Kedisiplinan Guru

23.16 URAY ISKANDAR 0 Comments

The Liang Gie (1972) memberikan pengertian disiplin sebagai berikut Disiplin adalah suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang.
Sedangkan Good’s (1959) dalam Dictionary of Education mengartikan disiplin sebagai berikut
a. 1). Proses atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau kepentingan guna mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan yang lebih sangkil.
b. Mencari tindakan terpilih dengan ulet, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun menghadapi rintangan
c. Pengendalian perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau hadiah.
d. Pengekangan dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan menyakitkan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah ketaatan dan ketepatan pada suatu aturan yang dilakukan secara sadar tanpa adanya dorongan atau paksaan pihak lain atau suatu keadaan di mana sesuatu itu berada dalam tertib, teratur dan semestinya serta tiada suatu pelanggaran-pelanggaran baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tujuan disiplin menurut Arikunto, S. (1993) yaitu agar kegiatan sekolah dapat berlangsung secara efektif dalam suasana tenang, tentram dan setiap guru beserta karyawan dalam organisasi sekolah merasa puas karena terpenuhi kebutuhannya. Sedangkan Depdikbud (1992) menyatakan tujuan disiplin dibagi menjadi dua bagian yaitu :
(1). Tujuan Umum adalah agar terlaksananya kurikulum secara baik yang menunjang peningkatan mutu pendidikan (2). Tujuan khusus yaitu : (a). Agar Kepala Sekolah dapat menciptakan suasana kerja yang menggairahkan bagi seluruh peserta warga sekolah, (b). Agar guru dapat melaksanakan proses belajar mengajar seoptimal mungkin dengan semua sumber yang ada disekolah dan diluar sekolah (c). Agar tercipta kerjasama yang erat antara sekolah dengan orang tua dan sekolah dengan masyarakat untuk mengemban tugas pendidikan.
Kedisiplinan sangat perlu dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing siswa. Disiplin yang tinggi akan mampu membangun kinerja yang profesional sebab pemahaman disiplin yang baik guru mampu mencermati aturan-aturan dan langkah strategis dalam melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar. Kemampuan guru dalam memahami aturan dan melaksanakan aturan yang tepat, baik dalam hubungan dengan personalia lain di sekolah maupun dalam proses belajar mengajar di kelas sangat membantu upaya membelajarkan siswa ke arah yang lebih baik. Kedisiplinan bagi para guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Dengan demikian kedisiplinan seorang guru menjadi tuntutan yang sangat penting untuk dimiliki dalam upaya menunjang dan meningkatkan kinerja dan disisi lain akan memberikan tauladan bagi siswa bahwa disiplin sangat penting bagi siapapun apabila ingin sukses. Hal tersebut dipertegas Imron (1995) menyatakan bahwa disiplin kinerja guru adalah suatu keadaan tertib dan teratur yang dimiliki guru dalam bekerja di sekolah, tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap dirinya, teman sejawatnya dan terhadap sekolah secara keseluruhan.
Tiga model disiplin yang dapat dikembangkan yaitu :
(1). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep otoritarian. Bahwa guru dikatakan mempunyai disiplin tinggi manakala mau menurut saja terhadap perintah dan anjuran pejabat atau pembina tanpa banyak menyumbangkan pikiran-pikirannya. (2). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep permissive. Bahwa guru haruslah diberikan kebebasan seluas-luasnya di dalam kelas dan sekolah. Aturan-aturan di sekolah dilonggarkan dan tidak perlu mengikat kepada guru. (3). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep kebebasan yang terkendali yaitu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada guru untuk berbuat, tetapi konsekwensi dari perbuatan itu haruslah dapat dipertanggung jawabkan (Imron, 1995)
Penerapan model disiplin di atas, diikuti dengan teknik-teknik alternatif pembinaan disiplin guru yaitu : (1). Pembinaan dengan teknik external control yaitu pembinaan yang dikendalikan dari luar. (2). Pembinaan dengan teknik internal control yaitu diupayakan agar guru dapat mendisiplinkan dirinya sendiri. Guru disadarkan akan pentingnya disiplin. (3). Pembinaan dengan teknik cooperative control yaitu Pembinaan ini model ini, menuntut adanya saling kerjasama antara guru dengan orang yang membina dalam menegakkan disiplin.
Perilaku disiplin dalam kaitan dengan kinerja guru sangat erat hubungannya karena hanya dengan kedisiplinan yang tinggilah pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Untuk itu dalam upaya mencegah terjadinya indisipliner perlu ditindak lanjuti dengan meningkatkan kesejahteraan guru, memberi ancaman, teladan kepemimpinan, melakukan tindakan korektif, memelihara tata tertib, memajukan pendekatan positif terhadap disiplin, pencegahan dan pengendalian diri (Zahera Sy, 1998). Hal tersebut dipertegas oleh Nainggolan H. (1990) bahwa upaya-upaya untuk menegakkan disiplin antara lain: (1). Memajukan tindakan postif, (2). Pencegahan dan penguasaan diri, (3). Memelihara tata tertib.
Kedisiplinan yang baik ditunjukan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya akan memperlancar pekerjaan guru dan memberikan perubahan dalam kinerja guru ke arah yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Kondisi ini bukan saja berpengaruh pada pribadi guru itu sendiri dan tugasnya tetapi akan berimbas pada komponen lain sebagai suatu cerminan dan acuan dalam menjalankan tugas dengan baik dan menghasilkan hasil yang memuaskan.
7. Kesejahteraan
Faktor kesejahteraan menjadi salah satu yang berpengaruh terhadap kinerja guru di dalam meningkatkan kualitasnya sebab semakin sejahteranya seseorang makin tinggi kemungkinan untuk meningkatkan kerjanya. Mulyasa (2002) menegaskan bahwa terpenuhinya berbagai macam kebutuhan manusia, akan menimbulkan kepuasan dalam melaksanakan apapun tugasnya.
Menurut Supriadi (1999) bahwa tingkat kesejahteraan guru di Indonesia sangat memprihatinkan, hanya setara dengan kondisi guru di negara miskin di Afrika. Rendahnya tingkat kesejahteraan tersebut akan semakin tampak bila dibandingkan dengan kondisi guru di negara lain. Di negara maju, gaji guru umumnya lebih tinggi dari pegawai yang lain, sementara di Indonesia justru sebaliknya.
Profesionalitas guru tidak saja dilihat dari kemampuan guru dalam mengembangkan dan memberikan pembelajaran yang baik kepada peserta didik, tetapi juga harus dilihat oleh pemerintah dengan cara memberikan gaji yang pantas serta berkelayakan. Bila kebutuhan dan kesejahteraan para guru telah layak diberikan oleh pemerintah, maka tidak akan ada lagi guru yang membolos karena mencari tambahan diluar (Denny Suwarja, 2003). Hal itu tersebut dipertegas Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata gaji guru di negara ini belum menjamin kehidupan yang layak. Hampir semua guru bekerja di tempat lain sebagai sambilan disamping pekerjaannya sebagai guru tetap disuatu sekolah. Malah ada juga guru-guru yang melaksanakan pekerjaan sambilan lebih dari satu tempat bahkan ada yang bekerja sambilan tidak di bidang pendidikan. Hal ini bisa dimaklumi karena mereka ingin hidup layak bersama keluargannya.
Dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan yaitu: (1). Profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya. (2). Profesionalisme guru masih rendah (Adiningsih, 2002).
Journal PAT (2001) menjelaskan bahwa di Inggris dan Wales dalam meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Analisa tingkat institusi menyatakan bahwa hubungan antara kepuasan dan performan rasanya nyata, pendidik yang terpuaskan pada tingkat yang lebih tinggi memiliki performan pada tingkat yang lebih tinggi dari pendidik yang berada pada tingkat tidak terpuaskan. Hal tersebut dipertegas Arthur H. Braifiled and Walter H. Crockett (dalam Sutaryadi, 2001) yang menyatakan bahwa memang terdapat korelasi positif antara kepuasan kerja dengan performan kerja namun pada tingkat rendah.
Peningkatan kesejahteraan berkaitan erat dengan insentif yang diberikan pada guru. Insentif dibatasi sebagai imbalan organisasi pada motivasi individu, pekerja menerima insentif dari organisasi sebagai pengganti karena dia anggota yang produktif dengan kata lain insentif adalah upah atau hukuman yang diberikan sebagai pengganti kontribusi individu pada organisasi. Menurut Chester l. Barnard (dalam Sutaryadi, 2001) menyatakan bahwa insentif yang tidak memadai berarti mengubah tujuan organisasi.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa untuk memaksimalkan kinerja guru langkah strategis yang dilakukan pemerintah yaitu memberikan kesejahteraan yang layak sesuai volume kerja guru, selain itu memberikan insentif pendukung sebagai jaminan bagi pemenuhan kebutuhan hidup guru dan keluarganya. Program peningkatan mutu pendidikan apapun yang akan diterapkan pemerintah, jika kesejahteraan guru masih rendah maka besar kemungkinan program tersebut tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Jadi tidak heran kalau guru di negara maju memiliki kualitas tinggi dan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Adanya Jaminan kehidupan yang layak bagi guru dapat memotivasi untuk selalu bekerja dan meningkatkan kreativitas sehingga kinerja selalu meningkat tiap waktu.
8. Iklim Kerja
Sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai unsur yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Di dalam sekolah terdapat berbagai macam sistem sosial yang berkembang dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut pola dan tujuan tertentu yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya sehingga membentuk perilaku dari hasil hubungan individu dengan individu maupun dengan lingkungannya.
Menurut Davis, K & Newstrom J.W (1996) bahwa sekolah dapat dipandang dari dua pendekatan yaitu pendekatan statis yang merupakan wadah atau tempat orang berkumpul dalam satu struktur organisasi dan pendekatan dinamis merupakan hubungan kerjasama yang harmonis antara anggota untuk mencapai tujuan bersama.
Interaksi yang terjadi dalam sekolah merupakan indikasi adanya keterkaitan satu dengan lainnya guna memenuhi kebutuhan juga sebagai tuntutan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. Untuk terjalinnya interaksi-interaksi yang melahirkan hubungan yang harmonis dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk bekerja diperlukan iklim kerja yang baik.
Litwin dan Stringer (dalam Sergiovanni, 2001) mengemukakan bahwa Iklim mempengaruhi kinerja guru. Iklim sebagai pengaruh subyektif yang dapat dirasakan dari sistem formal, gaya informal pemimpin dan faktor-faktor lingkungan penting lainnya, yang menyangkut sikap/keyakinan dan kemampuan memotivasi orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut. Sedangkan menurut Henry A Marray dan Kurt Lewin (dalam Sutaryadi, 1990) mengatakan bahwa Iklim kerja adalah seperangkat karakteristik yang membedakan antara individu satu dengan individu lainnya yang dapat mempangaruhi perilaku individu itu sendiri, perilaku merupakan hasil dari hubungan antara individu dengan lingkungannya.
Iklim sekolah memegang peran penting sebab iklim itu menunjukkan suasana kehidupan pergaulan dan pergaulan di sekolah itu. Iklim itu mengambarkan kebudayaan, tradisi-tradisi, dan cara bertindak personalia yang ada di sekolah itu, khususnya kalangan guru-guru. Iklim ialah keseluruhan sikap guru-guru di sekolah terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan kepuasan mereka (Pidarta, 1999).
Jadi Iklim kerja adalah hubungan timbal balik antara faktor-faktor pribadi, sosial dan budaya yang mempengaruhi sikap individu dan kelompok dalam lingkungan sekolah yang tercermin dari suasana hubungan kerjasama yang harmonis dan kondusif antara Kepala Sekolah dengan guru, antara guru dengan guru yang lain, antara guru dengan pegawai sekolah dan keseluruhan komponen itu harus menciptakan hubungan dengan peserta didik sehingga tujuan pendidikan dan pengajaran tercapai.
Iklim negatif menampakkan diri dalam bentuk-bentuk pergaulan yang kompetitif, kontradiktif, iri hati, beroposisi, masa bodoh, individualistis, egois. Iklim negatif dapat menurunkan produktivitas kerja guru. Iklim positif menunjukkan hubungan yang akrab satu dengan lain dalam banyak hal terjadi kegotong royongan di antara mereka, segala persoalan yang ditimbul diselesaikan secara bersama-sama melalui musyawarah. Iklim positif menampakkan aktivitas-aktivitas berjalan dengan harmonis dan dalam suasana yang damai, teduh yang memberikan rasa tenteram, nyaman kepada personalia pada umumnya dan guru khususnya.
Terciptanya iklim positif di sekolah bila terjalinnya hubungan yang baik dan harmonis antara Kepala Sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan pegawai tata usaha, dan peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Owens (1991) bahwa faktor-faktor penentu iklim organisasi sekolah terdiri dari (1). Ekologi yaitu lingkungan fisik seperti gedung, bangku, kursi, alat elektronik, dan lain-lain, (2). Milieu yakni hubungan sosial, (3). Sistem sosial yakni ketatausahan, perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi, (4). Budaya yakni nilai-nilai, kepercayaan, norma dan cara berpikir orang-orang dalam organisasi.
Sedangkan Menurut Steers (1975) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi iklim kerjasama di sekolah adalah :
(1). Struktur tugas, (2). Imbalan dan hukuman yang diberikan, (3). Sentralisasi keputusan, (4). Tekanan pada prestasi, (5). Tekanan pada latihan dan pengembangan, (6). Keamanan dan resiko pelaksanaan tugas, (7). Keterbukaan dan Ketertutupan individu, (8). Status dalam organisasi, (9). Pengakuan dan umpan balik, (10). Kompetensi dan fleksibilitas dalam hubungan pencapaian tujuan organisasi secara fleksibel dan kreatif.
Terbentuknya iklim yang kondusif pada tempat kerja dapat menjadi faktor penunjang bagi peningkatan kinerja sebab kenyamanan dalam bekerja membuat guru berpikir dengan tenang dan terkosentrasi hanya pada tugas yang sedang dilaksanakan.

You Might Also Like

0 Komentar Tog Bhe Maseh: