Kaum Intelektual
Kaum IntelektualA. Pendahuluan
Sehubungan dengan profesi saya sebagai seorang guru dan sebagai kaum intelektual, maka tugas sebagai seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika. Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak. Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu peserta didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri.
Usaha membantu kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu peserta didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah kemajuan demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup. Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945.
Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal.
Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi peserta didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktik-praktik komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada peserta didik harus mampu membuat peserta didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat peserta didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena peserta didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbol-simbol dan tanda tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.
Jadi nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktik komunikasi. Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas profesional.
Sedangkan peran saya sebagai kaum intelektual dalam kehidupan adalah sebagai bagian dari kategori pembagian intelektual itu sendiri. Menurut Antonio Gramsci, seorang berkebangsaan Italia, membagi intelektual ke dalam dua kategori: pertama, intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator yang secara terus-menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Kedua, intelektual organik, yaitu kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar kekuasaan atau kontrol. Intelektual organik selalu aktif bergerak dan berbuat dalam masyarakat, mereka senantiasa berupaya mengubah pikiran dan memperluas pasar. Secara sederhana Gramsci ingin mengatakan bahwa intelektual organik berpihak pada kelasnya atau memilih dan merekonstruksi kelas yang menjadi obyek kepentingan politiknya.
Kata Sahibul Hikayat yang dimaksudkan dengan kaum intelektual adalah kaum yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama yang diutamakan, yang melihat tujuan akhir upaya manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. Pada akhir Perang Dunia II, ada yang menggugat: bila sampai di situ saja faal (perbuatan) kaum intelektual artinya penalarannya belum sampai pada suatu tanggungjawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya, terutama pada umat manusia. Kemudian orang menamai kaum intelektual hanya sebagai sport, tanpa keterlibatan diri dengan penalarannya sendiri sebagai: intelektual blanko (kosong), tetapi yang merupakan bagian integral dengan nasionnya sendiri, bagian bernalar nasionnya yang bukan hanya mendapatkan input dari nasionnya juga memberikan output padanya.
B. Pengertian Intelektual
Intelektual adalah kata yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang lebih dibanding masyarakat pada umumnya. Kelebihan yang dimaksud adalah lebih cerdas, lebih pintar dan lebih luas wawasannya dan kelebihan-kelebihan yang lain. Mungkin karena kelebihannya inilah sehingga orang yang meiliki sebutan intelektual dianggap sebagai orang yang berperan besar dalam suatu perubahan sejarah. Sedangkan kaum intelektual adalah kaum yang menempatkan nalar/pertimbangan akal sebagai kemampuan pertama yang diutamakan, yang melihat tujuan akhir upaya manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. Selain itu ada yang menyebut kaum intelektual dengan cendekiawan. Semua orang yang kegiatannya pada intinya bukanlah mengejar tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni atau ilmu atau renungan metafisik. Mereka menolak gairah politik dan komersialisasi". (J. Benda, Pengkhianatan Kaum Cendekiawan, 1997). Berikutnya menurut Edward W. Said memberi definisi intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan, dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi, dan pendapatnya kepada publik. Apa yang diungkapkannya kepada publik ditujukan untuk menggugah rasa kritis publik, sehingga mereka berani menghadapi ortodoksi dan dogma, baik yang religius maupun yang politik.
Dengan demikian peran saya sebagai kaum intelektual di daerah ini hanya sebagai pemberi masukan atau segala pertimbangan kemampuan dalam memahami berbagai kontek yang terjadi ataupun peristiwa yang bakal terjadi didaerah. Memang belum begitu besar pengaruhnya terhadap segala kebijakan dan keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak, mengingat kaum intelektual di daerah ini hanya sebagai bagian dari generasi muda yang juga merupakan warga negara yang memberikan rasa percaya pada masyarakat, bahwa merekalah yang menggantikan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini di kemudian hari. Sedangkan peran saya (mahasiswa) sebagai agent of changes tidak diragukan lagi, sebab di negara mana pun di dunia ini, mahasiswa tampil sebagai pionir pembaharuan dalam suatu negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, mahasiswa harus memiliki sikap dan perilaku yang positif. Mahasiswa harus memiliki sikap dan perilaku kreatif, kritis, kooperatif, dan etis. Sikap dan perilaku ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat di era global.
Kaum intelektual Indonesia dalam berlatih memperkuat keberanian intelektual dan keberanian moral juga dituntut untuk selalu membikin perhitungan dengan masa lalunya sebagai bangsa, belajar untuk menghadapi bangsa Barat bukan sebagai superior, tetapi sebagai lembaga yang dalam beberapa abad belakangan ini menerima piutang paksa dari Dunia Ketiga. Kaum intelektual Indonesia, sebagai manusia budaya Indonesia sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan keberanian moral terhadap Barat untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik dan berguna, teknologi dan sains.
C. Peduli Terhadap Lingkungan
Masalah kerusakan lingkungan hidup dan akibat-akibat yang ditimbulkan bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga kita. Dengan mudah dan sistematis kita dapat menunjuk dan mengetahui apa saja jenis kerusakan lingkungan hidup itu dan apa saja akibat yang ditimbulkanya. Misalnya; dengan cepat dan sistematis kita dapat mengerti bahwa eksploitasi alam dan penebangan hutan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih; membuang limbah industri ke sungai dapat menyebabkan kematian ikan dan merusak habitatnya; penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut dan masih banyak lagi daftar sebab akibat yang biasa terjadi dalam lingkungan hidup kita. Yang menjadi masalah adalah, bahwa pengetahuan yang sama atas pengenalan kerusakan lingkungan hidup dan akibat yang ditimbulkan tersebut tidak terjadi dalam pemeliharaan dan perawatan lingkungan hidup. Pertanyaanya sekarang adalah benarkah kita sudah tidak dapat berpikir secara logis dan sistematis lagi sehingga tindakan kita untuk mengeksploitasi lingkungan hidup hanya berhenti pada tahap pengeksploitasian semata tanpa diikuti proses selanjutnya yaitu tanggungjawab untuk merawat dan memelihara?
Lemahnya kesadaran kita terhadap lingkungan hidup juga terjadi karena adanya anggapan yang memandang bahwa pemanfaatan alam bagi manusia itu adalah hal yang “wajar”. Menebang pohon guna kebutuhan manusia adalah hal yang sangat lumrah, misalnya. Membuang sampah sembarangan di mana pun sepertinya adalah suatu hal yang juga wajar, belum ada aturan yang ketat untuk itu. Dengan kata lain, proses kerusakan lingkungan hidup dapat digambarkan seperti seorang pecandu rokok atau minuman keras. In common sense, seorang pecandu pastilah tahu bahwa rokok atau minuman keras dapat merusak tubuh dan kesehatan mereka. Namun, mereka toh tetap menikmatinya. Mungkin, mereka baru benar-benar akan sadar terhadap dampak negatif rokok atau minuman keras ketika telah mengalami sakit keras. Proses yang sama kiranya juga terjadi atas sikap kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Kita tahu bahwa menebang pohon seenaknya atau membuang sampah sembarangan adalah suatu hal yang jelas-jelas salah, tapi kita tokh tetap melakukannya berulang-ulang, sebab kita diuntungkan, tidak menjadi repot dan itu adalah hal yang sudah biasa dan mungkin kita menikmatinya. Barangkali kita baru akan benar-benar tersadar ketika terjadi bencana besar menimpa hidup kita atau sesama kita.
Jika saja memang terjadi bahwa ada banyak orang memiliki pengetahuan dan kesadaran yang begitu rendah dan lamban seperti yang telah kita gambarkan di atas, betapa akan lebih cepat kerusakan lingkungan hidup kita. Hal tersebut tentunya tidak boleh terjadi, sebab kita semua tidak dapat hidup jika tidak ada lingkungan hidup yang menopang dan menjamin kehidupan kita. Dalam kerangka yang lebih luas, kita tentunya tahu bahwa hanya ada satu bumi—tempat dimana kita hidup dan tinggal. Jika kerusakan lingkungan hidup berarti sama dengan kerusakan bumi, maka sama artinya dengan ancaman terhadap hidup dan tempat tinggal kita. Dengan kata lain, tugas untuk merawat dan memelihara lingkungan hidup, bumi serta segala isinya adalah tanggung jawab kita semua. Lingkungan hidup bumi serta segala isinya adalah “milik” kita. Kaum intelektual Indonesia dalam berlatih memperkuat keberanian intelektual dan keberanian moral juga dituntut untuk selalu membikin perhitungan dengan masa lalunya sebagai bangsa, belajar untuk menghadapi Barat bukan sebagai superior, tetapi sebagai lembaga yang dalam beberapa abad belakangan ini menerima piutang paksa dari Dunia Ketiga. Kaum intelektual Indonesia, sebagai manusia budaya Indonesia sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan keberanian moral terhadap Barat untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik dan berguna, teknologi dan sains, bukan sebagai hadiah kemanusiaan seperti halnya dengan Van Deventer dengan politik etiknya, tetapi semata-mata kerana dengan kebudayaan purbanya, dengan budaya sukunya yang kalah dan dikalahkan, dengan budaya Indonesia yang baru seumur jagung, terutama juga dengan budaya Barat.
Praktiknya, terus-menerus yang menjamin Iahirnya kedibyaan (genialitas) sehingga keintelektualan bukan tinggal jadi atribut sosial, tapi faaliah, fungsional, dan membikÃnnya patut jadi penalaran dan nurani nasion.
Akibat dari sikap yang diambil terhadap Barat membikin kaum intelektual Indonesia tidak bisa lain pada menata kembali dan mengorganisasi secara sedar perasaan pikirannya dalam membangun lebih lanjut budaya Indonesia dalam segala aspeknya justru di sini peran yang menentukan kaum intelektual Indonesia
D. Peran Kaum Intelektual dalam Pembangunan
Berbicara tentang intelektual, bahwa orang-orang yang berpengetahuan yang dalam dan berwawasan yang luas, sebaliknya orang yang kurang, diharapkan menjadi orang yang tangguh dalam akidah sebagai unsur agama yang paling esensial, ditegaskan dalam berriman diperlukan berbagai alasan, sekalipun berupa pembuktian global yang rasional. Peran intelektual dari realitas gerakan mahasiswa dalam meyampaikan aspirasinya yang sering berujung pada bentrokan diatas menunjukkan bahwa terjadinya sebuah pergeseran antara idenstitas mahasiswa sebagai masyarakat intelektual dengan kenyataan mahasiswa pada hari ini. Untuk itulah harus ada upaya untuk melakukan sebuah revitalisasi intelektual mahasiswa, maka setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain :
1. Rasional, Mahasiswa sebagai masyarakat intelektual maka sudah menjadi sebuah keharusan untuk memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni serta kemampuan berpikir yang cemerlang.
2. Analitis, dimana seorang mahasiswa mesti memiliki pisau bedah analisa yang tajam untuk membedah secara mendalam terhadap setiap persoalan yang ada.
3. Kritis, sebagai social of control maka sudah menjadi kemestian untuk memiliki kepekaan serta daya tanggap terhadap persoalan yang ada, dan tentunya bukan hanya sekedar untuk menghujat persoalan yang ada tapi tentunya harus ada tawaran sebagai solusi untuk keluar dari persoalan tersebut.
4. Universal, salah satu ciri khas Mahasiswa adalah bukan hanya memiliki kemampuan akademik namun lebih dari itu mesti kemampuan wawasan dan mampu berbicara dalam segala Aspek baik politik, ekonomi, sosial, hukum serta kemampuan untuk memahami persoalan-persoalan global karena kita tidak bisa dilepaskan dari percaturan politik global.
5. Sistematis, mahasiswa dalam berjuang maka bukan hanya modal semangat namun harus ditopang oleh sebuah kematangan konsep serta tahapan-tahapan gerakan secara sistematis.
Sikap etis dalam etika pergaulan baik akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari ditandai dengan sikap jujur, berpikir positif, bertatakrama, dan taat hukum. Sikap jujur ditandai dengan tidak melakukan plagiat, berani mengakui kesalahan dan menerima diri apa adanya, tidak ragu-ragu mengapresiasi orang lain, tidak melakukan pemalsuan (termasuk tanda tangan presensi kuliah, pembimbingan, dan urusan administrasi lainnya), membangun dan mengembangkan sikap saling percaya di antara sivitas akademika, serta mampu menyampaikan pendapat sesuai dengan fakta dan data.
Berpikir positif ditandai dengan adanya sikap adil dan objektif, tidak apriori terhadap orang atau kelompok lain, toleransi/apresiasi dapat menerima dan menghargai keragaman atau perbedaan, termasuk perbedaan pendapat, dan dapat bekerjasama dengan semua orang tanpa melihat perbedaan latar belakang suku, agama, ras, atau golongan. Sikap bertatakrama ditandai dengan bertutur kata santun yang tetap berpikir kritis, santun dalam berargumen, misalnya ditunjukkan dengan penggunaan istilah, salam, maaf, permisi, terima kasih, berpenampilan dan berperilaku sopan baik dalam tingkah laku maupun tatacara berpakaian bersih, rapi, dan atau menutup aurat bagi yang merasa perlu serta menghormati tradisi serta norma masyarakat lokal/setempat.
E.Kesimpulan :
Belajar untuk menghadapi bangsa barat bukan sebagai superior, tetapi sebagai lembaga yang dalam beberapa abad belakangan ini menerima pengalaman piutang paksa dari Dunia Ketiga. Kaum intelektual Indonesia, sebagai manusia budaya Indonesia sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan keberanian moral terhadap bangsa Barat untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik dan berguna, teknologi dan sains, bukan sebagai hadiah kemanusiaan seperti halnya dengan Van Deventer dengan politik etiknya, tetapi semata-mata kerana dengan kebudayaan purbanya, dengan budaya sukunya yang kalah dan dikalahkan, dengan budaya Indonesia yang baru seumur jagung, terutama juga dengan budaya Eropa.
Praktiknya, terus-menerus yang menjamin Iahirnya kebudayaan sehingga keintelektualan bukan tinggal jadi atribut sosial, fungsional, dan membuatnya patut jadi penalaran. Sebagai intelektual Indonesia, tempatnya adalah pertama-tama sebagai manusia Indonesia, sebagaimana budaya Indonesia. Manusia budaya Indonesia berada dalam jajaran Dunia Ketiga, sedang Dunia Ketiga ada kerana diperhadapkan dengan Barat. Kaum intelektual Indonesia yang terIepas dari hubungan dengan Dunia Ketiga dan terlepas dari perhadapannya dengan Barat sebagai produk sejarah akan kehilangan sebagian dari kemampuan penalarannya yang objektif, kerana mereka tanpa sedarnya akan terlepas dari ikatan sejarah, ikatan pengalamannya sendiri.
Moral lingkungan hidup membahas tindakan manusia yang berhubungan dengan tempat tinggalnya dan makhluk-makhluk non-manusia. Moral lingkungan hidup bukanlah cabang moral, seperti moral-medis dan moral bisnis, tetapi perluasan bidang moral. Moral lingkungan hidup memberikan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan biologis mengenai hubungan manusia dengan tempat tinggalnya dan makhluk ciptaan lainnya.
DAFTAR RUJUKAN
Sikap dan Peran Kaum Intelektual. Oleh: Asrinalaily. (http://asrinalaily.wordpress.com/2010/05/13/, akses tanggal 27 Mei 2010).
James Petras.Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dari judul asli "Role of the Intellectuals in social change," dalam http://www.rebelion.org, Oktober 15, 2005. akses tanggal 27 Mei 2010
Peran Intelektual dalam Pembangungan Oleh : KH. Abdul Syakur :http://syakuryasin.blogspot.com/2009/01/peran-intelektual-dalam-pembangunan_31 Januari 2009. akses tanggal 27 Mei 2010
http://dakwahkampus.com/artikel/pemikiran/860-revitalisasi-peran-intelektual-mahasiswa-menuju-perubahan-hakiki. akses tanggal 27 Mei 2010
http://gropesh.multiply.com/journal/item/6/Kajian_Etika_dan_Moral_Lingkungan_ Hidup. akses tanggal 27 Mei 2010
http://pakguru online.pendidikan.net./buku_tuapakguru_dasar_kpdd. akses tanggal 27 Mei 2010
http://nusantaracentre.wordpress.com/2009/02/11/peran-intelektual-bedah-pemikiran- edward-said/ akses tanggal 27 Mei 2010
By Uray Iskandar
0 Komentar Tog Bhe Maseh: