Kompetensi Guru

9:45 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Tugas utama itu akan efektif apabila guru memiliki derajat profesionalitas tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan atau keterampilan yang memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu. Lebih jauh Wens Tanlain dalam Syaiful Sagala (2009:13) menyebutkan ada beberapa poin yang menjadi tanggung jawab seorang guru, antara lain: mematuhi norma dan nilai kemanusiaan, menerima tugas mendidik bukan sebagai beban, tetapi dengan gembira dan sepenuh hati, menyadari benar akan apa yang dikerjakan dan akibat dari setiap perbuatannya itu, belajar dan mengajar memberikan penghargaan kepada orang lain termasuk kepada anak didik, bersikap arif bijaksana dan cermat serta hati-hati dan sebagai orang beragama melakukan kesemua yang tersebut di atas berdasarkan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Peran guru yang ditampilkan demikian, akan membentuk karakteristik anak didik atau lulusan yang beriman, berakhlak mulia, cakap, mandiri, berguna bagi agama, nusa dan bangsa terutama untuk kehidupannya yang akan datang. Bila kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukkan kinerja maksimal di dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Akan tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan kinerja baik, tentunya akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro. Berkaitan dengan jabatan dan profesi tadi, fenomena sekarang terlihat di beberapa sekolah bahwa masih terdapat guru yang memiliki keahlian yang ditunjukkan dengan sertifikasi atau ijazah dan akta yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Demikian juga untuk pembuatan rencana pembelajaran, mereka kurang maksimal. Hal ini sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan pada umumnya.
Guru sebagai tenaga pendidik merupakan pemimpin pendidikan dan sangat menentukan dalam proses pembelajaran di kelas. Peran kepemimpinan tersebut akan tercermin dari bagaimana guru melaksanakan peran dan tugasnya. Hal ini berarti bahwa kinerja guru merupakan faktor yang amat menentukan bagi mutu pembelajaran/pendidikan yang akan berimplikasi pada kualitas output pendidikan setelah menyelesaikan sekolah. Kinerja guru pada dasarnya merupakan kinerja yang dilakukan oleh guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Kualitas kinerja guru akan sangat menentukan kualitas hasil pendidikan, karena guru merupakan pihak yang paling banyak bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pendidikan di sekolah.

1. Pengertian Kompetensi Guru
Istilah kompetensi guru mempnyai banyak makna, Broke and Stone (1995) dalam Mulyasa (2009:25) mengemukakan bahwa kompetensi guru sebagai” … descriptive of qualitative nature of tacher behavior appears to be entirely meaningful…” kompetensi guru merupakan gambaran kualitatif tentang hakikat prilaku guru yang penuh arti.
Kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan; kompetensi menunjuk pada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu didalam pelaksanaan tugas-tugas kependidikan. Dikatan rasonal karena mempunyai arah atau tujuan, sedangkan performance merupakan perilaku nyata dalam arti tidak hanya dapat diamati saja, tetapi meliputi yang lebih jauh dari itu yang tidak tampak (Pomalingo&Rahmat, 2009:164).

Sementara itu Johnson (1974) dalam Nelson Pomalingo dan A. Rahmat (2009:164) mengemukakan bahwa kompetensi merupakan perilaku rasional untk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Sudarwan Danim (2008:171) mengemukakan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi juga dapat didefinisikan sebagai spesifikasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya didalam pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja uyang dibutuhkan oleh masyararakat dan dunia kerja.
Menurut Australia’s National Training Board dalam Nelson Pomalingo dan A. Rahmat (2009:168) kompetensi terdiri atas spesifikasi pengetahuan, keterampilan, dan penerapannya pada standar kinerja yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, Brannick dan Levine menyimpulkan bahwa kompetensi adalah sebagai berikut :
a. Pengetahuan, keterampilan, kemampuan atau karakteristik berhubungan dengan kinerja yang baik atas suatu jabatan.
b. Penjabaran tertulis dari kebiasaan kerja yang dapat diukur dketerampilan pribadi yang digunakan untuk mencapai sasaran-sasaran kerja.
Kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan; kompetensi menunjuk pada performance dan perbuatan rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu didalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan. Dikatakan rasional karena mempunyai arah atau tujuan, sedangkan performance merupakan perilaku nyata dalam arti tidak hanya dapat diamati saja, tetapi meliputi yang lebih jauh dari itu yang tidak tampak (Nelson P & A. Rahmat, 2009:164).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa: “kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksnakan tugas keprofesionalan.
2. Tugas dan Fungsi Guru Sebagai Tenaga Pendidik
Guru merupakan profesi yang memerlukan keahlian khusus, tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan walaupun kenyataannya masih dilakukan orang di luar kependidikan. Kinerja guru terkait erat dengan efisiensi, keefektifan, dan produktivitas. Keefektifan mengacu pada ketercapain tujuan, dan produktivitas berhubungan dengan hasil yang optimal dari pelaksanaan kegiatan.
Guru bukan hanya merupakan suatu pekerjaan biasa tetapi merupakan satu profesi atau jabatan yang memerlukan keterampilan, kemampuan khusus, mencintai pekerjaannya, menjaga kode etik guru, dan lain sebagainya (Yamin, 2007:6). Peranan profesional guru dalam keseluruhan program pendidikan di sekolah diwujudkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berupa perkembangan kemampuan siswa secara optimal.
Guru yang profesional bukan sebatas menguasai materi pelajaran saja, mereka harus memiliki kemampuan sebagai pengembang proses pembelajaran sehingga setiap potensi siswanya dapat berkembang sesuai kapasitas pribadi masing-masing siswanya. Amstrong dalam Sudjana (2005:15) mengemukakan paling tidak seorang guru yang professional memiliki tanggung jawab sebagai berikut:
a. Tanggung jawab dalam pengajaran
b. Tanggung jawab dalam memberikan bimbingan
c. Tanggung jawab dalam mengembangkan kurikulum
d. Tanggung jawab dalam mengembangkan profesi
e. Tanggung jawab dalam membina hubungan dengan masyarakat

Berdasarkan hal tersebut, guru yang profesional dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuan profesinya karena pekerjaan profesional dapat diselenggarakan dengan baik dan berhasil jika guru memiliki kemampuan-kemampuan yang sesuai dengan tuntutan tugas dan perannya.
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Guru berhadapan dengan siswa adalah pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Seorang guru harus memiliki kinerja yang baik terutama pada saat proses belajar berlangsung. Guru diharapkan memiliki ilmu yang cukup sesuai bidangnya, pandai berkomulikasi mengasuh dan menjadi belajar yang baik bagi siswanya untuk tubuh dan berkembang menjadi dewasa.
Menurut keputusan Menpan No.16 tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya . Tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah.
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 39 ayat 1 berbunyi tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk memunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
Secara khusus tugas dan fungsi tenaga pendidik (guru dan dosen) didasarkan pada Undang-Undang no. 14 tahun 2005 yaitu sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengabdian kepada masyarakat. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa : Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Kewajiban Guru dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan keputusan Menpan dan RB No.16 tahun 2009 pasal 6 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya adalah:
a. merencanakan pembelajaran/bimbingan, melaksanakan pembelajaran/ bimbingan yang bermutu, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran/ bimbingan, serta melaksanakan pembelajaran/perbaikan dan pengayaan
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik Guru, serta nilai agama dan etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Menurut Endang Herawan (2008 : 233) mengatakan dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional tenaga pendidik dan kependidikan harus memiliki kompetensi yang diisyaratkan baik oleh pemerintah maupun kebutuhan masyarakat antara lain :
a. Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
b. Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
Guru sebagai tenaga pendidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki hak dan kewajian yaitu :
a. Pendidik berhak memperoleh :
1) Penghasilan dan jaminan kesejahteraan social yang pantas dan memadai
2) Penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja
3) Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas
4) Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual. dan
5) Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
b. Pendidikan juga berkewajiban untuk :
1) Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis,
2) Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan
3) Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Menurut Moh. Uzer Usman (2001 : 9 ) mengemukakan bahwa peran dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar yaitu sebagai demonstrator, pengelola kelas, mediator, fasilitator, dan evaluator.
Tugas dan fungsi guru yang dikemukakan di atas, akan membentuk karakteristik peserta didik yang beriman, berakhlak mulia, cakap mandiri, berguna bagi agama, nusa dan bangsa, terutama untuk kehidupannya yang akan datang.
3. Hakekat Kompetensi Guru
Keberhasilan guru seseorang bisa dilihat apabila kriteria-kriteria yang ada telah mencapai secara keseluruhan. Jika kriteria telah tercapai berari pekerjaan seseorang telah dianggap memiliki kualitas kerja yang baik.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pengertian kinerja bahwa kinerja guru adalah hasil kerja yang terlihat dari serangkaian kemampuan yang dimiliki oleh seorang yang berprofesi guru. Kemampuan yang harus dimiliki guru telah disebutkan dalam peraturan pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 28 ayat 3 yang berbunyi: Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini yang meliputi (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi professional, (4) kompentensi social
Adapun penjelasan dari ke empat dari kompetensi tersebut adalah:
a. Kompetensi Pedagogik
Menurut UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1, ayat 10, disebutkan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Kompetensi pedagogik adalah mengenai bagaimana kemampuan guru dalam mengajar, dalam Peraturan Pemerintah RI No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan kemampuan ini meliputi .kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi pedagogik ini berkaitan pada saat guru mengadakan proses belajar mengajar di kelas. Mulai dari membuat skenario pembelajaran memilih metode, media, juga alat evaluasi bagi anak didiknya. Karena bagaimanapun dalam proses belajar mengajar sebagian besar hasil belajar peserta didik ditentukan oleh peranan guru. Guru yang cerdas dan kreatif akan mampu menciptakan suasana belajar yang efektif dan efisien sehingga pembelajaran tidak berjalan sia-sia.
Syaiful Sagala (2009 : 32) berpandangan bahwa kompetensi pedagogik merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik meliputi (a) pemahaman wawasan guru akan landasan dan filsafat pendidikan, (b) guru memahami potensi dan keberagaman peserta didik, (c) guru mampu mengembangkan kurikulum/silabus baik dalam bentuk dokumen maupun implementasi dalam bentuk pengalaman belajar, (d) guru mampu menyusun rencana dan strategi pembelajaran berdasarkan stantar kompetensi dan kompetensi dasar, (e) mampu melaksanakan pembelajaran yang mendidik dengan suasana dialogis dan interaktif. (f) mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar dengan memenuhi prosedur dan standar yang diisyaratkan, dan (g) mampu mengembangkan bakat dan minat peserta didik melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Jadi kompetensi pedagogik ini berkatan dengan kemampuan guru dalam proses belajar mengajar yakni pesiapan mengajar yang mencakup merancang dan melaksanakan skenario pembelajaran, memilih metode, media, serta alat evaluasi bagi anak didik agar tervapai tujuan pendidikan baik pada ranah kognitif, efektif, maupun psikomotorik siswa.
b. Kompetensi Kepribadian
Berperan sebagai guru memerlukan kepribadian yang unik. Kepribadian guru ini meliputi kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Seorang guru harus mempunyai peran ganda. Peran tersebut diwujudkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Adakalanya guru harus berempati pada siswanya dan adakalanya guru harus bersikap kritis. Berempati maksudnya guru harus dengan sabar menghadapi keinginan siswanya juga harus melindungi dan melayani siswanya tetapi disisi lain guru juga harus bersikap tegas jika ada siswanya berbuat salah.
Menurut Moh. Uzer Usman (2001 : 16) kemampuan kepribadian guru meliputi hal-hal berikut:
1) Mengembangkan kepribadian
2) Berinteraksi dan berkomunikasi
3) Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan
4) Melaksanakan administrasi sekolah
5) Melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Dilihat dari aspek psikologi kompetensi kemampuan guru menurut Syaiful Sagala (2009 : 33 ) menunjukkan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian (a) mantap dan stabil, (b) dewasa dalam bertindak, (c) arif dan bijaksan,dan (d) berwibawa.
Dengan demikian kepribadian guru penting karena guru merupakan cerminan prilaku bagi siswa-siswanya, kemuliaan hati seorang guru diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga secara nyata dapat berbagi dengan anak didiknya.
c. Kompetensi Profesional
Guru adalah salah satu faktor penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu meningkatkan mutu pendidikan, berarti juga meningkatkan mutu guru. Guru yang bermutu niscaya mampu melaksanakan pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang efektif dan efisien.
Pekerjaan seorang guru adalah merupakan suatu profesi yang tidak biasa dilakukan oleh sembarang orang, karena guru yang professional diyakini mampu memotivasi siswa untuk mengoptimalkan potensinya dalam kerangka pencapaian standar pendidikan yang ditetapkan.
Kompetensi profesional menurut Martinis Yamin (2010 : 11 ) merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan methodologi keilmuan.
Profesi guru ini memiliki prinsip yang dijelaskan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005 sebagai berikut:
1) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealism
2) Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia
3) Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas
4) Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas
5) Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
6) Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai denga prestasi kerja
7) Memiliki kesempatan untuk mengembangan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan sepanjang hayat
8) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan
9) Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
d. Kompentensi Sosial
Guru dimata masyarakat dan siswa merupakan panutan yang perlu dicontoh dan merupakan suri teladan dalam kehidupannya sehari-hari. Guru perlu memiliki kemampuan sosial dengan masyarakat, dalam rangka pelaksanaan proses pembelajaran yang efektif. Dengan dimilikinya kemampuan tersebut, otomatis hubungan sekolah dengan masyarakat akan berjalan dengan lancar, sehingga jika ada keperluan dengan orang tua siswa, para guru tidak akan mendapat kesulitan.
Kompetensi sosial berkaitan dengan kemampuan diri dalam menghadapi orang lain. Dalam peraturan pemerintah RI No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan kompensasi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua peserta pendidikan, dan masyarakat sekitar.
Menurut Syaiful Sagala (2009 : 38) mengatakan bahwa kompetensi sosial terkait dengan kemampuan guru sebagai makhluk social dalam berinteraksi dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial guru berperilaku santuan, mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif dan menarik mempunyai rasa empati terhadap orang lain.
Kompetensi sosial seorang guru merupakan modal dasar guru yang bersangkutan dalam menjalankan tugas keguruan. Martinis Yamin (2010 : 12 ) kompetensi social guru meliputi :
1) Berkomunikasi lisan dan tulisan
2) Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional
3) Bergaul secara efektif dengan peserta didik sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan
4) Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kemampuan sosial sangat penting, karena manusia bukan makhluk individu, dan segala kegiatannya pasti dipengaruhi oleh pengaruh orang lain.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Fungsi kepala sekolah

9:21 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

a. Konsep dasar fungsi kepala sekolah
Fungsi merupakan karakteristik suatu tindakan yang harus dilakukan pada suatu pekerjaan. Menurut Sutaryadi (1993:6), konsep kepemimpinan dipandang sebagai seperangkat fungsi yang dibawah oleh pemimpin, bahwa tugas-tugas, iklim kelompok, dan kepuasan individu berhubungan dengan tujuan organisasi. Dari pandangan Sutaryadi ini tersurat tugas-tugas kepemimpinan yang pokok yaitu:
(1) menentukan sasaran organisasi, (2) menyiapkan fasilitas,
(3) mempengaruhi, (4) memotivasi, dan (6) menciptakan suasana kerja kondusif untuk tercapainya tujuan.
Kepala sekolah adalah pemimpin tertinggi disekolah. Pola kepemimpinannya akan sangat berpengaruh bahkan sangat menentukan terhadap kemajuan sekolah. Oleh karena itu, kepemimpinan kepala sekolah adalah cara atau usaha kepala sekolah dalam mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan guru, stap, siswa, orang tua siswa, dan pihak lain yang terkait, untuk bekerja atau berperan serta guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Atmodiwiro (2000:63) mengemukakan bahwa ada lima keterampilan administrasi dan dua belas kompetensi yang diperlukan untuk menjadi seorang kepala sekolah yang efektif untuk mencapai tujuan organisasi. Lima keterampilan yang dimaksud adalah:
(1) keterampilan teknis, 2) keterampilan hubungan manusia,
(3) keterampilan konsepsional, (4) keterampilan pendidikan dan pengajaran, dan (5) keterampilan kognitif. Sedangkan dua belas kompetensi yaitu: (1) komitmen terhadap misi sekolah dan keterampilan untuk menjadikan gambaran bagi sekolahnya, (2) orientasi kepemimpinan proaktif (3) ketegasan, (4) sensitif terhadap hubungan yang bersifat interpersonal dan organisasi, (5) mengumpulkan informasi, menganalisis pembentukan konsep, (6) fleksibilitas i ntelektual,
(7) persuasif dan manajemen interaksi, (8) kemampuan beradaptasi secara taktis, (9) motivasi dan perhatian terhadap pengembangan,
(10) manajemen kontrol, (11) kemampuan berorganisasi dan pendelegasian, dan (12) komunikasi.
Menurut Dirawat, dkk (1986:43) tugas dan tanggung jawab kepala sekolah digolongkan atas dua bidang yaitu: (1) tugas kepala sekolah dalam bidang administrasi dan (2) tugas kepala sekolah dalam bidang supervisi. Tugas kepala sekolah dalam bidang administrasi digolongkan dalam bidang manajemen yang berhubungan dengan pengelolaan pengajaran, kepegawaian, kesiswaan, gedung dan halaman, keuangan, dan pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat. Sedangkan tugas kepala sekolah dalam bidang supervisi bertugas memberi bimbingan, bantuan, pengawasan, dan penilaian pada masalah-masalah yang berhubungan dengan teknis penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan dan pengajaran yang berupa perbaikan program dan kegiatan pendidikan pengajaran untuk dapat menciptakan situasi belajar mengajar yang lebih baik.
Peningkatan prestasi kepala sekolah dapat tercipta jika tugas dan fungsi kepala sekolah dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Menurut Mulyasa (2005:98-120) Fungsi tersebut adalah: (1) edukator,
(2) manager, (3) administrator, (4) supervisor, (5) leader, (6) inovator, dan (7) motivator.
Menurut Lazarut (1992:21) kompetensi manajerial kepala sekolah pada dasarnya merupakan kemampuan kognitif, kemampuan afektif, dan kemampuan psikomotor. Kepala Sekolah mengelolah pendidikan melalui fungsi-fungsi manajemen dengan memamfaatkan semua sumber-sumber daya sekolah termasuk manusia dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan pendidikan.
b. Fungsi kepala sekolah sebagai manajer di sekolah.
Dari berbagai pandangan tentang fungsi-fungsi manajemen tidaklah terdapat perbedaan yang prinsip, semuanya memandang fungsi-fungsi manajemen sebagai suatu proses manajemen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fungsi manajemen dapat dikelompokkan atas perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan.
Fungsi manajemen diatas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Wahjosumijo (1999:94), bahwa proses manajemen disekolah mencakup proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan program, sumber daya manusia, sarana dan dana.
Kepala sekolah sebagai manajer di sekolah menyelenggarakan berbagai bidang diantaranya adalah :
1) Kurikulum atau pengajaran
Salah satu tugas utama kepala sekolah adalah melaksanakan perencanaan, mengkoordinasikan, sampai tahap evaluasi pada kegiatan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku. Dengan demikian pemahaman terhadap kurikulum sampai dengan strategi pelaksanaan sangat penting.
Tahap pelaksanaan kurikulum melalui empat tahap, yaitu:
(1) perencanaan (2) pengorganisasian dan koordinasi, (3) pelaksanaan, dan (4) pengendalian (Depdikbud, 1999).
2) Personalia
Dalam manajemen personalia, ada tiga aspek tugas kepala sekolah yaitu: (1) pengadaan tenaga, (2) pemamfaatan tenaga yang telah dimiliki, dan (3) pembinaan dan pengembangan. Ada dua tahap harus dilakukan kepala sekolah untuk pengadaan tenaga yaitu analisis pekerjaan, pengadaan tenaga, sedangkan yang berhubungan dengan pemamfaatan tenaga yaitu peningkatan propesionalisme, pembinaan karier, dan kesejahteraan, demikian pula pembinaan dan pengembangan personalia, kepala sekolah perlu mendayagunakan staf.
3) Kesiswaan
Semua kegiatan di sekolah pada akhirnya ditujukan untuk membantu siswa mengembangkan dirinya. Upaya itu akan optimal jika siswa itu sendiri secara aktif berupaya mengembangkan diri, sesuai dengan program-program yang dilakukan sekolah. Oleh karena itu peran kepala sekolah sangat penting untuk menciptakan kondisi agar siswa dapat mengembangkan diri secara optimal. Misalnya, penerimaan siswa baru, pembinaan siswa, dan pemantapan program kesiswaan.
4) Keuangan
Segala kegiatan yang dilakukan di sekolah perlu dana. Hal ini disebabkan pengelolaan pendidikan di sekolah dalam segala aktivitasnya perlu sarana dan prasarana untuk proses pengajaran, layanan, supervisi, penggajian, dan kesejahteraan guru, dan staf lainnya kesemuanya itu memerlukan dana ( Cambell, dalam Maisyaroh, 2003)
5) Sarana dan prasarana
Para pakar pendidikan sering kali menegaskan bahwa guru merupakan sumber daya manusia yang menentukan keberhasilan program pendidikan. Namun tidak berarti bahwa keberadaan unsur-unsur lain tidak begitu penting. Tujuan manajemen sarana dan prasarana di sekolah yaitu: (1) untuk mengupayakan pengadaan melalui sistim perencanaan agar sesuai dengan kebutuhan sekolah,
(2) mengupayakan pemakaian secara tepat dan efisien,
(3) mengupayakan pemeliharaan sehingga keberadaannya selalu dalam kondisi siap pakai.
6) Hubungan sekolah dengan masyarakat
Sekolah adalah bagian dari sistem sosial yang berperang dalam rangka mencetak kader bangsa yang diharapkan dapat meneruskan cita-cita pembangunan nasional. Dengan dasar itu maka hubungan sekolah dengan masyarakat harus dijalin dengan baik, karena mempunyai tujuan seperti yang dikemukakan oleh Wahjosumidjo (1995:334), tujuan pokok pengembangan hubungan efektif dengan masyarakat setempat adalah untuk memungkinkan orang tua dan warga wilayah berpartisipasi aktif dan penuh arti di dalam kegiatan. Pendekatan yang perlu diperhatikan oleh kepala sekolah dalam menjalin hubungan dengan masyarakat adalah persuasif. Atas dasar itu maka beberapa teknik yang dapat digunakan antara lain: (1) pertemuan dari hati kehati, kunjungan rumah, (2) laporan kemajuan belajar siswa kepada orang tua, (3) pertemuan kelompok, (4) tatap muka, (5) tukar menukar pengalaman, (6) diskusi bersama ( Husain, MS 2005).
Mintzberg (dalam Marzuzak, 2008) membagi tiga kemampuan kepala sekolah sebagai manajer di sekolahnya, yaitu: (1) impersonal, kepala sekolah sebagai figur, pemimpin, dan juru runding, (2) informational, kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai pemantau, penyebar dan perantara, (3) desisional, kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai wiraswastawan, pengalokasi sumber-sumber dan negosiator.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Konsep Manajemen

9:18 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel (dalam Siswanto, 2005:2) memberikan batasan manajemen sebagai berikut: manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan seluruh sumber daya organisasi lainnya demi tercapainya tujuan organisasi
Manajemen sebagai proses, oleh para ahli diberikan pengertian yang berbeda-beda. Menurut Daft (2002:8) manajemen adalah pencapaian sasaran-sasaran organisasi dengan cara efektif dan efisien melalui perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian sumber daya organisasi. The Liang Gie (dalam Mahtika, 2006:6) mengemukakan bahwa manajemen adalah segenap perbuatan menggerakkan sekolompok orang atau mengerahkan segala fasilitas dalam suatu kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka manajemen mempunyai tiga unsur pokok yaitu: (1) adanya tujuan yang ingin dicapai, (2) tujuan dapat dicapai dengan menggunakan kegiatan orang lain, dan (3) kegiatan-kegiatan orang lain itu harus dibimbing dan diawasi. Dengan demikian manajemen dapat dipastikan adanya maksud untuk mencapai tujuan tertentu dari kelompok atau organisasi yang bersangkutan. Sedangkan untuk mencapainya suatu perencanaan yang baik, pelaksanaan yang konsisten dan pengendalian yang kontinyu, dengan maksud agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan efisien dan efektif. Efisien dapat dikatan suatu kondisi atau keadaan, dimana penyelesaian suatu pekerjaan dilaksanakan dengan benar dan dengan penuh kemampuan yang dimiliki. Sedangkan efektivitas adalah suatu kondisi atau keadaan dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai menggunakan sarana ataupun peralatan yang tepat, disertai dengan kemampuan yang dimiliki, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan.
Manajemen sebagai seni berfungsi untuk mencapai tujuan yang nyata mendatangkan hasil atau manfaat, sedangkan manajemen sebagai ilmu berfungsi menerangkan fenomena-fenomena, kejadian-kejadian, keadaan-keadaan sebagai penjelasannya.
Menurut Mondy dan Premeaux (1993:5) bahwa “Manajemen adalah proses penyelesaian pekerjaan melalui usaha-usaha orang lain.” Berdasarkan definisi ini tampak bahwa proses manajemen akan terjadi apabila seorang melibatkan orang lain untuk menyelesaikan suatu pekerjaan karena fakta menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi, manajer tidak dapat melakukan sendiri tugas tersebut tanpa bantuan orang lain atau pegawai.
Menurut Hasibuan (2001:1) bahwa manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumberdaya-sumberdaya lainnya sebara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Wahjosumidjo (2001:93) mengemukakan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan mengendalikan usaha-anggota-anggota organisasi serta pendayagunaan seluruh sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen adalah seni, dan ilmu perencanaan dan pengorganisasian, penyusunan pegawai, pemberian perintah, dan pengawasan terhadap human and natural resources terutama human resources untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Kriteria yang dapat pula digambarkan sebagai strategi pokok manajemen adalah mencapai hasil dengan efisien, efektif, ekonomis dan bertanggung jawab dengan memanfaatkan manusia dan sumber daya manusia, biaya, alat, bahan, metode kerja, tempat dan waktu sehemat mungkin.
2. Konsep manajemen berbasis sekolah
a. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen bebasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”. Manajemen Bebasis Sekolah (MBS) merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas kapada tingkat satuan pendidikan (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola dan mangatur sumberdaya dan mengalokasikan dana sesuai dengan perioritas kebutuhan. Slameto (2002:2) mengemukakan bahwa manajemen berbasis sekolah berasal dari tiga kata yaitu: Manajemen, Berbasis, dan Sekolah. Manajemen adalah pengkordinasian, dan penyesuaian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam rangka desentaralisasi pendidikan, yang di tandai adanya kewenangan pengambilan keputusan yang lebih luas di tingkat sekolah, partispasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka kebijakan pendidikan Nasional.
Para pakar memberikan konsep MBS dari sudut pandang yang berbeda-beda akan tetapi maknanya tidak jauh bebeda mengacu pada peningkatan mutu. Malen, Ogawa, dan Kranz (dalam Duhao, 2002:16) mendefinisikan mengemukakan bahwa manajemen bebasis sekolah secara konseptual dapat di gambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentaralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting dengannya peningkatan dapat di dorong dan di topang.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa MBS merupakan salah satu bentuk desentaralisasi pendidikan yang di terapkan dimasing-masing sekolah sebagai pelaksana untuk mengembangkan diri sesuai dengan otoritas yang dimiliki. Lebih lanjut Candoli (dalam Duhaou, 2002:16) memberikan konsep bahwa suatu cara untuk memaksakan sekolah itu sendiri mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi pada anak menurut juridisnya dan mengikuti sekolahnya. Konsep ini menegaskan bahwa, ketika sekolah itu sendiri dibebani dengan pengembangan total program kependidikan yang bertujuan melayani kebutuhan-kebutuhan anak dalam mengikuti sekolah khusus itu, personil sekolah akan mengembangkan program-program yang telah meyakini karena mereka mengetahui para siswa dan kebutuhan mereka.
Pernyataan yang berbeda dengan konsep di atas, Slamet (2002:17) menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang di lakukan secara otomatis dan mandiri oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan Nasional, dengan melibatkan semua kelompok berkepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif.
BPPN dan Bank Dunia (dalam Mulyasa, 2002:11) membrikan konsep bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentaralisasi di bidang pendidikan, yang di tandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikn Nasional. MBS merupakan suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi peserta didik.
Dalam sistem MBS, semua kebijakan dan program sekolah di tetapkan olek Komite sekolah dan dewan Pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang di tetapkan berdasarkan musyawarah dari pada pejabat daerah setempat. Komisi pendidikan pada Dewan Perwakilan Rakiyat Daerah (DPRD), pejabat pendidikan Daerah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yang berlaku.
b.Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah adalah memberdayakan sekolah, tertutama sumberdaya manusianya (Slamet,2003:9). Pemberdayaan terjadi melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumberdaya untuk memecahkan masalah yang di hadapi oleh sekolah yang bersangkutan, Menurut slamet, cirri-ciri sekolah yang “berdaya” adalah: (1) tingkat kemandirian tinggi, (2) tingkat ketergantungan rendah, (3) bersifat adaptif dan antisipatif, (3) memiliki jiwa kewirausahaan tinggi, bertanggung jawab terhadap hasil sekolah, (4) memiliki kontrol yang kuat terhadap input sekolah.
Ada dua esensi penting Manajemen Berabasis Sekolah yaitu otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif (Depdiknas, 2001:15). Otonomi sekolah di artikan sebagai kewenangan atau kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak terlalu bergantung. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis, di mana warga sekolah dan seluruh stakeholder di dorong untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontrinbusi terhadap pencapaian tujuan.
Secara Spesifik Manajemen Berbasisi Sekolah bertujuan untuk: (1) mendorong peningkatan mutu sekolah karena fokus penekanannya pada tiga komponen yaitu input-output-proses,(2) meningkatkan partisipasi warga sekolah dalam proses pengambilan keputusan,
(3) meningkatkan akuntablitas sekolah terhadap masyarakat sebagai konsekuensi keterlibatan masyarakat dalam proses persekolahan. Durry dan Levin (1994) mengemukakan tujuan jangka pendek penerapan MBS, yaitu (1) meningkatkan efiseinsi penggunaan sumberdaya,
(2) meningkatkan profesionalisme guru, dan (3) mendorong implementasi pembaharuan kurikulum di sekolah.
c. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Fullan (dalam Muslim, 2003:13) mendefinisikan implementasi “as the actual use of an inofation consists of in practice”. Dari definisi tersebut dapat di pahami bahwa implementasi merupakan penggunaan atau praktek secara inofatif secara actual dan nyata. selanjutnya Fullan mengatakan bahwa implementasi merupakan suatu proses dalam rangka mempraktekkan sebuah ide, program, atau seperangkat aktifitas yang bersifat baru kepada orang lain dengan megharapkan adanya perubahan yang terjadi.
Lebih jauh Muslim (2003:13) mengemukakan bahwa implementasi ditinjau dari kenyataan yang subyektif adalah sebagai proses pelaksanaan suatu ide, gagasan, program atau kegiatan lain melalui usaha agar terjadi suatu perubahan.
Poerwardarminta (1996:327) menegemukakan bahwa implentasi adalah pelaksanaan suatu usaha-usaha yang akan di jalankan.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi Manajemen Berbasis Sekolah adalah upaya pelaksanaan program yang telah di tetapkan secara konseptual dalam meningkatkan mutu pendidikan dan tetap managcu pada tujuan pendidikan Nasional.
Upaya pelaksanaan program MBS secara efektif dan efisien, selain mamahami konsep implementasi dengan baik, harus juga di dukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dan profesional. Dana yang tersedia juga cukup memadai untuk manggaji staf sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, serta sarana dan prasarna yang di dukung oleh masyarakat.
Mulyasa (2002:34) mengemukakan konsep pelaksanaan manajemen berbasis sekolah diantaranya adalah pengelompokan sekolah yang di dasarkan pada kemampuan manajemen dengan mempertimbangkan kondisi lokasi dan kualitas sekolah.
Pertimbangan-pertimbangan yang harus di perhatikan dalam implementasi MBS antara lain yaitu : kategori sekolah yang sudah maju, sedang dan masih tertinggal.Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kemampuan sekolah dalam mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah lain. Keragaman kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing sekolah menuntut perlakuan yang berbeda dalam melaksanakan MBS.
Menurut Bellen, dkk (2000:21) ,mengemukakan konsep pelaksanaan MBS antara lain (1) meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam pengelolaan sumberdaya dan penysusunan program,
(2) memberikan wewenang kepada kepala sekolah untuk mengelola sumber daya dan mengatur rumah tangga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam batas-batas peraturan yang berlaku,
(3) mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk mendukung pendidikan di sekolah serta melakukan control terhadap sekolah, (4) mendorong pemanfatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan sekolah dengan memberikan anggaran dana blok grant yang di manfaatkan bersama dari sumber-sumber lain, (5) mendorong adanya transparansi dalam pengelolaan sekolah mulai dari perencanaan samapi pada evaluasi, (6) mendorong dan memanfaatkan kemampuan personil sekolah untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan yang dapat mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang efektif, kreatif dan menyenangkan serta terciptanya sekolah yang sayang anak.
d. Kepala sekolah sebagai manajer dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Berdasarkan pengertian manajemen yaitu proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan usaha-usaha anggota organisasi serta pendayagunaan seluruh sumber daya yang ada dalam rganisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Ada beberapa hal yang harus di perhatikan oleh yang berfungsi sebagai manajer dalam sebuah organisasi yaitu: proses, pendayagunaan, dan tujuan. Proses merupakan sesuatu yang sistematik dalam melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu (Wahjosumidjo: 2001:94).
Menurut Stoner (dalam Wahjosumidjo: 2001:96) adalah delapan macam fungsi manajer dalam suatu organisasi yaitu: (1) Kepala sekolah bekerja dengan dan melalui orang lain, (2) kepala sekolah bertanggung jawab dan memepertanggungjawabkan, (3) Kepala sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan dalam kondisi yang terbatas, (4) Kepala sekolah harus berpikir secara analitik dan konsepsional,
(5) Kepala sekolah sebagai juru penengah, (6) Kepala sekolah sebagai politisi, (7) Kepala sekolah adalah seorang diplomat, (8) Kepala sekolah berfungsi sebagai pengambil keputusan.
Untuk mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara efektif dan efisien kepala sekolah sebagai manajer perlu memiliki pengetahuan kepemimpianan, perencanaan, pandangan yang luas tentang sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus ditumbuh kembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan, dan hubungan manusiawi sebagai modal untuk menciptakan iklim yang kondusif. Lebih lanjut lagi kepala sekolah sebagai manajer di tuntut untuk melakukan fungsinya dalam proses belajar mengajar, denngan melakukan supervisi kelas, pembinaan dan memberikan saran positif kepada guru.
Dapat di simpulakn bahwa dalam implmentasi manajemen berbasisi sekolah merupakan kunci keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan sekolah. Karena dia di beri tanggung jawab untuk mengelola dan memberdayakan berbagai potensi masyarakat serta orang tua untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan sekolah. Oleh karena itu dalam implementasi manajemen berbasisi sekolah harus mempunyai visi,misi dan wawasan luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan professional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan, manajerial, dan supervisi pendidikan. Ia juga di tuntut untuk menjalin kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah.
3. Konsep kemampuan manajerial
Manajerial berasal dari kata manager yang berati pimpinan. Menurut Fattah (1999:13) menjelaskan bahwa praktek manajerial adalah kegiatan yang di lakukan oleh manajer. Selanjutnya Siagian (1996:63) mengemukakan bahwa “ Manajerial skill adalah keahlian menggerakan orang lain untuk bekerja dengan baik.”
Kemampuan manajerial sangat berkaitan erat dengan manajemen kepemimpinan yang efektif, karena sebenarnya manajemen pada hakekatnya adalah masalah interaksi antara manusia baik secara vertikal maupun horizontal oleh karena itu kepemimpinan dapat dikatakan sebagai perilaku memotivasi orang lain untuk bekerja kearah pencapaian tujuan tertentu. Kepemimpinan yang baik seharusnya dimiliki dan diterapkan oleh semua jenjang organisasi agar bawahanya dapat bekerja dengan baik dan memiliki semangat yang tinggi untuk kepentingan organisasi.
Menurut Mondy dan Premeaux (1993:5) bahwa “ Manajemen adalah proses penyelesaian pekerjaan melalui usaha-usaha orang lain.”Berdasarkan definisi ini Nampak bahwa proses manajemen akan terjadi apabila seseorang malibatkan orang lain untuk menacapi tujuan organisasi. Selanjutnya Gatewood, Tayler, dan Ferrel (1993:73) mengemukakan bahwa manajemen adalah “Serangkaian kegiatan yang di rancang untuk mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya secara efektif dan efisien.” Definisi ini tidak hanya menegaskan apa yang telah di kemukakan sebelumnya tentang pencapaian hasil pekerjaan melalui orang lain, tetapi menjelaskan tentang adanya ukuran atau standar yang menggambarkan tingkat keberhasilan seorang manajer yaitu efektif dan efisien.
Manajemen adalah “proses menyelesaikan aktivitas-aktivitas secara efisien dengan dan melalui orang lain” (Robbins, 1986:86). Sedangakam Hasibuan (2001:20) mengemukakan bahwa “Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya-sumberdaya lainnya secara efektif dan efisien untuk suatu tujuan tertentu.”
Pada umumnya manajemen adalah suatu kerjasama dengan dan melalui orang lain untuk mencapai tujuan yang telah di sepakati bersama dengan sistematis, efisiensi, dan efektif (Martoyo, 2002:12). Manajemen menurut Hasibuan (2001:42), adalah suatu proses yang khas yang terjadi tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang di lakukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lain. Stooner (1986:7) menyatakan bahwa proses mencakup perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan”. Sedangkan menurut Siagian (1996:12) mengemukakan bahwa fungsi-fungsi manajemen yang ada pada prinsipnya tidak bebeda dengan berbagai pendapat lain yaitu, planning, organaising, stepping, directing, coordinating, reporting, dan budgeting
Menurut Tilaar (1994:24) bahwa manajemen pada hakekatnya berekenaan dengan cara-cara pengelolaan suatu lembaga agar lembaga tersebut efisien dan efektif. Suatu lembaga di katakan efisien apabila infestasi yang di tanamkan dalam lemabaga tersebut sesuai atau memberikan profit sebagaimana yang di harapkan. Selanjutnya suatu lembaga di katakan efektif apabila pengelolaannya menggunakan prinsip yang tepat dan benar sehingga berbagai kegiatan di dalam lembaga tersebut dapat tercapai tujuan yang telah di rencanakan sebelumnya.
Dari bebagai pandangan tentang proses manajemen atau fungsi-fungsi manajemen yang di kemukakan di atas, tidak di temukan perbedaan yang prinsipil karena semuanya mengandung fungsi-fungsi manajemen sebagai suatu proses manajemen. Jadi dapat di simpulkan bahwa fungsi-fungsi manajemen meliputi perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian.
Dalam praktek manajemen, fungsi-fungsi pokok manajemen tersebut merupakan kegiatan yang saling terkait yang harus dilakukan oleh para manajer, agar dapat memanfaatkan seluruh sumber daya yang di miliki organsisasi tersebut baik sumberdaya manusia maupun bukan untuk dimanfaatkan secara efektif dan efisien dalam upaya untuk mencapai tujuan dengan produktivitas yang tinggi dan kepuasan individu yang terlibat dalam kegiatan manajemen.
Menurut Robbins (1996:50), kemampuan (ability) merujuk ke suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Yulk (1988) mengemukakan bahwa, kemampuan dapat di artikan keterampilan atau skill menuju kepada kemampuan dari seesorang untuk melalukan berbagai jenis kegiatan kognitif atau di perlukan dengan suatu cara yang efektif. Keterampilan menggerakkan orang lain inilah yang di sebut manajerial skill (Burhanudin, 1994). Demikian pula (Siagian, 1996:36) mengemukakan bahwa Manajerial skill adalah keahlian menggerakan orang lain untuk bekerja dengan baik.
Jadi dapat di simpulkan bahwa kemampuan manajerial adalah kemampuan untuk menggerakan orang lain dalam memanfaatkan sumber-sumber yang ada dalam mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif. Ukuran seberapa efisien dan efektifnya seorang manajer adalah seberapa baik dia menetapkan rencana dalam mencapai tujuan yang memadai, kemampuan memimpin secara efektif merupakan kunci keberhasilan organisasi.
Kepala sekolah sebagai manajer pada jalur pendidikan formal, di tuntut memiliki kemampuan dalam manajemen sekolah, agar mampu mencapai tujuan proses belajar mengajar secara keseluruhan.
Menurut Katz dan Payol (Robbins, 2003:7) bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas manajerial paling tidak di perlukan tiga macam bidang keterampilan, yakni:
1. Keterampilan tekhnis, yaitu kemampuan manusia untuk menggunakan prosedur, tekhnis, dan pengetahuan mengenai bidang khusus;
2. Keterampilan manusiawi, yaitu keterampilan untuk bekerja sama dengan orang lain, memahami, memotivasi, sebagai individu atau kelompok;
3. Keterampilam konseptual, yaitu kemampuan untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan semua kepentingan dan aktivitas organisasi.
Peranan kepala sekolah sebagai manajer, sangat memerlukan ketiga macam keterampilan di atas. Agar kepala sekolah dapat secara efektif melaksanakan fungsinya sebagai manajer maka harus memahami niali-nilai yang terkandung di dalam ketiga keterampilan di atas dan mampu mewujudkannya kedalam tindakan atau perilaku.
Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam ketiga keterampilan tersebut sebagai berikut:
1. Keterampilan teknis: (1) menguasai pengetahuan tentang metode. Proses, prosedur, dan tekhnik untuk melaksanakan kegiatan khusus dan (2) kemampuan untuk memanfaatkan serta mendayagunakan sarana, peralatan yang di perlukan dalam mendukung kegiatan yang bersifat khusus tersebut;
2. Keterampilan manusiawi: (1) kemampuan untuk memahami perilaku manusia dan proses kerja sama, (2) kemampuan untuk memahami isi hati, sikap, dan motif orang lain, mengapa mereka berkata dan berperilaku, (3) kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan efektif, (4) kemampuan menciptakan kerja sama yang efektif, kooperatif, praktis, dan diplomatis, (5) mampu berperilaku yang dapat di terima;
3. Keterampilan konseptual: (1) kemampuan berpikir rasional, (2) cakap dalam berbagai macam konsepsi, (4) mampu menganalisis berbagai kejadian serta mamapu memahami berbagai kecendrungan, (5) mampu mangantisipasi perintah, dan (6) mampu mengenali dan mamahami macam-macam masalah sosial.
Untuk mendukung terpenuhinya tututan manajerial skill sesuai dengan kedudukan pemimpin dalam suatu organisasi, maka setiap orang yang disebut pemimpin harus berusaha memiliki sikap kepemimpinan yang baik.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat di simpulkan bahwa kemampuan manjerial kepala sekolah adalah kapasitas yang di miliki oleh seorang kepala sekolah dalam mengelola organisasi dan sumber daya yang ada, guna mencapai tujuan organisasi yang mancakup:
(1) kemampuan merencanakan dengan indikator yaitu mampu menyusun dan menerapkan strategi, dan mampu mengefektifkan perancanaan,
(2) kemampuan mengorganisasikan dengan indikator mampu melakukan departementalisasi , membagi tanggung jawab dan mampu mengelola personil. (3) kemampuan dalam pelaksanaan dengan indikator yaitu mampu mengambil keputusan, dan mampu menjalin komunikasi,
(4) kemampuan mengadakan pengawasan indikator mampu mengelola, dan mampu mengendalikan operasional.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Manajemen Berbasis Sekolah

9:15 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

1. Pengertian Manajemen
The Liang Gie dalam (Mahtika, 2006:6) mengungkapkan bahwa manajemen adalah “segenap perbuatan menggerakkan sekelompok orang atau mengerahkan segala fasilitas dalam suatu kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu”.
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dalam (Siswanto, 2005:2) mengemukakan bahwa manajemen adalah “proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan seluruh sumber daya organisasi lainnya demi tercapainya tujuan organisasi”.Sedangkan pengertian manajemen menurut Daft (2002: 8) adalah “pencapaian sasaran-sasaran organisasi dengan cara efektif dan efesien melalui perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian sumber daya organisasi”.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam pengertian manajemen mempunyai tiga unsur pokok, yakni : (1) adanya tujuan yang akan dicapai, (2) tujuan tersebut dicapai dengan menggunakan kegiatan orang lain, dan (3) kegiatan orang lain tersebut perlu dibimbing dan diawasi. Dengan demikian manajemen adalah upaya pencapai tujuan tertentu dalam organisasi dengan pengenalian dan pendaya gunaan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya.

2. Fungsi Manajemen
Skinner, yang dikutip Anoraga (1997:24), menyatakan bahwa fungsi manajemen meliputi perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), pekekerjaan (Staffing), dan pengarahan (Directing). Sementara itu Flippo yang dikutif Nawawi (2000:78) menyatakan bahwa fungsi-fungsi manajemen terdiri dari perencanaan (planning), pengorganisasian (Organizing), pengarahan (Directing), dan pengendalian (Controlling).Dengan demikian perencanaan merupakan fungsi awal yang merupakan pedoman ke arah mana tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan perencanaan ini dapat dikurangi ketidakpastian, lebih mudahmengarahkan perhatian pada tujuan, dan lebih memudahkan dalam pengawasan.
Pengorganisasian menurut Ditjen Mandikdasmen dalam Buku Pembangunan Pendidikan SMP (2009: 40) “merupakan fungsi manajemen yang mengelompokkan orang- orang dan memberikan tugas, menjalankan tugas misi”. Karena terbatasnya kemampuan seseorang, perlu pembagian pekerjaan agar dapat diperoleh hasil yang optimal.
Adabeberapa hal yang perlu diperhatikan agar diperoleh bentuk struktur organisasi yang efesien (Ditjen Mandikdasmen 2009: 42) yaitu ”adanya spesialisasi dan pembagian pekerjaan, pendelegasian wewenang yang jelas, rentang kendali yang sesuai dengan kemampuan supervisi seseorang, proses pendelegasian dan pendelegasian unsur inti dan staf. Susunan kepegawaian (Staffing) merupakan fungsi manajemen untuk menyeleksi, menempatkan, melatih dan mengembangkan pegawai”.Adanya faktor manusia dalam suatu organisasi menjadikan organisasi tersebut menjadi dinamis. Adapun unsur manusia di dalam organisasi tersebut tidak dipilih dengan tepat dan melakukan tugas sesuai fungsinya, maka akan muncul banyak masalah dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu fungsi penyusunan sangatlah penting.
Manajemen atau pengelolaan merupakan sesuatu hal yang bersifat integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Alasannya tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif dan efesian. Konsep tersebut juga berlaku di sekolah yang memerlukan manajemen yang efektif dan efesien. Manajemen sekolah juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan minat peserta didik, guru, orang tua, dan masyarakat setempat. Untuk itu perlu dipahami fungsi pokok manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan. Yang dalam prakteknya kelima fungsi tersebut merupakan suatu proses yang berkesinambungan.

3. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based management”. Manajemen berbasis sekolah (Ditjen Mandikdasmen, 2009:37) pada hakekatnya adalah “penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untu memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”.
Sejalan dengan pengertian di atas, Slamet (2002:17) menyatakan bahwa :
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis dan mandiri oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok berkepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan secara partisifatif.

Sementara itu BPPN dan Bank Dunia dalam (Mulyasa, 2002:11) mengungkapkan bahwa :”manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisifasi masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional”.
Sementara itu menurut Ogawa dan White dalam (Rohiat, 2009:47) menjelaskan bahwa:
School Based Management (SBM) is one form of restructuring that has gained widespread attention. Like others, it seeks to change the way school system conduct business. It is aimed squarely at improving the academic performance of school by changing their organizational design. Drawing on the experiences of existing programs.

Dalam hal ini Ogawa dan White menjelaskan bahwa MBS merupakan suatu bentuk restrukturisasi yang sudah mencuri perhatian secara luas. MBS merubah cara sistem sekolah melaksanakan urusannya. Hal ini dimaksud untuk meningkatkan kinerja akademik sekolah dengan mengubah rancangan organisasi mereka. Hal ini tergambar dari rumusan-rumusan pada program yang ada.
Dari konsep pengertian MBS yang dikemukakan di atas, dapat ditegaskan bahwa sekolah dituntut secara mandiri dalam menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas mengendalikan dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Dengan adanya pengalihan kewenangan kepada sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakat.
Dengan demikian tujuan utama penerapan manajemen berbasis sekolah adalah untuk meningkatkan efesiensi pengelolaan serta mutu dan relevansi pendidikan di sekolah. Kerena dengan adanya wewenang atau otonomi yang lebih besar dan lebih luas lagi dalam mengelola urusannya maka efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan akan lebih tinggi karena sekolahlah yang lebih tahu tentang kebutuhan dan kondisinya. Jadi MBS adalah merupakan model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan mutu sekolah yang melibatkan semua warga sekolah.

4. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah “memberdayakan sekolah, terutama sumberdaya manusianya” (Slamet, 2003:9). Di samping itu Rohiat menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan “meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata pengelolaan sekolah yang baik, yaitu partisipasi, transparasi, dan akuntabilitas” (2009:132).
Pemberdayaan sumberdaya manusianya terjadi melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan upaya memecahkan masalah yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. Menurut Slamet, ciri sekolah yang berdaya adalah : (1) tingkat kemandirian yang tinggi, (2) tingkat ketergantungan rendah, (3) bersifat adaptif dan antisipatif, (4) memiliki jiwa kewiraswastaan yang tinggi, (5) bertanggung jawab terhadap hasil sekolah, dan (6) memiliki control yang kuat terhadap input sekolah.
Adapun esensi penting dari manajemen berbasis sekolah yaitu “otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif” (Depdiknas, 2001:15). Otonomi sekolah diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak terlalu bergantung kepada pihak lain. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis, di mana warga sekolah (stakeholder) didorong untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan.
Secara spesifik manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk : (1) mendorong peningkatan mutu sekolah karena fokus penekanannya pada tiga komponen yaitu input-proses-output atau out come, (2) meningkatkan partisipasi warga sekolah dalam proses pengambilan keputusan, (3) meningkatkan akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat sebagai konsekwensi keterlibatan masyarakat dalam proses persekolahan. Durry dan Levin (1994) mengemukakan tujuan jangka pendek penerapan MBS, yaitu : (1) meningkatkan efesiensi penggunaan sumberdaya, (2) meningkatkan profesionalisme guru, dan (3) mendorong implement tasi pembaharuan kurikulum di sekolah.
5. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1997) dalam Fullan, M., & Watson, N. (2000: 51) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993: 67) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) dalam Fullan, M., & Watson, N. (2000:56) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Israel bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”. Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) dalam Fullan, M., & Watson, N. (2000:57) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring dalam Caldwell, B. J. (2002:18), arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement”.
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) dalam Caldwell, B. J. (2002:18) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. Ia menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keter-libatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperan serta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang tepat antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS (Depdiknas. 2000: 32) yang efektif mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
a. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
b. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
d. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
e. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

6. Syarat Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan komite sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan komite sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.” (Depdiknas. 2000: 52).
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS (Ditjen Mandikdasmen, Depdiknas. 2009:19). Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut :
a. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
b. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
c. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
d. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
e. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para komitesekolah, guru dan orang tua murid.

7. Hambatan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS (Surya Dharma: 2005: 27) adalah karena : tidak berminat untuk terlibat, tidak efesien, pikiran kelompok, memerlukan pelatihan, kebingungan atas peran dan tanggungjawab baru, dan kesulitan koordinasi.
Keenam hambatan implentasi MBS tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota komite sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
b. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota komite sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
c. Pikiran Kelompok/kohesivitas
Setelah beberapa saat bersama, para anggota komite sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah komite sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
f. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

8. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Fullan (dalam Muslim, 2003:13) mendefinisikan implementasi “as the actual use of an innovation consists of in practice”. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa implementasi merupakan penggunaan atau praktek secara inovatif secara actual dan nyata, Selanjutnya Fullan mengatakan bahwa implementasi merupakan suatu proses dalam rangka mempraktekkan sebuah ide, program, atau seperangkat aktifitas yang bersifat baru kepada orang lain dengan mengharapkan adanya perubahan yang terjadi.
Lebih jauh Muslim (2003:13) mengemukakan bahwa implementasi ditinjau dari kenyataan yang subyektif adalah sebagai proses pelaksanaan suatu ide, gagasan, program atau kegiatan lain melalui usaha agar terjadi suatu perubahan.
Poerwadarminta (1996:327) menyatakan bahwa implementasi adalah pelaksaanaan suatu usaha-usaha yang akan dijalankan, Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi manajemen berbasis sekolah adalah upaya pelaksanaan program yang telah ditetapkan secara konseptual dalam meningkatkan mutu pendidikan dan tetap mengacu pada tujuan pendidikan nasional.
Upaya pelaksanaan program MBS secara efektif dan efesien, selain memahami konsep implementasi dengan baik, harus juga didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dan professional. Dana yang tersedia juga cukup memadai untuk memberikan insentif bagi staf sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, serta sarana dan prasarana yang didukung oleh masyarakat.
Mulyasa (2002:34) mengemukakan konsep pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah diantaranya adalah pengelompokan sekolah yang didasarkan pada kemampuan manajemen dengan mempertimbangkan kondisi lokasi dan kualitas sekolah,
Pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhatikan dalam implementasi MBS antara lain yaitu kategori sekolah yang sudah maju, sedang dan masih tertinggal. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kemampuan sekolah dalam mengimplementasikan MBS berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Keragaman kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing sekolah menuntut perlakuan yang berbeda dalam melaksanakan MBS.
Menurut Bellen, dkk, (2000:21) mengemukakan konsep pelaaksanaan MBS antara lain :
(1) meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam pengelolaan sumberdaya dan penyusunan program, (2) memberikan wewenang kepada Kepala Sekolah untu mengelola sumberdaya dan mengatur rumah tangga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam batas-batas peraturan yang berlaku, (3) mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk mendukung pendidikan di sekolah serta melakukan control terhadap sekolah, (4) mendorong pemanfaatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan sekolah dengan memberikan anggaran dana blokgrant (termasuk dana BOS) yang dimanfaatkan bersama dari sumber-sumber lain, (5) mendorong adanya transparansi dalam pengelolaan sekolah mulai dari perencanaan sampai pada evaluasi, (6) mendorong dan memanfaatkan kemampuan personil sekolah untuk meningkatkaan kreatifitas dan kemampuan yang dapat mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang efektif, kreatif dan menyenangkan serta terciptanya sekolah yang ramah siswa.


9. Peran Stakeholder dalam Implementasi MBS
Berdasarkan pengertian manajemen sebagaimana dikemukakan di bagian terdahulu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kepala sekolah yang berperan sebagai manajer dalam sebuah organisasi yaitu : proses, pendayagunaan dan tujuan. “Proses merupakan sesuatu yang sistematik dalam melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu” (Wahjosumidjo, 2001:94).
Menurut Stoner (dalam Wahjosumidjo, 2001:96) ada delapan fungsi manajer dalam suatu organisasi yaitu :
(1) Kepala Sekolah bekerja dengan dan melalui orang lain, (2) Kepala Sekolah bertanggung jawab dan mempertanggung-jawabkan, (3) Kepala sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan dan kondisi yang terbatas, (4) Kepala Sekolah harus berpikir secara analitis dan konsepsional, (5) Kepala sekolah sebagai juru penengah, (6) Kepala Sekolah sebagai politisi, (7) Kepala Sekolah adalah seorang diplomat, dan (8) Kepala Sekolah berfungsi sebagai pengambil keputusan.


Untuk mengimplementasikan MBS secara efektif dan efesien Kepala Sekolah sebagai manajer perlu memilki pengetahuan kepemimpinan, perencanaan, pandangan yang luas tentang sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus ditumbuhkembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan, dan hubungan manusiawi sebagai modal untuk menciptakan iklim yang kondusif. Lebih lanjut lagi kepala sekolah sebagai manajer dituntut untuk melakukan fungsinya dalam proses belajar mengajar, dengan melakukan supervisi kelas, pembinaan dan memberikan saran positif kepada guru. Berdasarkan ungkapan di atas dapat ditarik kesimpulan implementasi MBS merupakan kunci keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Kaarena tanggung jawab untuk mengelola dan memberdayakan berbagai potensi masyarakat serta orang tua untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan sekolah. Oleh karena itu dalam implementasi MBS harus memiliki visi, misi dan tujuan serta wawasan yang luas tentang sekolaah yang efektif serta kemampuan professional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan, manajerial, dan supervisi pendidikan. Ia juga dituntut untuk menjalin kerjasama yang harmonis dengan berbagai puhak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah.
Penerapan manajemen berbasis sekolah menjadikan sekolah lebih otonom, tidak lagi menjadi subordinat dari pemerintah maupun yayasan. Pendekatannya pun tidak birokratis lagi, melainkan profesional. Penyelenggara sekolah menjadi lebih leluasa dalam mengelola anggaran pendidikan di sekolah. Untuk membuat perimbangan bagi otonomi sekolah (kepala sekolah) tersebut, maka dikeluarkan keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 di atas.
Adanya keleluasaan gerak kepala sekolah dalam mengelola anggaran dan keputusan Mendikanas tersebut menyebabkan peranan komite sekolah menjadi besar dan memiliki posisi tawar yang tinggi. Sebab, semua keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan selalu memberdayakan semua pihak (stakeholder). Dengan begitu, masyarakat melalui komite sekolah berhak mengetahui berbagai kucuran dana yang mengalir ke sekolah, sehingga transparansi dan akuntabilitas dapat diwujudkan.
Di samping itu, keberadaan komitesekolah juga berfungsi sebagai watchdog bagi pelaksanaan pelayanan pendidikan di sekolah. Masyarakat, sebagai salah satu penyandang dana pendidikan untuk sekolah, dapat melakukan teguran melalui komite sekolah apabila pelayanan dari sekolah tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Dan masih banyak fungsi lainnya. Yang kesemuanya bisa disebut sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Motivasi Kerja

9:12 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

1. Pengertian Motivasi
Kata motivasi atau motivation berarti pemberian motif, penimbulan motif atau yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan doongan. Motivasi dapat pula berarti sebagi faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu. Robbins (1996:198) mendefinisikan motivasi sebagi kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi kearah tujuan-tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual. Sedangkan menurut Suwatno, dkk (2011:171) motivasi berarti pemberian motif, dimana seseorang melakukan suatu tindakan pada umumnya mempunyai suatu tindakan.
Menurut Wahjosumidjo (1984:50) motivasi dapat diartikan sebagai suatu proses psikologi yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri sesorang. Proses psikologi timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut intrinsic dan extrinsic.
Faktor di dalam diri seseorang bisa berupa kepribadian , sikap, pengalaman dan pendidikan, atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau ke masa depan sedang faktor dari luar diri dapat ditimbulkan oleh berbagi faktorfaktor lain yang sangat kompleks. Tetapi baik faktor ekstrinsik maupun factor instrinsik motivasi timbul karena adanya rangsangan. Tingkah laku bawahan dalam kehidupan organisasi pada dasarnya berorientasi pada tugas. artinya, bahwa tingkah laku bawahan biasanya didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan harus selalu diamati, diawasi, dan diarahkan dalam kerangka pelaksanaan tugas dalam mencapai tujuan organisasi.
Karakteristik individu yang berbeda jenis kebutuhan, sikap dan minat menimbulkan motivasi yang bervariasi, misalnya pegawai yang mempunyai motivasi untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya akan bekerja keras dengan resiko tinggi dibanding dengan pegawai yang mempunyai motivasi keselamatan, dan akan berbeda pada pegawai yang bermotivasi untuk memperoleh prestasi.
Setiap pekerjaan yang berbeda membutuhkan persyaratan keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi dan tipe-tipe penilaian yang berbeda pula. Perbedaan karakteristik yang melekat pada pekerjaan itu membutuhkan pengorganisasian dan penemapatan orang secara tepat sesuai dengan kesiapan masing-masing pegawai. Setiap organisasi juga mempunyai peraturan, kebijakan, sistem pemberian hadiah, dan misi yang berbeda-beda yang akan berpengaruh pada setiap pegawainya. Jadi untuk mendorong produktivitas kerja yang optimal maka pimpinan organisasi harus mempertimbangkan ketiga faktor tersebut dan pengaruhnya terhadap perilaku individu.
Motivasi seseorang dipengaruhi oleh stimuli kekuatan intrinsik yang ada pada diri seseorang/individu yang bersangkutan, stimuli eksternal mungkin juga dapat mempengaruhi motivasi, tetapi motivasi itu sendiri mencerminkan reaksi individu terhadap stimuli tersebut. Wahjosumidjo (1994:95) mengatakan: “Motivasi merupakan daya dorong sebagai hasil proses interaksi antara sikap kebutuhan, dan persepsi bawahan dari seseorang dengan lingkungan, motivasi timbul diakibatkan oleh faktor dari dalam dirinya sendiri disebut faktor intrinsik, dan faktor yang dari luar diri seseorang disebut faktor ekstrinsik.”
Selanjutnya faktor intrinsik dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman, pendidikan atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau masa depan. Seseorang sering melakukan tindakan untuk suatu hal dalam mencapai tujuan, maka motivasi merupakan penggerak yang mengarahkan pada tujuan, dan itu jarang muncul dengan sia-sia. Kata butuh, ingin, hasrat dan penggerak semua sama dengan motive yang asalnya dari kata motivasi.
Jadi dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan motivasi adalah daya penggerak seseorang untuk melakukan tindakan.
Dari beberapa pengertian dan penjelasan tentang motivasi dapat disimpulkan bahwa motivasi itu bersifat abstrak yaitu tidak terlihat secara kasat mata, sehingga hanya dapat diketahui melalui tingkah laku atau perbuatan seseorang. Timbulnya motivasi karena adanya dorongan untuk mencapai atau mewujudkan sasaran-sasran tertentu yang telah ditetapkan.
Motivasi harus memusatkan pada faktor-faktor yang menimbulkan atau mendorong aktivitasaktivitas para individu, faktor-faktor tersebut mencakup kebutuhan, motif-motif, dan drive-drive. Motivasi berorientasi pada proses dan berhubungan dengan pelaku, arah, tujuan, dan balas jasa perilaku yang diterima atas kinerja. Dapat juga disimpulkan “Motif dan motivasi dapat mendorong, menggerakkan aktivitas individu untuk berbuat, bekerja, mengerjakan sesuatu dalam suatu organisasi”.
2. Teori Motivasi
Ada banyak teori motivasi dan hasil riset yang berusaha menjelaskan tentang hubungan antara perilaku dan hasilnya. Teori-teori yang menyangkut motivasi antara lain: Teori Kebutuhan Maslow. Abraham Maslow adalah seorang psikologi klinik. Pada tahun 1954 Ia menyatakan bahwa manusia mempunyai pelbagai keperluan dan mencoba mendorong untuk bergerak memenuhi keperluan tersebut. Keperluan itu wujud dalam beberapa tahap kepentingan. Setiap manusia mempunyai keperluan untuk memenuhi kepuasan diri dan bergerak memenuhi keperluan tersebut. Lima hierarki keperluan/kebutuhan A. Maslow dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kebutuhan fisiologi (fisiological needs). Kebutuhan dasar untuk menunjang kehidupan manusia, yaitu: pangan, sandang , papan, dan seks. Apabila kebutuhan fisiologi ini belum terpenuhi secukupnya, maka kebutuhan lain tidak akan memotivasi manusia
b. Kebutuhan rasa aman (safety needs). Kebutuhan akan terbebaskannya dari bahaya fisik, rasa takut kehilangan pekerjaan dan materi.
c. Kebutuhan akan sosialisasi (social needs or affiliation). Sebagai makhluk social manusia membutuhkan pergaulan dengan sesamanya dan sebagai bagian dari kelompok.
d. Kebutuhan penghargaan (esteem needs). Kebutuhan merasa dirinya berharga dan dihargai oleh orang lain
e. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs), Kebutuhan untuk mengembangkan diri dan menjadi orang sesuai dengan yang dicitacitakannya. ( Sumber :Danang Sunyoto, 2011:28)

Gambar : 2.2
Hirarki Kebutuhan Maslow















Berdasarkan gambar diatas, Maslow dalam Suwatno ( 2011:178) bahwa orang dewasa secara normal memuaskan kira-kira 85% kebutuhan fisiologis, 70% kebutuhan rasa aman, 50 % kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, 40 % kebutuhan harga diri dan hanya 10 % dari kebutuhan aktualisasi diri.
Robbins (1989:168) menjelaskan bahwa Maslow memisahkan kelima kebutuhan sebagai order tinggi dan order-rendah, Kebutuhan fisiologi, kebutuhan keamanan dan kebutuhan social digambarkan sebagai kebutuhan order-rendah. Kebutuhan akan penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan order tinggi. Sedangkan pendekatan proses terdiri dari teori pengharapan, teori keadilan dan teori penetapan tujuan
Tabel 2.1
Teori-teori Motivasi

Dasar Pendekatan Teori
1. Cortent Approaches - Teori Hierarki kebutuhan Abrahan Maslow
- Teori ORG
- Teori dua faktor
- Teori Kebutuhan Mc Clelland
2. Process Aproaches - Teori pengharapan
- Teori Keadilan
- Teori penetapan tujuan

Pembedaan antara kedua order ini berdasarkan alasan bahwa kebutuhan order tinggi dipenuhi secara internal (di dalam diri orang itu), sedangkan kebutuhan order rendah terutama dipenuhi secara eksternal (dengan upah, kontrak serikat buruh, dan masa kerja, misalnya). Memang, kesimpulan yang wajar yang ditarik dari klasifikasi Maslow adalah dalam masa-masa kemakmuran ekonomi, hampir semua pekerja yang dipekerjakan secara permanen telah dipenuhi sebagian besar kebutuhan order rendahnya.
Kesimpulannya bahwa teori Maslow menganggap motivasi manusia berawal dari kebutuhan dasar dan kebutuhan keselamatan dalam kerja. Setelah hal itu tercapai barulah meningkat berusaha untuk mencapai tahap yang lebih tinggi.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Kepemimpinan Kepala Sekolah Efektif

9:10 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

1. Kepala Sekolah

Sekolah adalah lembaga yang bersifat komplek dan unik. Bersifat komplek karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang bersifat unik karena sekolah memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yang komplek dan unik tersebut, sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. “Keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah.”
Kata “kepala sekolah” tersusun dari dua kata yaitu “kepala” yang dapat diartikan ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga, dan “sekolah” yaitu sebuah lembaga di mana menjadi tempat menerima dan member pelajaran. Secara sederhana kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai seseorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadinya interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran.
Kepala sekolah dilukiskan sebagai orang yang memiliki harapan tinggi bagi para staf dan para siswa. “Kepala sekolah adalah mereka yang banyak mengetahui tugas-tugas mereka dan mereka yang menentukan irama bagi sekolah mereka.” Kepala Sekolah sebagai sosok pimpinan yang diharapkan dapat mewujudkan harapan bangsa. Oleh karena itu di perlukan seorang kepala sekolah yang mempunyai wawasan kedepan dan kemampuan yang memadai dalam menggerakkan organisasi sekolah.
Kepala sekolah sebagai seorang manajer pada hakikatnya adalah seorang perencana, organisator, pemimpin dan seorang pengendali. Keberadaan manajer pada suatu organisasi sangat diperlukan, sebab organisasi sebagai alat mencapai tujuan organisasi di mana di dalamnya berkembang berbagai macam pengetahuan, serta organisasi yang menjadi tempat untuk membina dan mengembangkan karir-karir sumber daya manusia, memerlukan manajer yang mampu untuk merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan agar organisasi dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Rumusan tersebut menunjukkan pentingnya peranan kepala sekolah dalam
menggerakkan kehidupan sekolah guna mecapai tujuan. Menurut Dadi Permadi (2009:24) sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan kepala sekolah juga mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Educator (guru)
b. Manager ( pengarah, penggerak sumber daya )
c. Administrator ( pengurus administrasi)
d. Supervisor ( pengawas, pengoreksi dan melakukan evaluasi)
2. Kepemimpinan

Makna kata “kepemimpinan” erat kaitannya dengan makna kata “memimpin”. Kata memimpin mengandung makna yaitu kemampuan untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu organisasi sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Menurut Wahjosumidjo (2008:83) dalam praktek organisasi, kata “memimpin” mengandung konotasi menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan teladan, memberikan dorongan, memberikan bantuan, dan sebagainya. Betapa banyak variabel arti yang terkandung dalam kata memimpin, memberikan indikasi betapa luas tugas dan peranan seorang pemimpin organisasi.
“Kepemimpinan” biasanya didefinisikan oleh para ahli menurut pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan. Kepemimpinan sebagai suatu sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerjasama antar peran, kedudukan dari suatu jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh.
Menurut Komang Ardana, dkk (2008:89) kepemimpinan adalah merupakan intisari dari manajemen organisasi, sumber daya pokok dan titik sentral dari setiap aktivitas yang terjadi dalam sautu organisasi. Kepemimpinan adalah suatu kekuatan penting dalam rangka pengelolaan, oleh sebab itu kemampuan memimpin secara efektif merupakan kunci untuk menjadi seorang manajer yang efektif. Selanjutnya, Chris Harijanto (2007:2) kepemimpinan merupakan konsekwensi logis dari perilaku dan budaya manusia yang secara kodrati terlahir sebagi zoon politicon yang memiliki ketergantungan sosial sangat tinggi dalam memenuhi berbagai kebutuhannya.
Selanjutnya menurut Ngalim Purwanto (2009:26) bahwa kepemimpinan diartikan sekumpulan dari rangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya denga rela, penuh semangat, ada kegembiraan bathin serta mera tidak terpaksa.
Seorang kepala sekolah, di samping harus mampu melaksanakan proses manajemen yang merujuk pada fungsi-fungsi manajemen, juga dituntut untuk memahami sekaligus menerapkan seluruh substansi kegiatan pendidikan.
Managers identify their own leadership styles, to understand how subordinates are affected by their leadership style, and to explore the use of alternative leadership styles consistent with employees’ needs. ( Fred C. Lunenburg 2008:11)

Manajer bertugas untuk mengidentifikasi gaya kepemimpinan mereka sendiri, untuk memahami bagaimana bawahan dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan mereka, dan untuk mengeksplorasi penggunaan alternatif kepemimpinan yang konsisten dengan kebutuhan karyawan.
Dikemukakan pula bahwa sebagai kepala administrasi, kepala sekolah bertugas untuk membangun manajemen sekolah serta bertanggungjawab dalam pelaksanaan keputusan manajemen dan kebijakan sekolah.
Ben. M. Harris ( 1998:34) menarik kesimpulan sebagai berikut :
The services associated with the management function are sometimes referred as auxiliary services. Like special pupil services, they tend to be noninstructional and of numerous kinds. Tax collecting, purchasing, accounting, printing,warehousing, equipment maintenance, and cleaning are but a few of the services for which a school and must either contract with private firms or provide specialized personnel.
Layanan yang berhubungan dengan fungsi manajemen kadang-kadang disebut sebagai layanan tambahan. Seperti halnya layanan murid khusus, mereka cenderung bukan bersifat pelajaran dan berbagai macam. Mengumpulkan pajak, pembelian, akuntansi, percetakan, pergudangan, peralatan pemeliharaan, dan pembersihan hanyalah beberapa layanan yang sekolah dan harus baik kontrak dengan perusahaan swasta atau menyediakan personil khusus. Seorang pemimpin harus memiliki keahlian manajerial dan memahami hal-hal yang sifatnya teknis agar memudahkan ia mengarahkan dan membina tenaga kependidikan di sekolah. Ia harus memiliki ketrampilan berkomunikasi dengan orang lain, memiliki kepiawaian berinteraksi, membangun relasi dan bersosialisasi, sehingga kepepmimpinannya berjalan efektif.
Menurut Sondang P. Siagian, dalam Hikmat ( 2009:254), ada empat gaya kepemimpinan :
a. Gaya kepemimpinan otokratis, dimana pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota kelompoknya.
b. Gaya militeristis, seorang pemimpin yang memiliki sifat intruksional, serba formlistik, disiplin dan tertutup bagi kritik.
c. Gaya paternalistis, seorang pemimpin yang selalu menyepelekan kemampuan anak buah, tertutup bagi pekembangan kaderisasi serta kreativitas anak buah tertekan.
d. Gaya atau Model Kontingensi Fielder, keberhasilan kepemimpinan dipe ngaruhi human relationship pemimpin dengan yang dipimpin, staffing dan organizing yang efektif dan profesional serta otoritas pemimpin yang kuas dan tegas.
Kepemimpinan bukanlah hak mutlak seseorang pejabat formal dalam sebuah organisasi, melainkan oleh kecakapannya dalam memimpin orang lain. Artinya, sangat mungkin seorang bawahan memiliki kecakapan kepemimpinan yang lebih baik daripada atasannya.
Menurut A. Wahab & Umiarso ( 2011:89) kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau bekerja sama (mengolabolarasi dan mengelaborasi potensinya) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Wahyudi (2009:120) kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggerakkan, mengarahkan, sekaligus mempengaruhi pola pikir, cara kerja setiap anggota agar bersikap mandiri dalam bekerja terutama dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan percepatan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Kepemimpinan bukanlah serangkaian kompetensi yang dibuat oleh seseorang, melainkan pendekatan atau cara kerja dengan manusia dalam suatu organisasi untuk menyelesaikan tugas bersama dan tanggung jawab bersama (Syaiful Sagala, 2008:125). Menurut Uhar Suharsaputra ( 2010:115) kepemimpinan seseorang berperan sebagi penggerak dalam prose kerja sama antarmanusia dalam organisasi yang dapat bergerak secara terarah dalam upaya pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Kemampuan seorang pemimpin dalam mepengaruhi pengikutnya meruapakn faktor dominan yang menentukan keberhasilan suatu organisasi, karena pemimpin memiliki peran sebagai koordinator, motivator dan katalis yang akan membawa organisasi pada puncak keberhasilan.
Dengan demikian kepemimpinan adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam mengelola orang lain sebagai bawahannya secara bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan. Bahkan kepemimpinan merupakan suatu seni atau teknik yang dimiliki pemimpin untuk membuat kelompok bawahan dalam organisasi untuk mentaati segala apa yang dikehendakinya yang membuat mereka bersemangat bahkan rela berkorban untuknya dalam mencapai suatu tujuan.
3. Kepemimpinan Kepala Sekolah
Kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang komplek dan unik serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah. Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah memiliki peran yang sangat besar. Kepala sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan menuju sekolah dan pendidikan secara luas.
Agar desentralisasi dan otonomi pendidikan dapat berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan yang dimaksud adalah peningkatan kemampuan secara fungsional, sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang dan tujuannya. Kepala Sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengelola agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal.
Kepemimpinan kepala sekolah merupakan kemampuan untuk menggerakkan tenaga kependidikan, sehingga tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk mewuudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Dalam mengarahkan visi dan misi pemimpin harus tnenetapkan tujuan ke arah kegiatan yang tepat dan memerintahkan untuk bergerak.
Kepala Sekolah adalah pemimpin pendidikan pada tingkat sekolah, sehingga ia juga harus menghindarkan diri dari wacana retorika dan perlu membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan kerja secara profesional serta menghindarkan diri dari aktivitas yang dapat menyebabkan pekerjaan yang ada disekolah menjadi sangat membosankan.
Kepala sekolah merupakan orang atau personil kependidikan yang memiliki peran besar dalam mencapai keberhasilan pengelolaan suatu sekolah, sedangkan guru berada posisi lain yang berperan besar dalam keberhasilan proses belajar mengajar di dalam kelas disamping peran siswa, karyawan sekolah dan juga orang tua siswa. Kualitas kepemimpinan kepala sekolah yang didalamnya terdapat juga kepribadian, ketrampilan dalam mengelola sekolah termasuk dalam menangani masalah yang timbul disekolah, gaya kepemimpinan serta kemampuan menjalin hubungan antar manusia sangat menentukan atau memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas proses belajar dan mengajar di sekolah.
Dalam hal ini keberhasilan kepala sekolah dalam memimpin sekolah akan tampak dari apa yang dikerjakannya. Hal ini penting untuk dikedepankan karena apa yang telah dikerjakan kepala sekolah melalui kebijakan yang telah ditetapkan akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis para guru, siswa dan karyawan sekolah. Guru akan dapat melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab apabila ia merasa puas terhadap kepemimpinan kepala sekolah. Oleh sebab itu seorang kepala sekolah dalam memimpin agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan baik ia juga harus memperhatikan secara kultural, baik bagi guru, siswa, karyawan sekolah, orang tua siswa serta lingkungan masyarakat.
Menurut Mulyasa, dalam Deni Koswara (2008:57) kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian, dan keperibadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat yang jujur, percaya diri, tanggung jawab, berani mengambil resiko dan keputusan, berjiwa besar, emoso yang stabil dan teladan.
Selanjutnya menurut Mulyono ( 2008:143) kepemipinan kepala sekolah merupakan ruh yang menjadi pusat sumber gerak organisasi untuk mencapai tujuan dalam meningkatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan secara efektif dengan para guru dalam situasi yang kondusif. Perilaku kepala sekolah harus dapat mendorong kinerja para guru dengan menunjukkan rasa bersahabat, dekat dan penuh pertimbangan terhadap para guru, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, seorang kepala sekolah pada hakikatnya adalah seorang perencana, organisator, pemimpin dan seorang pengendali. Keberadaan seorang kepala sekolah diperlukan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan diman di dalam organisasi yang di pimpinnya berkembang berbagai macam pengetahuan serta organisasi yang menjadi tempat untuk membina dan mengembangkan karir sumber daya manusia, hal tersebut dapat terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.1
Kepemimpinan Kepala Sekolah












Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dapat dilihat berdasarkan kriteria, mampu memberdayakan guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif. Kepala sekolah dapat menjelaskan tugas dan pekerjaannya sesuai waktu yang telah ditetapkan, mampu membangun hubungan yang harmonis dengan guru dan masyarakat dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah.

0 Komentar Tog Bhe Maseh: