungan sekolah tersebut. Apalagi guru selalu berada ditengah-tengah masyarakat segala tindak tanduknya akan selalu dicontoh dan diteladani dalam masyarakat.
Manfaat hubungan dengan masyarakat sangat besar bagi peningkatan kinerja guru melalui peningkatan aktivitas-aktivitas bersama, komunikasi yang kontinu dan proses saling memberi dan saling menerima serta membuat instrospeksi sekolah dan guru menjadi giat dan kontinu. Setiap aktivitas guru dapat diketahui oleh masyarakat sehingga guru akan berupaya menampilkan kinerja yang lebih baik. Hal ini dipertegas Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa bila guru tidak mau belajar dan tidak mampu menampilkan diri sangat mungkin masyarakat tidak akan menghiraukan mereka. Keadaan ini seringkali menimbulkan cap kurang baik terhadap guru. Citra guru di mata masyarakat menjadi pudar.
6. Kedisiplinan
The Liang Gie (1972) memberikan pengertian disiplin sebagai berikut Disiplin adalah suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang.
Sedangkan Good’s (1959) dalam Dictionary of Education mengartikan disiplin sebagai berikut
a. 1). Proses atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau kepentingan guna mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan yang lebih sangkil.
b. Mencari tindakan terpilih dengan ulet, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun menghadapi rintangan
c. Pengendalian perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau hadiah.
d. Pengekangan dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan menyakitkan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah ketaatan dan ketepatan pada suatu aturan yang dilakukan secara sadar tanpa adanya dorongan atau paksaan pihak lain atau suatu keadaan di mana sesuatu itu berada dalam tertib, teratur dan semestinya serta tiada suatu pelanggaran-pelanggaran baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tujuan disiplin menurut Arikunto, S. (1993) yaitu agar kegiatan sekolah dapat berlangsung secara efektif dalam suasana tenang, tentram dan setiap guru beserta karyawan dalam organisasi sekolah merasa puas karena terpenuhi kebutuhannya. Sedangkan Depdikbud (1992) menyatakan tujuan disiplin dibagi menjadi dua bagian yaitu :
(1). Tujuan Umum adalah agar terlaksananya kurikulum secara baik yang menunjang peningkatan mutu pendidikan (2). Tujuan khusus yaitu : (a). Agar Kepala Sekolah dapat menciptakan suasana kerja yang menggairahkan bagi seluruh peserta warga sekolah, (b). Agar guru dapat melaksanakan proses belajar mengajar seoptimal mungkin dengan semua sumber yang ada disekolah dan diluar sekolah (c). Agar tercipta kerjasama yang erat antara sekolah dengan orang tua dan sekolah dengan masyarakat untuk mengemban tugas pendidikan.
Kedisiplinan sangat perlu dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing siswa. Disiplin yang tinggi akan mampu membangun kinerja yang profesional sebab pemahaman disiplin yang baik guru mampu mencermati aturan-aturan dan langkah strategis dalam melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar. Kemampuan guru dalam memahami aturan dan melaksanakan aturan yang tepat, baik dalam hubungan dengan personalia lain di sekolah maupun dalam proses belajar mengajar di kelas sangat membantu upaya membelajarkan siswa ke arah yang lebih baik. Kedisiplinan bagi para guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Dengan demikian kedisiplinan seorang guru menjadi tuntutan yang sangat penting untuk dimiliki dalam upaya menunjang dan meningkatkan kinerja dan disisi lain akan memberikan tauladan bagi siswa bahwa disiplin sangat penting bagi siapapun apabila ingin sukses. Hal tersebut dipertegas Imron (1995) menyatakan bahwa disiplin kinerja guru adalah suatu keadaan tertib dan teratur yang dimiliki guru dalam bekerja di sekolah, tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap dirinya, teman sejawatnya dan terhadap sekolah secara keseluruhan.
Tiga model disiplin yang dapat dikembangkan yaitu :
(1). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep otoritarian. Bahwa guru dikatakan mempunyai disiplin tinggi manakala mau menurut saja terhadap perintah dan anjuran pejabat atau pembina tanpa banyak menyumbangkan pikiran-pikirannya. (2). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep permissive. Bahwa guru haruslah diberikan kebebasan seluas-luasnya di dalam kelas dan sekolah. Aturan-aturan di sekolah dilonggarkan dan tidak perlu mengikat kepada guru. (3). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep kebebasan yang terkendali yaitu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada guru untuk berbuat, tetapi konsekwensi dari perbuatan itu haruslah dapat dipertanggung jawabkan (Imron, 1995)
Penerapan model disiplin di atas, diikuti dengan teknik-teknik alternatif pembinaan disiplin guru yaitu : (1). Pembinaan dengan teknik external control yaitu pembinaan yang dikendalikan dari luar. (2). Pembinaan dengan teknik internal control yaitu diupayakan agar guru dapat mendisiplinkan dirinya sendiri. Guru disadarkan akan pentingnya disiplin. (3). Pembinaan dengan teknik cooperative control yaitu Pembinaan ini model ini, menuntut adanya saling kerjasama antara guru dengan orang yang membina dalam menegakkan disiplin.
Perilaku disiplin dalam kaitan dengan kinerja guru sangat erat hubungannya karena hanya dengan kedisiplinan yang tinggilah pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Untuk itu dalam upaya mencegah terjadinya indisipliner perlu ditindak lanjuti dengan meningkatkan kesejahteraan guru, memberi ancaman, teladan kepemimpinan, melakukan tindakan korektif, memelihara tata tertib, memajukan pendekatan positif terhadap disiplin, pencegahan dan pengendalian diri (Zahera Sy, 1998). Hal tersebut dipertegas oleh Nainggolan H. (1990) bahwa upaya-upaya untuk menegakkan disiplin antara lain: (1). Memajukan tindakan postif, (2). Pencegahan dan penguasaan diri, (3). Memelihara tata tertib.
Kedisiplinan yang baik ditunjukan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya akan memperlancar pekerjaan guru dan memberikan perubahan dalam kinerja guru ke arah yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Kondisi ini bukan saja berpengaruh pada pribadi guru itu sendiri dan tugasnya tetapi akan berimbas pada komponen lain sebagai suatu cerminan dan acuan dalam menjalankan tugas dengan baik dan menghasilkan hasil yang memuaskan.
7. Kesejahteraan
Faktor kesejahteraan menjadi salah satu yang berpengaruh terhadap kinerja guru di dalam meningkatkan kualitasnya sebab semakin sejahteranya seseorang makin tinggi kemungkinan untuk meningkatkan kerjanya. Mulyasa (2002) menegaskan bahwa terpenuhinya berbagai macam kebutuhan manusia, akan menimbulkan kepuasan dalam melaksanakan apapun tugasnya.
Menurut Supriadi (1999) bahwa tingkat kesejahteraan guru di Indonesia sangat memprihatinkan, hanya setara dengan kondisi guru di negara miskin di Afrika. Rendahnya tingkat kesejahteraan tersebut akan semakin tampak bila dibandingkan dengan kondisi guru di negara lain. Di negara maju, gaji guru umumnya lebih tinggi dari pegawai yang lain, sementara di Indonesia justru sebaliknya.
Profesionalitas guru tidak saja dilihat dari kemampuan guru dalam mengembangkan dan memberikan pembelajaran yang baik kepada peserta didik, tetapi juga harus dilihat oleh pemerintah dengan cara memberikan gaji yang pantas serta berkelayakan. Bila kebutuhan dan kesejahteraan para guru telah layak diberikan oleh pemerintah, maka tidak akan ada lagi guru yang membolos karena mencari tambahan diluar (Denny Suwarja, 2003). Hal itu tersebut dipertegas Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata gaji guru di negara ini belum menjamin kehidupan yang layak. Hampir semua guru bekerja di tempat lain sebagai sambilan disamping pekerjaannya sebagai guru tetap disuatu sekolah. Malah ada juga guru-guru yang melaksanakan pekerjaan sambilan lebih dari satu tempat bahkan ada yang bekerja sambilan tidak di bidang pendidikan. Hal ini bisa dimaklumi karena mereka ingin hidup layak bersama keluargannya.
Dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan yaitu: (1). Profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya. (2). Profesionalisme guru masih rendah (Adiningsih, 2002).
Journal PAT (2001) menjelaskan bahwa di Inggris dan Wales dalam meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Analisa tingkat institusi menyatakan bahwa hubungan antara kepuasan dan performan rasanya nyata, pendidik yang terpuaskan pada tingkat yang lebih tinggi memiliki performan pada tingkat yang lebih tinggi dari pendidik yang berada pada tingkat tidak terpuaskan. Hal tersebut dipertegas Arthur H. Braifiled and Walter H. Crockett (dalam Sutaryadi, 2001) yang menyatakan bahwa memang terdapat korelasi positif antara kepuasan kerja dengan performan kerja namun pada tingkat rendah.
Peningkatan kesejahteraan berkaitan erat dengan insentif yang diberikan pada guru. Insentif dibatasi sebagai imbalan organisasi pada motivasi individu, pekerja menerima insentif dari organisasi sebagai pengganti karena dia anggota yang produktif dengan kata lain insentif adalah upah atau hukuman yang diberikan sebagai pengganti kontribusi individu pada organisasi. Menurut Chester l. Barnard (dalam Sutaryadi, 2001) menyatakan bahwa insentif yang tidak memadai berarti mengubah tujuan organisasi.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa untuk memaksimalkan kinerja guru langkah strategis yang dilakukan pemerintah yaitu memberikan kesejahteraan yang layak sesuai volume kerja guru, selain itu memberikan insentif pendukung sebagai jaminan bagi pemenuhan kebutuhan hidup guru dan keluarganya. Program peningkatan mutu pendidikan apapun yang akan diterapkan pemerintah, jika kesejahteraan guru masih rendah maka besar kemungkinan program tersebut tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Jadi tidak heran kalau guru di negara maju memiliki kualitas tinggi dan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Adanya Jaminan kehidupan yang layak bagi guru dapat memotivasi untuk selalu bekerja dan meningkatkan kreativitas sehingga kinerja selalu meningkat tiap waktu.

0 Komentar Tog Bhe Maseh: