Proposal MKKS

9:01 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Peningkatan mutu pendidikan merupakan komitmen untuk meningkatkan sumberdaya manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 25 tentang Guru dan Dosen bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus-menerus dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah diamanatkan dalam undang-undang sisdiknas bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan kualitas pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan, hal ini merupakan momentum yang paling tepat dalam rangka mengantisipasi dan mempersiapkan peserta didik memasuki era globalisasi, yang beberapa indikatornya telah dapat dirasakan sekarang ini, dimana tehnologi mampu menembus batas-batas antarwilayah dan antar Negara. Kesemuanya itu perlu dipersiapkan melalui pendidikan yang berkualitas dibawah kepemimpinan kepala sekolah professional.
Paradigma pendidikan yang memberikan kewenangan luas kepada sekolah dalam mengembangkan berbagai potensinya, memerlukan peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam berbagai aspeknya, agar dapat mencapai tujuan sesuai dengan misi dan visi yang diemban sekolahnya. sebagai ilustrasi dapat dikemukakan misalnya, kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan melakukan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya di sekolah. Kemampuan ini diperlukan, karena kalau dulu kepala sekolah diberi bantuan oleh pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana pendidikan yang sering kurang bermanfaat bagi sekolah, maka dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, bantuan langsung diberikan dalam bentuk uang, mau diapakan uang tersebut bergantung sepenuhnya kepada kepala sekolah; yang penting dia dapat mempertanggung jawabkanya secara professional.
Jika sebelumnya menejemen pendidikan merupakan wewenang pusat dalam paradigma top down atau sentralistik, maka dengan berlakunya undang-undang tersebut kewenangan bergeser pada pemerintah daerah kota dan kabupaten dalam wujud pemberdayaan sekolah, yang meyakini bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat mereka yang berada di garis depan (line staf), yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan, dan terkena akibatnya secara langsung, yakni guru dan kepala sekolah.
Sekolah suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha dan siswa serta fasilitas sarana dan prasarana pendidikan memerlukan adanya organisasi yang baik agar jalannya sekolah itu lancar menuju kepada tujuan yang di inginkan. Seorang kepala sekolah, di samping harus mampu melaksanakan proses manajemen yang merujuk pada fungsi-fungsi manajemen, juga dituntut untuk memahami sekaligus menerapkan seluruh substansi kegiatan pendidikan. Kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan menjabarkan sumber daya sekolah untuk mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, kepala administrasi, sebagai manajer perencanaan dan pemimpin pengajaran, dan mempunyai tugas untuk mengatur, mengorganisir dan memimpin keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di sekolah.
Sebagai kepala administrasi, kepala sekolah bertugas untuk membangun manajemen sekolah serta bertanggungjawab dalam pelaksanaan keputusan manajemen dan kebijakan sekolah. Sementara itu, menurut pendapat E. Kosasih (2010 : 101) bahwa kepala sekolah merupakan pribadi yang menjadi inti dalam peningkatan dan pengembangan sekolah.
Kepala sekolah sebagai manajer merupakan pemegang kunci maju mundurnya sekolah. Oleh karena itu, supaya pendidikan dapat maju, maka harus dikelola oleh manajer pendidikan yang profesional. Kemampuan manajerial kepala sekolah merupakan faktor penting dan strategis dalam kerangka peningkatan kualitas dan kemajuan sekolah yang dipimpinnya. Dalam melakukan peran dan tugasnya sebagai manajer bahwa kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk mendayagunakan tenaga kependidikan melalui kerjasama, memberi kesempatan kepada tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya bahkan mendorong adanya suatu keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Seperti diungkapkan Supriadi (1998 :364) bahwa : “ Erat hubunganya antara mutu kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti disiplin sekolah, iklim budaya sekolah, dan menurunya perilaku nakal peserta didik “Dalam pada itu, kepala sekolah bertanggung jawab atas menejemen pendidikan secara mikro, yang secara langsung berkaitan dengan proses pembelajaran disekolah . sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 12 Ayat 1 PP 28 Tahun 1990 bahwa: “kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainya, dan penyalahgunaan saran dan prasarana”.
Kepemimpinan dalam sekolah mempunyai tanggungjawab tersendiri; para kepala sekolah memilki peran yang sangat menentukan bagi keberhasilan sekolah. Kepala sekolah adalah orang yang berada di garis terdepan yang mengkoordinasikan upaya meningkatkan pembelajaran yang bermutu. Kepala sekolah diangkat untuk menduduki jabatan yang bertanggung gugat mengkoordi-nasikan upaya bersama mencapai tujuan pendidikan pada level sekolah masing-masing. Kepala sekolah memainkan peran yang termasuk sangat menentukan Perubahan paradigma pendidikan di era sekarang mengharuskan adanya perubahan fungsi dan peran kepala sekolah . Kepala sekolah tidak lagi menjalankan kebijakan – kebijakan yang bersifat sentralistik dan pengambilan keputusan terpusat, tetapi bergeser kearah desentralistik dan manajemen partisipatif. Kepala sekolah tidak lagi bekerja secara individual yang cerdas tetapi harus bekerjasama secara team work yang cerdas.
Pergeseran fungsi dan peran kepala sekolah dalam mengelola sekolah ,mengharuskan adanya tuntutan kepala sekolah yang aktif, kreatif dan inovatif. Dengan kata lain kepala sekolah harus dituntut proaktif dan mampu melakukan perubahan – perubahan disekolah yang dapat meningkatkan mutu sekolah pada khususnya dan mutu pendidikan di Indonesia pada umumnya. Tuntutan ini merupakan implementasi dari penerapan konsep manajemen berbasis sekolah ( MBS ).
Musyawarah Kerja kepala sekolah yang selanjutnya disingkat ( MKKS ) merupakan suatu wadah asosiasi atau perkumpulan kepala – kepala sekolah yang berada pada suatu kabupaten atau kota, yang berfungsi sebagai sarana untuk dapat saling berkomunikasi, belajar dan bertukar pikiran dan pengalaman antar kepala sekolah , dalam rangka meningkatkan kinerja kepala sekolah sebagai ujung tombak terjadinya perubahan di sekolah, dan organisasi ini bersifat Mandiri dan terbuka bagi semua kepala sekolah

B. Dasar
Adapun yang menjadi dasar hokum pelaksanaan kegiatan MKKS SMP ini adalah sebagai berikut ;
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, yakni Pembukaan pada alinea 4 dan Bab XIII Pendidikan , pasal 31 ayat 1 dan ayat 2.
2. UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XI Pendidik dan Tenaga Kependidikan pasal 30 sampai dengan pasal 34.
3. UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
4. UU Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
5 Hasil Rapat Pengurus MKKS Kabupaten Sambas tanggal 16 Juni 2011 tentang Program Pelaksanaan Kegiatan MKKS tahun 2011.
C. Tujuan
Secara umum pelaksanaan program / kegiatan Pelatihan Kepala Sekolah dalam wadah MKKS ini bertujuan untuk meningkatkan meningkatkan mutu pembelajaran sesuai dengan standar pelayanan minimal dalam kerangka penjaminan mutu pendidikan nasional.
Secara khusus pelaksanaan program / kegiatan Pelatihan Kepala Sekolah dalam wadah MKKS ini bertujuan untuk meningkatkan:
1. Para Kepala Sekolah memiliki pemahaman dan kemampuan dalam mengimplementasikan MPMBS / MBS
2. Para Kepala Sekolah memiliki pemahaman dan kemampuan dalam mengimplementasikan KTSP
3. Mendiskusikan permasalahan yang dihadapi oleh Kepala Sekolah dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari solusinya sesuai dengan karakteristik sekolah masing-masing.
D. Sasaran
Sasaran pelaksanaan kegiatan MKKS ini yaitu Kepala Sekolah yang bertugas di SMP Kabupaten Sambas
E. Hasil yang diharapkan
Hasil yang diharapkan pada program kegiatan MKKS SMP Kabupaten Sambas ini pada program Pemberdayaan melalui dana Block Grant adalah :
1. Meningkatnya Kinerja Kepala Sekolah yang bermutu, kreatif dan inovatif .
2. Meningkatnya peran Kepala sekolah sebagai seorang manajer pada hakikatnya adalah seorang perencana, organisator, pemimpin dan seorang pengendali.
3. Meningkatnya peran kepala sekolah yang memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan guru dan tenaga kependidikan melalui persaingan dan kebersamaan, memberikan kesempatan dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya dan mendorong keterlibatan seluruh guru dan tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.
F. Manfaat
Keberhasilan program yang diusulkan ini diharapkan akan bermanfaat bagi berbagai kalangan yaitu ;
1. Bagi Kepala Sekolah, program ini diharapkan mampu meningkatkan kompetensi dalam memahami dan mengimplementasikan KTSP yang berorientasi MPMBS
2. Bagi guru, program ini diharapkan mampu meningkatkan mutu guru dalam proses pembelajaran terutama dalam penerapan KTSP
3. Bagi Sekolah, program ini diharapkan mampu meningkatkan kapabilitas sekolah dalam melaksanakan KTSP
4. Bagi siswa, dengan adanya peningkatan kompetensi bagi kepala sekolah dalam memimpin sekolah maka imbasnya pasti membuat warga sekolah terutama peserta didik akan merasa betah, nyaman dan aman berada di sekolah sehingga tujuan pembelajaran akan mudah tercapai yang akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan.
5. Bagi Pemerintah, baik Dinas Pendidikan , Pemda setempat maupun pemerintah pusat, dengan adanya peningkatan kompetensi Kepala sekolah dalam mengelola sekolah sesuai paradigma terkini tentu merupakan salah satu point positif bagi peningkatan citra pemerintah selaku pelayan masyarakat dalam memperoleh pendidikan.




































BAB II
DESKRIPSI HASIL PELAKSANAAN PROGRAM
DAN KEGIATAN
A. Pelaksanaan dan Hasil Kegiatan I
Jenis Program yang disampaikan dalam kegiatan I ( Pemantapan MPMBS / MBS dan Pengembang KTSP dan SI ) Pelatihan Kepala Sekolah dalam wadah MKKS SMP Kabupaten Sambas sebagai berikut :
1. Pemantapan MPMBS / MBS
2. Implementasi KTSP
3. Informasi SKL dan SI
Tujuan / sasaran pelaksanaan kegiatan I adalah :
a. Meningkatkan kompetensi peserta / Kepala Sekolah tentang MPMBS / MBS
b. Meningkatkan pemahaman peserta / Kepala Sekolah dalam mengimplementasikan KTSP
c. Meningkatkan pemahaman dan kompetensi peserta / Kepala Sekolah dalam mengimplementasikan SKL dan SI
Metode / cara / langkah-langkah pelaksanaan kegiatan I sebagai berikut :
(1) Pengenalan MPMBS / MBS
Mensosialisasikan MPMBS / MBS kepada para peserta pelatihan
(2) Pengenalan dan pengembangan KTSP
a. Membahas prinsip dan langkah-langkah mengembangkan KTSP.
b. Melatih peserta menyusun KTSP
c. Menugasi peserta menyusun KTSP secara kelompok
d. Mendiskusikan KTSP yang disusun
(3) Informasi dan sharing pendapat tentang SKL dan SI
a. Tukar informasi dan pengalaman tentang SKL dan SI
b. Merencanakan kegiatan-kegiatan yang berkaiatan dengan pencapaian pelaksanaan SKL, seperti akan mengadakan try out ujian nasional.
c. Merencanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemahaman dan pengembangan SI, misalnya dengan lebih menekankan pelaksanaan MGMP pada sekolah masing-masing bagi sekolah yang memungkinkan untuk melaksanakannya, dan bagi sekolah yang tidak memiliki guru yang memadai untk melaksanakannya akan bergabung dengan sekolah terdekat.

B. Pelaksanaan dan Hasil Kegiatan II
Jenis program yang disampaikan dalam kegiatan II ( Inventarisasi permasalahan dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan bagaimana solusinya ) Pelatihan Kepala Sekolah dalam wadah MKKS SMP Kabupaten Sambas sebagai berikut :
1. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta untuk membentangkan segala pengalaman dan temuan-temuan yang mereka hadapi dalam melaksanakan tugas sebagai kepala sekolah dan bagaimana menghadapi serta menyelesaikan permasalahan terhadap temuan tersebut.
2. Sumbang saran atau sharing pendapat terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan tugas sehari-hari
3. Menentukan berbagai kesepakatan yang berkaitan dan bertujuan untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah.
Tujuan / sasaran pelaksanaan kegiatan II adalah :
1. Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman peserta terutama dalam menghadapi tugas sehari-hari sebagai kepala sekolah.
2. Meningkatkan dan memotivasi semangat kerja peserta dalam menghadapi tugas sehari-hari sebagai kepala sekolah.
Metode / cara / langkah – langkah pelaksanaan kegiatan II sebagai berikut :
1. Tukar menukar informasi dan pengalaman yang dikemas dalam bentuk diskusi kelompok.
2. Merencanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemahaman dan pengembangan pengembangan profesi dan karir guru pada sekolah masing-masing bagi
3. Menugasi peserta memecahkan masalah pengembangan profesi dan karir guru
4. Mendiskusikan masalah pengembangan profesi dan karir guru
Dalam dua tahun terakhir ini terdapat sejumlah kegiatan yang pernah dilaksanakan MKKS. Beberapa kegiatan dimaksud adalah :
1. Pelaksanaan Try Out
2. Ulangan Umum Bersama
3. Adanya pertemuan-pertemuan Rutin Pengurus
Kegiatan MKKS tersebut menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal ini terlihat dari antusiasnya para peserta menghadiri setiap pertemuan . Selanjutnya dalam setiap pertemuan tersebut selalu menyelesaikan berbagai program dengan baik .Sebagai bukti konkrit adalah adanya peningkatan kompetensi Kepala Sekolah dalam hal :
a. Pengelolaan sekolah sesuai paradigma terkini
b. Adanya hubungan harmonis antar kepala sekolah dalam wadah MKKS
c. Tertampungnya segala aspirasi dan berbagai permasalahan Kepala Sekolah dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
d. Adanya keinginan yang kuat dari para kepala sekolah untuk melaksnakan KTSP
e. Adanya keinginan yang kuat dari para kepala sekolah untuk melaksnakan perubahan paradigma pengelolaan kearah MPMBS
Dalam pelaksanaan program yang pernah dilakukan ditemukan berbagai kendala yang berkaitan dengan ;
a. Kemampuan yang berbeda dari para kepala sekolah untuk menterjemahkan / menangkap peluang perubahan kearah positif tidak sama sehingga antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya ada perbedaan yang cukup siknifikan dalam menterjemahkan perubahan paradigma pendidikan
b. Kondisi objektif , baik lingkungan fisik ,sosial budaya maupun konsisi penmdukung tiap sekolah yang berbeda sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda yang berbeda pula terhadap keberadaan MKKS terutama dalam hal kepengurusan.
Masalah-masalah tersebut dapat kami pecahkan bersama-sama secara sharing atau tukar pendapat dan pengalaman. Berkaitan dengan Kondisi objektif , baik lingkungan fisik ,sosial budaya maupun kondisi penmdukung tiap sekolah yang berbeda dan adanya perbedaan persepsi terhadap Kepengurusan MKKS maka diadakan musyawarah sekaligus penjelasan bahawa MKKS dalam hal kepengurusan tidak membedakan antara sekolah satu dengan yang lainnya
Kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan menjabarkan sumber daya sekolah untuk mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, kepala administrasi, sebagai manajer perencanaan dan pemimpin pengajaran, dan mempunyai tugas untuk mengatur, mengorganisir dan memimpin keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di sekolah












BAB III
RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN


A. Jenis Program, Tujuan dan Kegiatan
1. Jenis Program
Jenis program yang akan disampaikan dalam kegiatan MKKS sebagai berikut :
a. Pemantapan MPMBS
b. Implementasi KTSP
c. Inventarisasi permasalahan dilapangan dan pemecahannya
d. Diseminasi
Struktut program secara lengkap dapat dilihat berikut ini
STRUKTUR PROGRAM
MKKS SMP NEGERI KABUPATEN SAMBAS
TAHUN 2011
No MATERI KEGIATAN Penyaji Alokasi Kode
Waktu
A PROGRAM UMUM
1 .Pembukaan Pan 2 Ka
2. Kebijakan Dinas Pendidikan Kab. Sambas Dinas 2 A1
3. Usaha Peningkatan Profesionalisme
Kepala Sekolah Dinas 2 A 2
B PROGRAM POKOK
1. Pemantapan MPMBS TIM 16 B 1
2. Implementasi KTSP
a. SI TIM 6 B 2 a
b. SKL TIM 6 B 2 b
c. SKBM TIM 6 B 2 c
No MATERI KEGIATAN Penyaji Alokasi Kode
Waktu
C PROGRAM PENUNJANG
1. Inventarisasi permasalah dilapangan
dan pemecahannya TIM 6 C1
2. Pretest dan Postest TIM 4 C 2
3. Diseminasi TIM 6 C 3
4. Penutup TIM 2 Tup
58

Untuk memfasilitasi para Kepala Sekolah dalam rangka pemantapan MPMBS akan diadakan pengenalan dan pengembangan MPMBS dengan harapan para Kepala Sekolah akan memiliki pemahaman yang utuh dan baik tentang MPMBS tersebut.
Untuk memfasilitasi para Kepala Sekolah dalam rangka mengimplementasikan KTSP akan diadakan pengenalan dan pengembangan KTSP dengan harapan para Kepala Sekolah akan memiliki pemahaman yang utuh dan baik tentang KTSP tersebut.
Untuk memfasilitasi para Kepala Sekolah dalam rangka menginventaisasi permasalahan dalam melaksanakan tugas sehari-hari selaku kepala sekolah dan bagaimana cara menanganinya atau memecahkannya maka akan diadakan diskusi atau sharing pendapat dan pengalaman antar para kepala sekolah. Dengan demikian diharapkan pengalaman antara para kepala sekolah dilapangan dapat dijadikan acuan pemecahannya oleh rekan yang lain dalam kasus yang sama atau mendekati sama
Berbagai kegiatan di atas rencananya akan melibatkan Kepala Sekolah seluruh Kabupaten Sambas . Pelaksanaannya direncanakan berlangsung 7 kali pertemuan dengan mengambil tempat di SMP Negeri 1 Sambas. Selama kegiatan berlangsung akan dipantau sekali oleh seorang Widyaiswara dari LPMP Pontianak.
Untuk melengkapi penjelasan bentuk kegiatan ini, dapat dilhat pada lampiran jadwal pelaksanaannya.

2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah
a. Pendayagunaan komponen pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang diupayakan sendiri oleh sekolah bersama pihak terkait dengan memperhatikan kondisi sekolah dan menjunjung tinggi aturan nasional.
b. Memberikan fleksibilitas/keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.)
c. Untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.





3. Kegiatan
Pelaksanaan Kegiatan MKKS direncanakan pada minggu ke – 2 bulan Agustus sampai dengan minggu ke – 3 bulan September 2011 di SMP Negeri 1 Sambas , Kecamatan Sambas , Kabupaten Sambas .
a. Strategi Pelaksanaan
Strategi pelatihan MKKS ini akan menggunakan realita dan pengalaman , artinya pelatihan sebanyak mungkin memberikan pengalaman nyata kepada para peserta khususnya yang terkait dengan tugas – tugas sebagai Kepala Sekolah . Memang tidak semua pengalaman empirik dapat diwujudkan selama pelatihan , yang terpenting peserta mendapat pengalaman belajar yang sedekat mungkin dengan situasi pembelajaran atau pekerjaan yang nantinya harus dilaksanakan .
b. Metode Pelatihan
Pelaksanaan MKKS akan menggunakan berbagai metode pelatihan seperti diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, ceramah, tukar pendapat/pengalaman, dan penugasan. Melalui berbagai metode tersebut diharapkan pelatihan menjadi efektif, menyenangkan, bermakna, dan mempermudah peserta menyerap materi pelatihan.
c. Media
Untuk membantu kemudahan , kelancaran dan efektivitas pelaksanaan MKKS ini akan digunakan berbagai media seperti OHP, lembar transparan , televisi, VCD , DVD. Media lain yang lebih sederhana dan mudah didapat serta ada di sekitar tempat pelatihan.
d. Penilaian
Dalam kegiatan MKKS ini akan dilakukan penilaian terhadap para peserta pelatihan . Pada pertemuan pertama dilaksanakan tes awal untuk mengukur konsep / kemampuan awal para peserta . Pada peertemuan ke – 6 dilakukan tes akhir untuk mengukur kemampuan para peserta dalam menyerap materi kegiatan . Penilaian proses juga dilaksanakan untuk mengetahui sikap / perilaku para peserta selama mengikuti pelatihan .
B. Rencana Anggaran
RENCANA ANGGARAN BIAYA MKKS SMP
TAHUN 2011
NO Jenis Kegiatan Volum Kegiatan Satuan Biaya Jumlah
I PERSIAPAN ( 5 % )
A. Belanja Barang Operasional
- ATK 1 Rp130.000,00 Rp130.000,00
B. Perjalanan
- Transport peserta rapat
persiapan 4 Org x 2 Kali 8 Rp50.000,00 Rp400.000,00
C. Honor Pembuatan Proposal 1 Rp250.000,00 Rp250.000,00
D. Penggandaan Proporsal 4 Rp25.000,00 Rp100.000,00
E. Lain-lain
- Konsumsi 4 Org x 2 Kl 8 Rp15.000,00 Rp120.000,00
Jumlah Rp1.000.000,00
II PELAKSANAAN PROGRAM DAN
KEGIATAN ( 75 %)
A. Gaji Upah
- Honorarium Nara Sumber
2 Org x 7 Kl 14 Rp75.000,00 Rp1.050.000,00
NO Jenis Kegiatan Volum Kegiatan Satuan Biaya Jumlah
- Honorarium panitia 4 Org x 7 Kl 28 Rp75.000,00 Rp2.100.000,00
B. Bahan
- ATK 1 Rp100.000,00 Rp100.000,00
- Pengandaan Bahan Kegiatan 1 Rp340.000,00 Rp340.000,00
C. Perjalanan
- Transport Nara Sumber
2 Org x 7 Kl 7 Rp100.000,00 Rp700.000,00
- Transport Peserta 15 Org x7 Kl 105 Rp60.000,00 Rp6.300.000,00
- Transport Panitia 4 Org x 7 Kl 28 Rp60.000,00 Rp1.680.000,00
- Transport Widyaiswara LPMP
1 Org x 1 Kl 1 Rp700.000,00 Rp700.000,00
D. Lain-lain
- Konsumsi 20 Org x 7 Kl 140 Rp20.000,00 Rp2.800.000,00
- Surat Menyurat, foto copy dan
Dokumentasi 1 Rp150.000,00 Rp150.000,00
- Sertifikat 16 Lbr 16 Rp5.000,00 Rp80.000,00
Jumlah Rp16.000.000,00
III PELAPORAN DAN PEMANTAUAN
INTERNAL ( 5 % )
A. Perjalanan
- Transport petugas pemantau
4 Org x 3 Kl 12 Rp50.000,00 Rp600.000,00
B. Lain-lain
- ATK 1 Rp150.000,00 Rp150.000,00
- Surat Menyurat, foto copy dan
Pelaporan 1 Rp250.000,00 Rp250.000,00
Jumlah Rp1.000.000,00
IV DESIMINASI HASIL
KEGIATAN ( 10 % )
- ATK 1 Rp180.000,00 Rp180.000,00
A. Gaji Upah
- Honorarium Nara sumber
2 Org x 1 Keg 2 Rp100.000,00 Rp200.000,00
B. Bahan
- ATK 1 Rp100.000,00 Rp100.000,00
- Pengggandaan Bahan 1 Rp150.000,00 Rp150.000,00
NO Jenis Kegiatan Volum Kegiatan Satuan Biaya Jumlah
C. Perjalanan
- Transport Nara sumber
2 org x 1 keg 2 Rp100.000,00 Rp200.000,00
-Transport Peserta
14 Org x 1 Keg 14 Rp50.000,00 Rp700.000,00
-Transport Panitia
- 4 Org x 1 keg 4 Rp50.000,00 Rp200.000,00
D. Lain-lain
- Konsumsi 28 Org x 1 Hari 28 Rp7.500,00 Rp210.000,00
-Surat menyurat dan Fotocopy 1 Rp60.000,00 Rp60.000,00
Jumlah Rp2.000.000,00
Jumlah Total Rp20.000.000,00

C. Jadwal Kegiatan
Jadwal kegiatan MKKS dapat dilihat pada berikut ini .


NO KEGIATAN Hari ke-
1 2 3 4 5 6 7
A PROGRAM UMUM
1 .Pembukaan √
2. Kebijakan Dinas Pendidikan Kab. Sambas √
3. Usaha Peningkatan Profesionalisme √
Kepala Sekolah
B PROGRAM POKOK
1. Pemantapan MPMBS √
2. Implementasi KTSP √ √ √
a. SI
b. SKL
c. SKBM
C PROGRAM PENUNJANG
1. Inventarisasi permasalah dilapangan √ √
dan pemecahannya
2. Pretest dan Postest √ √
3. Diseminasi √
4. Penutup √
BAB IV
PENUTUP


A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian Bab sebelumnya dapat disimpulkan sbb ;
1. Pemantapan MPMBS untuk seluruh Kepala Sekolah di Kabupaten Sambas selama sehari ( 6 jam ), dengan output berupa pemahaman yang utuh dan baik tentang MPMBS tersebut
2. Inplementasi KTSP untuk seluruh Sekolah di Kabupaten Sambas harus didukung oleh kompetensi para kepala sekolah dalam pemahamannya terhadap KTSP itu sendiri

B. Saran- Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan yaitu :

1. Kegiatan MKKS diharapkan dapat terlaksana secara terus menerus dan berkesinambungan.
2. LPMP yang merupakan suatu Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan agar dapat mengevaluasi terhadap hasil pelaksanaan kegiatan MKKS di daerah, sehingga kualitas Kepala Sekolah dapat dimonitor untuk peningkatan mutu pendidikan.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Permen Diknas Nomor 11 Th 2011

8:54 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2011
TENTANG
SERTIFIKASI BAGI GURU DALAM JABATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 12 ayat (6) Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru perlu menetapkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Sertifikasi bagi Guru
dalam Jabatan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan
dan Organisasi Kementerian Negara;
4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor
24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi
Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan
Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG
SERTIFIKASI BAGI GURU DALAM JABATAN.
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Sertifikasi bagi guru dalam jabatan selanjutnya disebut Sertifikasi adalah proses
pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang bertugas sebagai guru kelas,
guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling, dan guru yang diangkat
dalam jabatan pengawas satuan pendidikan.
2. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional.
Pasal 2
(1) Sertifikasi dilaksanakan melalui:
a. penilaian portofolio;
b. pendidikan dan latihan profesi guru;
c. pemberian sertifikat pendidik secara langsung; atau
d. pendidikan profesi guru.
(2) Pelaksanaan Sertifikasi berpedoman pada ketentuan yang diterbitkan oleh
Konsorsium Sertifikasi Guru.
Pasal 3
(1) Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru
dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:
a. kualifikasi akademik;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. pengalaman mengajar;
d. perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
e. penilaian dari atasan dan pengawas;
f. prestasi akademik;
g. karya pengembangan profesi;
h. keikutsertaan dalam forum ilmiah;
i. pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
j. penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan
(2) Portofolio bagi guru bimbingan dan konseling dan guru yang diangkat dalam
jabatan pengawas satuan pendidikan disesuaikan dengan bidang tugasnya.
3
Pasal 4
(1) Sertifikasi melalui penilaian portofolio diperuntukkan bagi guru yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti oleh guru dalam jabatan
yang:
a. memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV);
b. belum memenuhi kualifikasi akademik S-1 atau D-IV apabila sudah:
1. mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun
sebagai guru; atau
2. mempunyai golongan IV/a, atau yang memenuhi angka kredit kumulatif
setara dengan golongan IV/a;
c. telah diangkat menjadi guru sebelum tanggal 30 Desember 2005.
Pasal 5
(1) Guru dalam jabatan yang memilih Sertifikasi melalui penilaian portofolio harus
mengikuti tes awal yang dikoordinasikan oleh Konsorsium Sertifikasi Guru.
(2) Guru dalam jabatan yang lulus dalam tes awal harus menyerahkan portofolio
untuk penilaian.
(3) Guru dalam jabatan yangtidak lulus dalam tes awal harus mengikuti pendidikan
dan latihan profesi guru.
Pasal 6
(1) Guru dalam jabatan yang memenuhi syarat kelulusan akademik dan administrasi
penilaian portofolio mendapat sertifikat pendidik.
(2) Guru dalam jabatan yang belum memenuhi syarat kelulusan administrasi
penilaian portofolio dapat melengkapi administrasi portofolio.
(3) Guru dalam jabatan yang belum memenuhi syarat kelulusan akademik penilaian
portofolio mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru yang diakhiri uji
kompetensi.
Pasal 7
Sertifikasi melalui pendidikan dan latihan profesi guru diperuntukkan bagi guru yang:
a. tidak memiliki kesiapan diri untuk penilaian portofolio;
b. tidak lulus penilaian portofolio; dan
c. dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk memperoleh sertifikat pendidik
secara langsung.
4
Pasal 8
(1) Guru dalam jabatan yang lulus pendidikan dan latihan profesi guru mendapat
sertifikat pendidik.
(2) Guru dalam jabatan yang tidak lulus pendidikan dan latihan profesi guru diberi
kesempatan mengulang uji kompetensi satu kali.
Pasal 9
Sertifikasi melalui pemberian sertifikat pendidik secara langsung diperuntukkan bagi:
a. guru yang sudah memiliki kualifikasi akademik S-2 atau S-3 dari perguruan tinggi
terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan
mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampunya dengan golongan
paling rendah IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan
golongan IV/b;
b. guru kelas yang sudah memiliki kualifikasi akademik S-2 atau S-3 dari perguruan
tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan
dengan tugas yang diampunya dengan golongan paling rendah IV/b atau yang
memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b;
c. guru bimbingan dan konseling yang sudah memiliki kualifikasi akademik S-2 atau
S-3 dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang
studi yang relevan dengan tugas bimbingan dan konseling dengan golongan
paling rendah IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan
golongan IV/b;
d. guru yang diangkat dalam jabatan pengawas pada satuan pendidikan yang sudah
memiliki kualifikasi akademik S-2 atau S-3 dari perguruan tinggi terakreditasi
dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan tugas
kepengawasan dengan golongan paling rendah IV/b atau yang memenuhi angka
kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b; atau
e. guru yang sudah mempunyai golongan paling rendah IV/c, atau yang memenuhi
angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/c.
Pasal 10
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan melalui pendidikan profesi guru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, dilaksanakan sesuai peraturan perundangundangan.
Pasal 11
(1) Sertifikasi diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan
program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh
Menteri.
5
(2) Perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki program studi
kependidikan yang relevan dengan bidang studi/mata pelajaran guru yang di
sertifikasi.
(3) Perguruan tinggi penyelenggara Sertifikasi dapat didukung oleh perguruan tinggi
yang memiliki program studi terakreditasi yang relevan dengan bidang studi/mata
pelajaran guru yang di sertifikasi.
(4) Penyelenggaraan Sertifikasi oleh perguruan tinggi dikoordinasikan oleh
Konsorsium Sertifikasi Guru yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 12
(1) Perguruan tinggi penyelenggara Sertifikasi wajib melaporkan setiap perubahan
berkenaan dengan peserta Sertifikasi kepada Konsorsium Sertifikasi Guru.
(2) Perguruan tinggi penyelenggara Sertifikasi wajib melaporkan guru yang sudah
mendapat sertifikat pendidik kepada Konsorsium Sertifikasi Guru.
(3) Konsorsium Sertifikasi Guru melaporkan guru yang sudah mendapat sertifikat
pendidik kepada Menteri.
(4) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri atau pejabat
yang ditunjuk memberi nomor registrasi guru.
Pasal 13
(1) Menteri menetapkan kuota peserta Sertifikasi setiap tahun.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menentukan
peserta Sertifikasi berdasarkan kuota yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 14
(1) Sertifikasi bagi guru dalam jabatan dan guru yang diangkat dalam jabatan
pengawas yang belum memenuhi kualifikasi akademik S-1 atau D-IV,
sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) huruf b, berlaku dalam jangka
waktu 5 tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008
tentang Guru.
(2) Sertifikasi yang diatur dalam Peraturan Menteri ini berlaku juga untuk sertifikasi
bagi pengawas satuan pendidikan selain guru yang diangkat sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Pasal 15
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2009
Tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan dinyatakan tidak berlaku.
6
Pasal 16
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional ini dengan penempatan dalam Berita Negara Republik indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Maret 2011
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
MOHAMMAD NUH
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Maret 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
TTD.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 135

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Budaya dan Profesionalisme

4:30 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi atau hubungan budaya dengan keberhasilan suatu perguruan tinggi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :

1. Budaya kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.
Seorang dosen, seorang guru dan seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelajiman diinstitusi pendidikan yang masih meenganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan institusi akademis, terkadang melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya sebuah perguruan tinggi.

2. Budaya peran (Role culture)
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang dosen tetap jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada dosen terbang yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal perkuliahan. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
Bentuk budaya ini kalau diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran dosen dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan (input) terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokarasi dari pihak pimpinan. Jelas masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena sudah menyangkut masalah personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan dosen yang dibawahnya. Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya profesionalisme kerja seorang dosen dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran sosialnya di kampus serta aktifitasnya diluar keegiatan akademis dan kegiatan penelitian.

3. Budaya pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)

4. Budaya prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
Dari empat tipe budaya diatas cukup mengena dalam kaitannya dengan pengaruh budaya terhadap kinerja seorang dosen dapat dilihat dari budaya prestasi atau lebih tepat sebagai bentuk profesionalisme seorang dosen dalam perannya, dimana Handi (1985) menyebutnya dengan istilah budaya pribadi (person culture)

Istilah profesionalisme dalam dunia kependidikan bukanlah hal yang baru. Penulis beranggapan bahwa profesionalisme itulah sebagian dari apilikasi budaya organisasi secara person culture dalam hal ini dapat dilihat dari karakter dosen dalam mengaplikasikan budaya akademis yang sudah disampaikan oleh pihak institusi kampus.
Dalam rangka peningkatan culture akademis dan profesionalisme kerja perlu adanya pengelolaan dosen (Sufyarma, 2004:.183). antara lain :
a) Meningkatkan kualitas komitmen dosen terhadap pengembangan ilmu yang sejalan dengan tugas pendidikan dan pengabdian pada masyarakat.
b) Menumbuhkan budaya akademik yang kondusif untuk meningkatkan aktifitas intelektual.
c) Mengusahakan pendidikan lanjut dan program pengembangan lain yang sesuai dengan prioritas program studi.
d) Menata ulang penempatan dosen yang sesuai dengan keahlian yang dimilikinya agar profesionalisme dan efisiensi dapat ditingkatkan.
e) Melakukan pemutakhiran pengetahuan dosen secara terus menerus dan berkesinambungan.

Sehingga perguruan tinggi harus dikelola dengan professional memiliki dua faktor sebagai bentuk penerapan budaya akademis yang kuat yaitu :
1. Profesional personal.
Adapun profesional personal ini memiliki karakteristik antara lain :
a) Bangga atas pekerjaannya sebagai dosen dengan komitmen pribadi yang kuat atas kreatifitas.
b) Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisatif.
c) Ingin selalu mengerjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai tugas diluar yang ditugaskan kepadanya.
d) Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.
e) Mendengarkan kebutuhan mahasiswa dan dapat bekerja denga baik dalam tim.
f) Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.
g) Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.
2. Professional institusional.

Adapun karakteristik profesional institusional dapat dilihat dalam karakteristik sebagai berikut :
a) Perkuliahan berjalan lancar, dinamis dan dialogis.
b) Masa studi mahasiswa tidak lama dan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan memperoleh indeks prestasi yang tinggi.
c) Minat masyarakat yang memasuki perguruan tuinggi adalah besar, karena perguruan tinggi yang bersangkutan adalah legitimate dan credible.
d) Memiliki staf pengajar yang telah lulus studi lanjut (S2 dan S3) dan
e) Aktif dalam Pertemuan ilmiah serta produktif dalam karya ilmiah.
f) Pengelolaan perguruan tinggi yang memiliki visi yang jauh kedepan, otonom, fleksible serta birokrasi yang singkat dan jelas.
g) Program perguruan tinggi, baik akademik maupun administratif harus disusun secara sistematis, sistemik dan berkelanjutan.
h) Kampus harus dibenahi secara bersih, hijau dan sejuk.
i). Alumni perguruan tinggi harus mampu bersaing secara kompetitif, baik secaranasional maupun global.

Sedangkan Mahfud MD (1998:4) antara lain menunjukan beberapa karakteristik budaya akademis yang berpengaruh terhadap profesionalisme dosen sebagai berikut :
1) Bangga atas pekerjaannya sebagai dosen dengan komitmen pribadi yang kuat dan berkualitas.
2). Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisiatif.
3). Ingin selalu menegrjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai peran diluar pekerjaannya.
4) Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.
5). Mendengar kebutuhan pelanggan dan dapat bekerja dengan baik dalam suatu tim.
6). Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.
7) Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta selalu siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.

Selain itu kita lihat ada lima diskursus professional ( Danim, 2003:.126-127) yang berbeda diseputar profesionalisme keguruan yaitu antara lain :
1) Profesionalisme material (Material professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun diluar kelas.
2) Profesionalime metodologikal (Methodological professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar.
3) Profesionalisme sosial (Social professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena bisa diajdikan contoh dan referensi prilaku dalam kehidupan masyarakat.
4) Profesionalisme demokratis (democratic professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan miniature demokrasi masyarakat.
5) Profesionalisme manajerial (managerial professionalism) merujuk pada kedudukan guru bukanlah orang yang secara serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilaitastor belajar.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah

4:40 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa “the commonly held beliefs of teachers, students, and principals.”

Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .

Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.
Tabel 1 Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya (Spanger)
No Nilai Perilaku Dasar
1 lmu Pengetahuan Berfikir
2 Ekonomi Beerja
3 Kesenian Menikmati Keindahan
4 Keagamaan Memuja
5 Kemasyarakatn Berbakti/berkorban
6 Politik/Kenegaraan Berkuasa/Memerintah
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
1. Obeserved behavioral regularities budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
2. Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian. Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, diantaranya mencakup : (1) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya; (2)Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan; (3) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan; (4) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global; (5) Berekspresi dan menghargai seni; (6) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani; (7) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002). Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu : (1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; (2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan; (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar; dan (4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
3. Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal. Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002). Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah. Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.
4. Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa : “pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
5. Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning.
6. Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “oorganizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the “atmosphere of the workplace” and people’s perceptions of “the way we do things here
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning).
D. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Teori Perencanaan Pendidikan

9:35 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

A. Teori perencanaan Pendidikan
Menurut Hudson dalam Tanner dalam Maswarita (2010), teori perencanaan meliputi, antara lain: synoptic, incremental, transactive, advocacy, dan radikal. Selanjutnya di kembangkan oleh tanner (1981) dengan nama teori SITAR sebagai penggabungan dari taksonomi Hudson.
1. Teori Synoptic
Disebut juga system planning, rational system approach, rasional comprehensive planning. Menggunakan model berfikir system dalam perencanaan, sehingga objek perencanaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulat, dengan satu tujuan yang disbebut visi. Langkah-langkah dalam perencanaan ini meliputi ; (a) pengenalan masalah, (b), mengestimasi ruang lingkup problem (c) mengklasifikasi kemungkinan penyelesaian, (d) menginvestigasi problem, (e) memprediksi alternative, (f) mengevaluasi kemajuan atas penyelesaian spesifik.
2. Teori incremental
Didasarkan pada kemampuan institusi dan kinerja personalnya. Bersifat desentralisasi dan tidak cocok untuk jangka panjang. Jadi perencanaan ini menekankan perencanaan dalam jangka pendek saja. Yang dimaksud dengan desentralisasi pada teori ini adalah si perencana dalam merencanakan objek tertentu dalam lembaga pendidikan, selalu mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan.
3. Teori transactive
Menekankan pada harkat individu yang menjunjung tinggi kepentingan pribadi dan bersifat desentralisasi, suatu desentralisasi yang transactive yaitu berkembang dari individu ke individu secara keseluruhan. Ini berarti penganutnya juga menekankan pengembangan individu dalam kemampuan mengadakan perencanaan.
4. Teori advocacy
Menekankan hal-hal yang bersifat umum, perbedaan individu dan daerah diabaikan. Dasar perencanaan tidak bertitik tolak dari pengamatan secara empiris, tetapi atas dasar argumentasi yang rasional, logis dan bernilai advocacy (mempertahankan dengan argumentasi).
Kebaikan teori ini adalah untuk kepentingan umum secara nasional. Karena ia meningkatkan kerja sama secara nasional, toleransi, kemanusiaan, perlindungan terhadap minoritas, menekankan hak sama, dan meningkatkan kesejahteraan umum. Perencanaan yang memakai teori ini tepat dilaksanakan oleh pemerintah/ atau badan pusat.
5. Teori radikal
Teori ini menekankan pentingnya kebebasan lembaga atau organisasi lokal untuk melakukan perencanaan sendiri, dengan maksud agar dapat dengan cepat mengubah keadaan lembaga supaya tepat dengan kebutuhan.
Perencanaan ini bersifat desentralisasi dengan partisipasi maksimum dari individu dan minimum dari pemerintah pusat / manajer tertinggilah yang dapat dipandang perencanaan yang benar. Partisipasi disini juga mengacu kepada pentingnya kerja sama antar personalia. Dengan kata lain teori radikal menginginkan agar lembaga pendidikan dapat mandiri menangani lembaganya. Begitu pula pendidikan daerah dapat mandiri menangani pendidikannya.
6. Teori SITAR
Merupakan gabungan kelima teori diatas sehingga disebut juga complementary planning process. Teori ini menggabungkan kelebihan dari teori diatas sehingga lebih lengkap. Karena teori ini memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat atau lembaga tempat perencanaan itu akan diaplikasikan, maka teori ini menjadi SITARS yaitu S terakhir adalah menunjuk huruf awal dari teori situational. Berarti teori baru ini di samping mengombinasikan teori-teori yang sudah ada penggabungan itu sendiri ada dasarnya ialah menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lembaga pendidikan dan masyarakat. Jadi dapat kita simpulkan bahwa teori-teori diatas mempunyai persamaan dan pebedaannya.
Persamaannya:
1. Mempunyai tujuan yang sama yaitu pemecahan masalah
2. Mempunyai obyek perencanaan yang sama yaitu manusia dan lingkungan sekitarnya.
3. Mempunyai beberapa persyaratan data, keahlian, metode, dan mempunyai konsistensi internal walaupun dalam penggunaannya terdapat perbedaan penitikberatan.
4. Mempertimbangkan dan menggunakan sumberdaya yang ada dalam pencapaian tujuan
Sedangkan Perbedaannya adalah :
1. Perencanaan synoptic lebih mempunyai pendekatan komprehensif dalam pemecahan masalah dibandingkan perencanaan yang lain, dengan lebih mengedepankan aspek-aspek metodologi, data dan sangat memuja angka atau dapat dikatakan komprehensif rasional. Hal ini yang sangat minim digunakan dalam 4 pendekatan perencanaan yang lain.
2. Perencanaan incremental lebih mempertimbangkan peran lembaga pemerintah dan sangat bertentangan dengan perencanaan advokasi yang cenderung anti kemapanan dan perencanaan radikal yang juga cenderung revolusioner.
3. Perencanaan transactive mengedepankan faktor – faktor perseorangan / individu melalui proses tatap muka dalam salah satu metode yang digunakan, perencanaan ini kurang komprehensif dan sangat parsial dan kurang sejalan dengan perencanaan Synoptic dan Incremental yang lebih komprehensif.
4. Perencanaan advocacy cenderung menggunakan pendekatan hukum dan obyek yang mereka ambil dalam perencanaan adalah golongan yang lemah. Perencanaan ini bersifat sosialis dengan lebih mengedepankan konsep kesamaan dan hal keadilan sosial.
5. Perencanaan Radikal seakan – akan tanpa metode dalam memecahkan masalah dan muncul dengan tiba-tiba (spontan) dan hal ini sangat kontradiktif dengan pendekatan incremental dan synoptic yang memepertimbangkan aturan – aturan yang ada baik akademis/metodologis dan lembaga pemerintahan yang ada.

B. Pendekatan Social Demand
1. Pengertian pendekatan Social Demand
Menurut Vembrianto (1985:46) “Pendekatan kebutuhan sosial atau social demand adalah suatu pendekatan dalam perencanaan pendidikan yang didasarkan atas tuntutan atau kebutuhan sosial akan pendidikan”.
Pendekatan sosial demand atau kebutuhan sosial atau tuntutan sosial adalah suatu istilah yang kabur dan mengcaukan(jarang digunakan oleh pendidik) dan dapat diartikan bermacam-macam. “Arti yang paling umum digunakan adalah kumpulan tuntuntan yang umum untuk memperoleh pendidikan, yakni jumlah dari tuntutan individu akan pendidikan di suatu tempat, pada suatu waktu tertentu, di dalam suatu budaya politik dan ekonomi tertentu”. (Coombs, 1982:33)
Sedangkan menurut A. W. Guruge dalam Udin S (2005:234) “Pendekatan kebutuhan sosial adalah pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan-tekanan untuk memasukkan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada pemenuhan keinginan-keinginan murid dan orangtuanya secara bebas”.

Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut dengan pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang hendak dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan pendidikan dasar, pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf), dan pemberian layanan pendidikan untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Oleh karena itu, pendekatan kebutuhan sosial ini biasanya dilaksanakan pada negara yang baru merdeka dengan kondisi masyarakat yang masih terbelakang kondisi pendidikan dan sosial ekonominya.
Menurut Timan (2004:25) terdapat beberapa kritik utama yang ditujukan pada pendekatan sosial demand dalam perencanaan pendidikan, antara lain:
a. Pendekatan ini tidak memikirkan tentang berapa sumber-sumber biaya yang tersedia untuk pendidikan.
b. Dalam pendekatan ini tidak diingat adanya sifat dan pola tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia perekonomian dan akan berlebih-lebihan menghasilkan tenaga skerja dalam satu bidang sedangkan yang lainnya sangat kekurangan.
c. Pendekatan ini cenderung memberikan stimulasi demand yang berlebihan, understimate dalam pembiayaan, dan mengarahkan pembagian sumber yang sangat kecil.
Menurut Davis dalam Effendi (2000:24) Social demand diaplikasikan pada tiga bentuk perencanaan yang berbeda, bentuk-bentuk tersebut antara lain adalah:
1. Bila yang ditargetkan adalah pendidikan dasar, biasanya dinyatakan dalam term-term demografis, misalnya semua anak yang berumur 7-12 th mendapatkan pendidikan dasar.
2. Bila rencana mentargetkan pada tujuan nasional yang ditunjang oleh nilai-nilai etis sosial, misalnya semua warga Negara berhak atas pendidikan dasar.
3. Bila proyeksi rencana didasarkan pada analisis kebutuhan yang disamakan untuk semua tingkat dan jenis pendidikan.
2. Kelebihan pendekatan Social Demand
Ada beberapa kelebihan dalam penggunaan pendekatan kebutuhan sosial dalam perencanaan pendidikan. Di antara sisi positif dari pendekatan ini antara lain adalah pendekatan ini lebih cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau negara yang baru merdeka dengan kondisi kebutuhan sosial, khususnya layanan pendidikan masih sangat rendah atau masih banyak yang buta huruf. Selain itu pendekatan ini akan lebih cepat dalam memberikan pemerataan layanan pendidikan dasar yang dibutuhkan pada warga masyarakat, karena keterbelakangan di bidang pendidikan akibat penjajahan, sehingga layanan pendidikan yang diberikan langsung bersentuhan dengan kebutuhan sosial yang mendasar yang dirasakan oleh masyarakat.
3. Kekurangan pendekatan Social Demand
Selain kelebihan, pendekatan kebutuhan sosial ini juga memiliki beberapa kekurangan. Menurut Arifin (2010) kekurangan pendekatan sosial ini antara lain adalah:
a. Pendekatan ini cenderung hanya untuk menjawab persoalan yang dibutuhkan masyarakat pada saat itu, yaitu pemenuhan kebutuhan atau tuntutan layanan pendidikan dasar sebesar-besarnya, sehingga mengabaikan pertimbangan efisiensi pembiayaan pendidikan.
b. Pendekatan ini lebih menekankan pada aspek kualitas (jumlah yang terlayani sebanyak-banyaknya), sehingga kurang memperhatikan kualitas dan efektivitas pendidikan. Oleh karena itu pendekatan ini terkesan lebih boros.
c. Pendekatan ini mengabaikan ciri-ciri dan pola kebutuhan man power yang diperlukan di sektor kehidupan ekonomi, dengan demikian hasil atau output pendidikan cenderung kurang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.
d. Pendekatan ini lebih menekankan pada aspek pemerataan pendidikan (dimensi kuantitatif) dan kurang mementingkan aspek kualitatif. Di samping itu pendekatan ini kurang memberikan jawaban yang tepat dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan, karena lebih menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan sosial, sementara aspek atau bidang kehidupan yang lain kurang diperhatikan.
Ada tiga kritik yang penting sehubungan dengan pendekatan tuntutan sosial ini, khususnya yang dilancarkan oleh para ahli ekonomi; yaitu sebagai berikut (Coombs, 1987:35).
1. Pendekatan ini mengabaikan masalah besarnya sumber alokasi nasional dan menganggap bahwa tidak menjadi masalah berapa banyak sumber itu mengalir untuk pendidikan yang seharusnya dapat dipakai dengan baik untuk pembangunan nasional secara keseluruhan.
2. Pendekatan ini mengabaikan sifat dan macam tenaga kerja yang dihasilkan yang diperlukan oleh sektor ekonomi, jenis tertentu terlalu banyak dan jenis lain berkurang
3. Pendekatan ini cenderung terlalu merangsang timbulnya tuntutan masyarakat untuk memperoleh pendidikan, meremehkan biaya, dan memeratakan sumber dana yang terbatas untuk terlalu banyak murid yang mengakibatkan menurunnya kualitas dan efektifitas sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi sesuatu bentuk penanaman modal yang diragukan.
Maswarita (2010) Pendekatan model kebutuhan sosial ini didasarkan atas keperluan masyarakat saat ini dan menitik beratkan pada pemerataan pendidikan seperti wajib belajar (wajar 9 tahun). Kekurangannya pendekatan model ini adalah; (1) mengabaikan alokasi dalam skala nasional, (2) mengabaikan kebutuhan perencanaan ketenagakerjaan, (3) cenderung hanya menjawab problem pemerataan dengan lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas pendidikan.
4. Tujuan pendekatan Social Demand
Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan yang mengandung misi pembebasan terutama bagi negara-negara berkembang yang kemerdekaannya baru saja diperoleh setelah melalui perjuangan pembebasan yang sangat lama. Pendidikan membebaskan rakyat dari rasa ketakutan, dari penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Misi pembebasan yang menjiwai tuntutan terhadap pendidikan merupakan tekanan keras bagi penyelenggara pendidikan.
Dengan melihat karakteristik tuntutan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan ini lebih menekankan pemerataan kesempatan atu kuantitatif, dibandingkan dengan aspek kualitatif. Karena itu pendidikan dasar merupakan prioritas utama yang harus diberikan kepada setiap anak usis SD. Kewajiban belajar merupakan manifestasi dari tuntutan sosial ini untuk membebaskan populasiusia sekolah dari tuna aksara.
Tujuan pendekatan ini adalah untuk memenuhi tuntutan atu permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktutertentu dalam situasi perekonomian politik dan kebudayan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampung seluruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan. Jika jumlah tempat yang tersedia masih lebih kecil daripadajmlah tempat yang seharusnya ada, maka dikatakan bahwa permintaan masyarakat melebihi penyediaan.
5. Analisis Kebutuhan Sosial
Apabila pendekatan kebutuhan sosial ini dipergunakan, maka tugas para perencana pendidikan harus memperkirakan kebutuhan pada masa yang akan datang dengan menganalisa:
a. Pertumbuhan penduduk
b. Partisipasi dalam pendidikan (yakni dengan menghitung prosentase penduduk yang bersekolah)
c. Arus murid dari kelas satu ke kelas yang lebih tinggi dan dari satu tingkat ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi (misalnya dari SD ke SLTP ke SMA dan ke perguruan tinggi).
d. Pilihan atau keinginan masyarakatdari individu tentang jenis-jenis pendidikan.
Selanjutnya para perencana diminta untuk merencnakan penggunaan tenaga dan fasilitas yang adasecara optimal dan memobilisasikan dana dan daya upaya agar supaya permintaan masyarakat terhadap pendidikan menjadi terpenuhi. Dalam banyak negara, penyediaan pendidikan dasar baik dalam sekolah maupun di luar sekolah didasarkan pada pendekatan permintaan masyarakat.
Pendekatan seperti ini sukar diukur dan diteliti, kecuali untuk negara yang sudah melaksanakan undang-undang kewajiban belajar serta mempunyai data lengkap atau adanya kebijakan pemerintah.
6. Pertimbangan dalam menyusun pendekatan Social Demand
Menurut Efendi(2000:25) ada beberapa hal yan perlu diperhitungkan dalam menggunakan pendekatan kebutuhan sosial ini, antara lain adalah:
a. Adanya kewajiban belajar yanng dikeluarkan oleh pemerintah.
b. Kondisi-kondisi sosial ekonomis yang memungkinkan untuk menyekolahkan anak.
c. Kondisi-kondisi sosial yang ada pada masyarakat.
d. Kemauan orang dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
e. Motif untuk maju yang ada pada masayarakat ataupun yang sudah berkembang khususnya pada anak-anak usia sekolah.
f. Tersedianya sumber-sumber dana berupa beasiswa.
Selain itu, menurut Arifin (2010), hal yang perlu diperhatikan oleh penyusun dalam merancang perencanaan pendidikan dengan pendekatan kebutuhan sosial, antara lain adalah:
a. Melakukan analisis tentang pertumbuhan penduduknya.
b. Melakukan analisis tentang tingkat partisipasi warga masyarakatnya dalam pelaksanaan pendidikan, misalnya melakukan analisis presentase penduduk yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan, yang dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan.
c. Melakukan analisis tentang dinamika atau gerak peserta didik dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi, misalnya kenaikan kelas, kelulusan dan dropout.
d. Melakukan analisis tentang minat atau keinginan warga masyarakat tentang jenis layanan pendidikan di sekolah.
e. Melakukan analisis tentang tenaga pendidik dan kependidikan yang dibutuhkan, dan dapat difungsikan secara maksimal dalam proses layanan pendidikan.
f. Melakukan analisis tentang keterkaitan antara output satuan pendidikan dengan tuntutan masyarakat atau kebutuhan sosial di masyarakat.

C. Pendekatan Man Power
1. Pengertian pendekatan Man Power
Menurut Effendi (2000:26) “Pendekatan man power adalah pendekatan yang lebih menekankan pada pendayagunaan tenaga kerja hasil suatu sistem pendidikan”. Sedangkan menurut Yagi (2010) ”Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mendisain perencanaan pendidikan dikaitkan dengan pengembangan tenaga manusia melalui pendidikan, guna memenuhi tuntutan kebutuhan sektor perekonomian”. Dengan demikian, perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan terhadap penerimaan ketenagakerjaan akan mengidentifikasikan mengenai besarnya kebutuhan tenaga kerja untuk kurun waktu tertentu.
“Pengembangan sumber daya manusia melalui sistem pendidikan adalah suatu syarat yang penting untuk perkembangan ekonomi dan merupakan suatu penanaman sumber daya yang langka yang baik, hasil pola dan kualitas pendidikan digunakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja”. (Coombs, 1982:34).
Pendekatan tenaga kerja berguna untuk mengatasi kesenjangan tenaga kerja dan ketidakseimbangan yang ekstrim dalam pola hasil pendidikan yang membutuhkan perbaikan. Pendekatan ini hampir tidak memerlukan penelitian statistik yang terperinci. Pendekatan tenaga kerja dapat juga memberikan bimbingan yang bermanfaat bagi pendidik tentang bagaimana kualifikasi pendidikan pekerja untuk dikembangkan di masa mendatang. Misalnya, bagaimana seharusnya proporsi relatif dari orang yang berpendidikan atau tingkat pendidikan yang lebih rendah, pendidikan menengah, dan berbagai latihan setelah pendidikan tingkat menengah. Hal ini sangat berguna untuk diketahui para perencana pendidikan, tetapi jauh berbeda dari syarat-syarat tenaga kerja yang terperinci (Coombs, 1987: 37).
Perlu diperhatikan pula bahwa perhitungan kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia maupun yang akan tersedia tidak terlepas dari faktor kualitas yang diharapkan. Semua ini mempunyai implikasi bahwa seorang perencana pendidikan setidak-tidaknya dapat memprediksi kemungkinan-kemungkinan perkembangan, baik secara kualitas maupun kualitas, terutama menyangkut sektor-sektor ekonomi dengan pedistribusian yang dapat diproyeksi. Timan (2004:17) “Pertumbuhan ekonomi tidak hanya memerlukan sumber dan fasilitas fisik, tetapi juga memerlukan sumber-sumber manusia yang mengorganisasi dan menggunakan fasilitas fisik. Jadi pengembangan sumber manusia melalui sistem pendidikan adalah suatu syarat penting untuk pertumbuhan ekonomi dan suatu investasi yang baik dari sumber-sumber yang langka, dengan menentukan pola dan mutu output pendidikan sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja di bidang perekonomian”.
Banyak ahli ekonomi yang menyukai pendekatan man power terhadap perencanaan pendidikan.” Argumen yang mendukungnya secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi adalah sumber utama suatu pembangunan nasional secara menyeluruh dan oleh karenanya menjadi pertimbangan utama dalam mengalokasikan sumber-sumbernya”. (Timan, 2004:26)
2. Kelebihan pendekatan Man Power
Menurut Arifin (2010) ada beberapa kelebihan dari pendekatan man power, antara lain adalah:
a. Prospek pembelajaran atau layanan pendidikan di satuan pendidikan mempunyai aspek korelasionalyang tinggi dengan tuntutan dunia kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat.
b. Pendekatan ini mengharuskan adanya keterjalinan yang erat antaralembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri, hal ini tentu sangat positif untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia industri dan usaha.
3. Kekurangan pendekatan Man Power
Selain kelebihan, pendekatan ketenagakerjaan ini juga mempunyai beberapa kekurangan, antara lain:
a. Mempunyai peranan yang terbatas terhadap perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini telah mengabaikan peran sekolah menengah umum, dan lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.”Dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum, pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda. Lembaga pendidikan kejuruan lebih menekankan pada usaha mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertantu” (UUSPN dalam Wena, 1997:1). Namun dalam realitasnya masih banyak lulusan sekolah menengah kejuruan yang menganggur (outputnya tidak terserap di dunia kerja).
b. Perencanaan ini lebih menggunakan orientasi, klasifikasi, dan rasio antara permintaan dan persediaan.
c. Tujuan utamanya untuk memenuhi dunia kerja, sedangkan disisi lain tuntutan dunia kerja selalu berubah-ubah(bersifat dinamik) begitu cepat, sehingga lembaga pendidikan kejuruan sering kurang mampu mengatasinya dengan baik.
Selain itu kesalahan penerapan pendekatan man power antara lain: pertama, pendekatan ini memberi bimbingan terbatas kepada para perencana pendidikan. Tidak pernah membicarakan pendidikan dasar (karena memang kurang berhubungan dengan pekerjaan), bahkan implikasinya menghambat perluasan pendidikan dasar. Sebagian besar studi man power mengarahkan perhatiannya kepada man power tingkat tinggi yang dibutuhkan oleh sektor modern(sebagian besar tenaga kerja kota). Jadi perencana diberi data yang tidak berguna bagi pendidikan orang-orang yang akan menjadi tenaga kerja bangsa di masa depan yang sebagian besar memerlukan tenaga kerja semi-terampil dan tidak terampil di kota, serta tenaga kerja yang sebagian besar hidup di desa.
Kedua, klasifikasi pekerjaan dan rasio tenaga kerja(umpamanya, rasio yang diinginkan antara insinyur dan tenaga teknis, dokter dan perawat) yang digunakan dalam mengadakan studi man power di negara-negara sedang berkembang, begitu juga asumsi kualifikasi pendidikan bagi setiap pekerjaan, biasanya dipinjam dari negara industri dan tidak sesuai dengan kenyataan di negara sedang berkembang tersebut. Rencana pendidikan yang didasarkan pada asumsi yang salah dapat berakibat salahnya persiapan generasi muda untuk jabatan yang akan dipangkunya.
Ketiga adalah ketidakmungkinan membuat perkiraan yang dapat dipercaya tentang kebutuhan man power untuk menjadi nilai nyata perencanaan pendidikan, karena banyaknnya faktor terlibat. Makin terperinci dan makin panjangnya suatu perkiraan, makin tidak dapat dipercaya kebenarannya.
Menurut Vembrianto(1985: 48) Pendekatan man power ini mempunyai kelemahan-kelemahan, yaitu :
1. Pendekatan ini mempunyai peranan yang terbatas terhadap perencanaan pendidikan, pendekatan ini mengabaikan sekolah dasar karena dipandang sebagai tidak berhubungan dengan dunia kerja sehingga hanya mengutamakan pendidikan yang menghasilkan man power “tingkat tinggi” yang diperlukan oleh sektor dunia pekerjaan modern, padahal di masa depan masih tetap diperlukan tenaga-tenaga semi-skilled dan unskilled baik di kota-kota maupun di desa-desa
2. Pendekatan ini menggunakan klasifikasi dan ratio manpower (ratio dokter- juru rawat, insinyur-tukang, dll), yang didasarkan atas keadaan masyarakat yang telah mencapai taraf ekonomi industri, dengan demikian tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan di Negara-negara berkembang, akibatnya terjadi pendidikan yang salah atau berlebihan yang dipersiapkan untuk jabatan-jabatan tertentu.
3. Kesulitan ketiga ialah disebabkan oleh tidak mungkinnya membuat forecasting yang dapat dipercaya mengenai kebutuhan man power yang diperlukan bagi perencanaan pendidikan, karena adanya ketidak pastian ekonomik, teknologik,dll., lebih-lebih di Negara-negara berkembang; makin terperinci jabatan-jabatan itu, dan makin panjang jangka waktu yang dimasukkan dalam perencanaan itu, makin tidak dapat dipercaya perencanaan tersebut; pasaran kerja itu sangat labil, bergerak dari keadaan kekurangan ke kelebihan.
4. Tujuan pendekatan Man Power
Yang dimaksud dengan ketenagakerjaan menurut A. W. Guruge dalam Udin S (2005:239)”Gearing on educational eforts to the fulfiment of national man powerrequirement”. Jadi menurut Guruge pendekatan ini bertujuan mengarahkankegiatan pendidikan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja.
Pendekatan ini mengutamakan kepada keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan seperti sektor ekonomi, pertanian, perdagangan dan industri. Tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperolehkesempatan kerja yang lebih baikhingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki melalui penghasilan karena dikaitkan langsung dengan usaha pemenuhan kebutuhan dasar setiap orang. Karena itu, tekanan utama adalah relevansi program pendidikan denganberbagai sektor pembangunan dilihat dari pemenuhan ketenagaan.
Pendidikan kejuruan dan teknologi baik pada tingkat menengah maupun tingkat universitas merupakan prioritas. Untuk memenuhi tuntutan relevansi seperti yang telah disebutkan, kurikulum dikembangkan sedemikian rupa hingga lulusan yang merupakan output sistem pendidikan sipa pakai di lapangan. Implikasi dari pendekatan ini adalah pendidikan harus diorientasikan kepada pekerjaan yang mungkin diperlukan di pasaran kerja.
5. Pertimbangan dalam menyusun pendekatan Man Power
Menurut Arifin (2010) Apabila pendekatan ini dipakai oleh para penyusun perencanaan pendidikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
a. Melakukan kajian atau analisis tentang beragam kebutuhan yang diperlukan oleh dunia kerja yang ada di masyarakat secermat mungkin.
b. Melakukan kajian atau analisis tentang beragam bekal pengetahuan dan keterampilan apa yang perlu dimiliki oleh peserta didik agar mampu menyesuaikan diri secara cepat(adaptif) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di dunia kerja.
c. Mengkaji atau menganalisis tentang sistem layanan pendidikan yang terbaik dan mampu memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk terjun di dunian kerja, oleh karena itu perludilakukan anlisis peluang kerja dan menjalin kerjasama antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri.
Sa’ud dan Makmun A. S (2005: 243) “ Alternatif pendekatan perencanaan pendidikan dalam pendekatan kebutuhan ketenaga kerjaan mengutamakan kepada keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperolah kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki”.

D. Pendekatan Cost Benefit
1. Pengertian pendekatan Cost Benefit
Pendekatan cost benefit adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan pada keseimbangan antara keuntungan dan kerugian (Yagi, 2010). Prinsip untung rugi inilah yang dipakai oleh individu yang rasional kalau memutuskan bagaimana sebaiknya membelanjakan uang agar keinginannya tercapai.
Ia meneliti alternatif-alternatifnya, menimbang biaya masing-masing alternatif dan kepuasan yang menyertainya atau kegunaan yang akan diperolehnya dan kemudian memilih kemungkinan tertentu sebatas kemampuannya yang paling menguntungkan.
2. Ciri-ciri pendekatan Cost Benefit
Ciri-ciri pendekatan ini antara lain adalah:
a. Pendidikan memerlukan biaya investasi yang besar, oleh karena itu perencanaan pendidikan yang disusun harus mempertimbangkan aspek keuntungan ekonomis.
b. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa:
- Kualitas layanan pendidikan akan menghasilkan output yang baik dan secara langsung akan memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi masyarakat.
- Sumbangan seseorang terhadap pendapatan nasional adalah sebanding dengan tingkat pendidikannya.
- Perbedaan pendapat seseorang di masyarakat, ditentukan oleh kualitas pendidikan bukan ditentukan oleh latar belakang sosialnya.
c. Perencanaan pendidikan harus betul-betul diorientasikan pada upaya meningkatkan kualitas SDM (penguasan IPTEK), dan dengan tersedianya kualitas SDM, maka diharapkan income masyarakat akan meningkat
d. Program pendidikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi akan menempati prioritas pembiayaan yang besar.
3. Kelebihan pendekatan Cost Benefit
Adapun kelebihan pendekatan cost benefit menurut Arifin (2010) antara lain adalah:
a. Perencanaan pendidikan yang disusun akan mempunyai aspek fungsional dan keuntungan ekonomis, sehingga bentuk-bentuk layanan pendidikan yang dianggap kurang produktif bisa ditiadakan melalui pendekatan efisiansi investasi.
b. Pendekatan ini selalu memilih alternatif yang menghasilkan keuntungan lebih banyak daripada biaya yang dikeluarkan.
4. Kekurangan pendekatan Cost Benefit
Ada beberapa kelemahan pendekatan cost benefit menurut Abin dalam Arifin (2010), diantaranya adalah:
a. Akan mengalami kesulitan dalam menentukan secara pasti biaya dan keuntungan (cost dan benefit) dari layanan pendidikan, terlebih apabila digunakan mengukur keuntungan untuk periode atau masa yang akan datang.
b. Sangat sulit untuk mengukur secara pasti atau menghitung keuntungan (benefit) yang dihasilkan oleh seseorang dalam lapangan pekerjaan yang dikaitkan dengan layanan pendidikan sebelumnya.
c. Faktor internal individu (misalnya motivasi, disiplin, kelas sosial, orientasi hidup individu dan sejenisnya) dan hanya melihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan penghasilan.
d. Perbedaan pendapat seseorang sebenarnya tidak semata-mata menunjukkan kemampuan produktifitas individual, tetapi ada faktor lain yang ikut menentukan yaitu faktor konvensi sosial atau banyak dipengaruhi dari kerja kelompok.
e. Keuntungan dari pendidikan pada dasarnya tidak hanya diukur berupa keuntungan finansial (material), tetapi juga dapat dilihat dari keuntungan sosial budaya.
Selain itu, salah satu kelemahan dan kritik khusus bagi pendekatan cost benefit adalah masalah the estimate income for gone by student yang dimasukkan ke dalam perhitungan biaya, terutaman di negara yang dilanda masalah pengangguran. Kelemahan yang lebih serius berhubungan dengan perhitungan keuntungan dimasa yang akan datang. Cara yang biasanya dipergunakan adalah menghitung perbedaan life time learning setiap orang yang merupakan akibat dari pendidikan yang diperolehnya, dikurangi dengan presentase yang dibuat sebagai ganti dari sebab-sebab non-pendidikan terhadap pndapatan ini (umpamanya: motivasi, latar belakang keluarga dan relasi). Tetapi perbedaan pendapat di masa mendatang, sehubungan dengan berbagai perbadaan pendidikan dihitung atas dasar perbedaan masa lampau dan masa sekarang secara implisit.
5. Tujuan pendekatan Cost Benefit
Pendekatan ini adalah bersifat ekonomi dan berpangkal dari konsep investment in human capital atau investasi pada sumber daya manusia. Setiap investasi harus mendatangkan keuntungan yang dapat diukur dengan nilai moneter. Pendidikan memerlukan investasi yang besar dan karena itu keuntungan dari investasi tersebut harus dapat diperhitungkan bilamana pendidikan itu memang mempunyai nilai ekonomi.
Pendidikan secara konseptual tampaknya tidak diragukan lagi mempunyai nilai ekonomi artinya pendidikan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, walaupun para ahli ekonomi mengalami kesukaran secara nyata dan pasti dalam mengukur kontribusi tersebut, karena sifat dan ciri pendidikan yang kompleks itu. Keterkaitan pendidikan dengan ekonomi dapat diterangkan dengan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti tenaga kerja, pengetahuan dan teknologi. Faktor ini hanya dapat diwujudkan denganmasuknya peran pendidikanmelalui faktor manusia, sebab pembangunan ekonomi pada dasarnya dilakukan oleh manusia dan untuk manusia. Sedangkan pebangunan manusia hanya mungkin dilakukan oleh pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, pendekatan untung rugi atu keefektifan biaya mempunyai implikasi sesuai dengan prinsipekonomi yaituprogram pendidikan yang mempunyai nilai ekonomi tinggimenempati urutan atau prioritas tinggi. Karena pendekatan keefektifan biayamempunyai keterkaitan erat dengan pendekatan ketenagakerjaan, maka program pendidikan kejuruandan teknologi yang lulusannya mempunyai kesempatan lebih baikuntuk bekerja mendapt prioritas dalam alokasi pembiayaan sebagai bentuk nvestasi dalam pendidikan.
6. Langkah Penting Dalam Pelaksanaan Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan harus meliputi dua macam perencaanaan, yaitu perencanaan makro yang membuat dimensi yang luas daripada sistem pendidikan dan relasinya dengan perencanaan dalam bidang sosial dan ekonomi serta perencanaan mikro yang memuat perencanaan mengenai proses internal daripada sistem pendidikan termasuk pola subsistem sub sistem yang ada di dalamnya.
Agar perencanaan pendidikan dapat berjalan dengan baik, maka harus sesuai dengan langkah-langkah berikut:
a. Penelitian dan diagnosa untuk mengidentifikasi problema pokok yang dihadapi oleh perencanaan pendidikan.
b. Mengadakan training bagi orang-orang agar mereka mampu mempraktekkan hasil-hasil penelitian dan metodologi perencanaan itu dalam praktek.
c. Menyususn dan mengadakan penyesuaian tata organisasi dan administrasi agar memungkinkan terlaksananya perencanaan itu.
Dari pengalaman pelaksanaan perencanaan pendidikan di berbagai tempat dapat ditarik pelajaran antara lain:
a. Suatu sistem pendidikan hanya dapat direncanakan dengan baik dan rencananya itu hanya dapat di implementasikandengan baik apabila merekayang mempunyai tanggungjawab atas berbagai bagian dalam sistem itu merupakan perencana yang baik, dan hanya apabila masing-masingperencana itu memungkinkan perencanaan bagian saling jalin menjalindan diintegrasikanmenjadi suatu kesatuanyang kompak dan selaras yang tertuju kepada tercapainya tujuan dari keseluruhan sistem itu.
b. Perencanaan akan terlaksana dengan sebaik-baiknya apabila para pemimpin politik dan pendidikan sungguh-sungguh yakin pentingnya perencanaan itu, memberikan dukungan mereka, dan secara serius menggunakan perencanaan itu dalam keputusan-keputusan mereka, serta orang-oranglain yang secara serius terlibat dalam sistem pendidika itu, misal para petugas administrasi, guru, murid, orangtua murid, diberi kesempatan yang wajar untuk memberikan andilnya dalam perumusan rencan pendidikan itu. (Vembrianto, 1985:50)
Menurut Vembrianto(1985:51) ada lima tuntutan yang harus diperhatikan bagi penyempurnaan perencanaan pendidikan di masa yang akan datang, yaitu:
a. Tiga macam cara pendekatan yang telah disebut (sosial demand, man power, dan cost benefit) harus disintesiskan menjadi suatu pendekatan utuh dan selaras.
b. Berbagai metodologi yang diperlukan oleh pendekatan yang telah disistesiskan itu perlu disempurnakan dan dikembangkan lebih lanjut.
c. Usaha besar-besaran perlu dilakukan oleh semua sistem pendidikan untuk menyempurnakanarus informasi yang diperlukan bagi perencanaan yang efektif.
d. Perlu dipersiapkan adanya sejumlah besar kader yang berwenang dalam perencanaan pendidikan, dan suatu keyakinan mengenai pentingnya perencanaan pendidikan perlu disebarkan di kalangan siapa saja yang berpartisipasi dalam proses perencanaan itu.
e. Pengaturan organisasi dan administrasi, pola sikap dan tingkah laku perlu diubah secara radikalagar memungkinkan pelaksanaan perencanaan secara efektif.
Vembrianto (1985:52) menyimpulkan bahwa Perencanaan pendidikan di masa depan harus memuat lima buah pokok persoalan sebagai berikut:
a. Perumusan tujuan : perumusan tujuan pendidikan dan penentuan prioritasnya sangat diperlukan untuk mengadakan evaluasi pelaksanaan sistem pendidikan dan untuk menyusun perencanaan pendidikan. Tujuan pendidikan itu harus konsisten dengan tujuan umum masayarakat (tujuan nasional suat bangsa). Di samping itu tujuan sistem pendidikan itu harus pula konsisten dengan tujuan sub sistem di dalamnya. Merumuskan tujuan umumsistem pendidikan adalah sangat sulit. Sedangkan merumuskan tujuan operasional yang spesifik pada umumnya lebih mudah. Perumusan tujuan pendidikan itu diperlukan sebagai kriteria untuk mengetes kegiatan pelaksanaannya.
b. Evaluasi terhadap pelaksanaan sistem : perumusan tujuan pendidikan itu penting untuk (a) memberi arah kegiatan pendidikan, (b) memberi dasar untuk mengecek kegiatan itu, (c) memberi dasar untuk membandingkan alternatif dari berbagai cara mencapai tujuan proses belajar yang khusus, dengan demikian berguna untuk menentukan manakah dari berbagai cara itu yang paling efisien. Untuk evaluasi itu diperlukanberbagai alat diagnostik yang diperlukan untuk menilai pelaksanaan kegiatan, mencari kemungkinan penyempurnaannya.
c. Penggunaan cara pendekatan sistem dalam penyusunan design pendidikan.
d. Gaya dan tindakan menejemen yang baru: untuk itu adanya operationsresearch, programme budgeting,cost analisys, cost effectiveness testing, dan cost benefit analisys.
e. Penelitian dan pengembangan sistem pendidikan secara intensif.
Dalam pelaksanaan pendidikan, model-model pendekatan sebagai upaya pencerahan dan pemberdayaan jalur pendidikan yang sekaligus dapat dijadikan pedoman dasar penyelenggaraan hendaklah terus diperhatikan dan dimaknai secara benar.
“ Pendekatan-pendekatan dalam upaya pemberdayaan pendidikan antara lain seperti tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga mutu dan kelangsungan pendidikan, belajar seumur hidup, watak mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara, menyiapkan tenaga yang siap terlatih dan siap pakai, dan menyiapkan generasi muda yang lebih baik dengan pendekatan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. (Rachman, 2001:289).
Menurut Direktorat Pendidikan Dasar dalam Bafadal (1999:29), setidaknya ada lima komponen yang menentukan mutu pendidikan, antara lain adalah:
1. Kegiatan belajar mengajar.
2. Manajemen pendidikan yang efektif dan efisien.
3. Buku dan sarana belajar yang memadai dan selalu dalam kondisi siap pakai.
4. Fisik dan penampilan sekolah yang baik, dan
5. Partisipasi aktif masyarakat.
E. Pendekatan Integratif
1. Pengertian Pendekatan Integratif
Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan integrasi (terpadu) dianggap sebagai pendekatan yang lebih lengkap dan relatif lebih baik daripada ketiga pendekatan di atas. Pendekatan ini sering disebut dengan “pendekatan sistemik atau pendekatan sinergik” (Arifin, 2010).
Diantara ciri atau karakteristik pendekatan integratif adalah, bahwa perencanaan pendidikan yang disusun berdasarkan pada (Arifin, 2010):
1. Keterpaduan orientasi dan kepentingan terhadap pengembangan individu dan pengembangan sosial (kelompok)
2. Keterpaduan antara pemenuhan kebutuhan ketenagakerjaan (bersifat pragmatis) dan juga mempersiapkan pengembangan kualitas akademik (bersifat idealis) untuk mempersiapkan studi lanjut
3. Keterpaduan antara pertimbangan ekonomis (untung rugi), dan pertimbangan layanan sosial-budaya dalam rangka memberikan kontribusi terhadap terwujudnya integrasi sosial-budaya
4. Keterpaduan pemberdayaan terhadap sumber daya lembaga, baik sumber daya internal maupun sumber daya eksternal
5. Konsep bahwa seluruh unsur yang terlibat dalam proses layanan pendidikan (pelaksanaan program) di setiap satuan pendidikan merupakan ‘suatu sistem’
6. Konsep bahwa kontrol dan evaluasi pelaksanaan program (perencanaan pendidikan) melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan proses layanan kualitas pendidikan, dengan tetap berada dalam komando pimpinan atau kepala satuan pendidikan.
Sedangkan pihak-pihak yang dapat terlibat dalam proses evaluasi pelaksanaan perencanaan pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah:
1. Kepala sekolah
2. Guru
3. Siswa
4. Komite Sekolah
5. Pengawas sekolah
6. Dinas pendidikan (Vembrianto. 1982; Soenarya, E. 2000; Depdiknas, 2001, 2006 dalam Arifin, 2010).
2. Kelebihan-Kelebihan Pendekatan Integratif
1. Semua sumber daya (internal-eksternal) yang dimiliki dalam proses pengembangan pendidikan akan terberdayakan secara baik dan seimbang
2. Dalam proses pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan memberikan peluang secara maksimal kepada setiap warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa dan komite sekolah (tokoh dan orang tua wali siswa) untuk berkontribusi secara positif sesuai dengan status dan peran masing-masing
3. Peluang untuk pencapaian tujuan pendidikan yang telah dirumuskan akan lebih efektif, karena dalam perencanaan terpadu memberikan porsi yang cukup besar bagi pemberdayakan semua potensi yang dimiliki secara kelembagaan, dan menuntut partisipasi aktif dari semua warga sekolah
4. Perencanaan pendidikan yang terpadu akan mampu menghadapi perubahan atau dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan budaya atau tingkat kompetisi yang begitu tinggi di semua bidang kehidupan di era globalisasi
5. Pelaksanaan pendekatan perencanaan pendidikan terpadu secara baik akan mampu mensosialisasi dan menginternalisasi setiap warga sekolah, untuk membangun sikap mental dan pola perilaku yang integral atau multidimensional atau komprehensif dalam memahami dan melaksanakan setiap agenda kehidupan di masyarakat
6. Output dari proses layanan pendidikan pada peserta didik akan lebih menampilkan potret hasil pendidikan yang lengkap, baik kualitas akademiknya, kualitas kepribadiannya dan kualitas ketrampilannya (Arifin, 2010).
3. Kelemahan-Kelemahan Pendekatan Integratif
1. Pendekatan ini memerlukan ketersediaan kualitas sumber daya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), khususnya kualitas pengetahuan, mentalitas atau kepribadiannya, dan spiritualnya. Dalam realitasnya menurut data Depdiknas 2006-2007, khususnya tentang kualitas tenaga pendidik (guru) secara makro (Nasional) dari jenjang pendidikan paling dasar sampai menengah atas yang betul-betul telah memenuhi standar kualitas guru yang professional masih kurang dari 20 %, atau kurang lebih 80 % guru-guru di Indonesia belum memiliki kualifikasi sebagai guru yang profesional (Arifin, 2007). Hal ini tentu sangat menyulitkan proses pelaksanaan perencanaan pendidikan yang integratif
2. Perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas pengelolaan manajemen kelembagaan secara transparan, akuntabel, demokratik dan visioner. Dalam realitasnya masih banyak dijumpai pola pengelolaan manajemen di setiap satuan pendidikan yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
3. Perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas peran serta masyarakat (PSM), dalam meningkatkan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, khususnya dalam melaksanakan empat peran penting, yaitu sebagai:
a. Pemberi pertimbangan (advisory)
b. Pendukung (supporting)
c. Pengontrol (controlling)
d. Mediator (Depdiknas, 2006 dalam Arifin, 2010).
Dalam realitasnya keempat peran tersebut belum terlaksana dengan baik di setiap lembaga atau satuan pendidikan. Jadi, uraian tentang kelemahan pendekatan integratif atau terpadu atau sistemik sejatinya tidak menyangkut ranah konseptual, tetapi lebih bersentuhan pada tataran unsur pendudukung dalam pelaksanaan program (aplikasinya). Oleh karena itu secara konseptual pendekatan perencanaan integrasi merupakan pendekatan yang paling baik apabila dibandingkan dengan pendekatan yang lain yang lebih bersifat parsial (sektoral) (Arifin, 2010).
Hal yang paling kunci untuk mendukung pelaksanaan program pendidikan pada perencanaan pendidikan integratif adalah:
1. Terus mendorong pengembangan kualitas SDM warga sekolah
2. Terus meningkatkan kualitas manajemen satuan pendidikan berdasarkan prinsip-prinsip MPMBS
3. Terus meningkatkan kualitas peran serta masyarakat (PSM) untuk mencapai tujuan pendidikan (Arifin, 2010).

0 Komentar Tog Bhe Maseh: