Filsafat dan ilmu pengetahuan
Apakah hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan? Oleh Louis Kattsoff dikatakan: Bahasa yang pakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi. Hanya saja bahasa yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk berbicara mengenai ilmu pengetahuan, dan bukanya di dalam ilmu pengetahuan. Namun, apa yang harus dikatakan oleh seorang ilmuwan mungkin penting pula bagi seorang filsuf. Filsafat dalam usahanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok yang kita ajukan harus memperhatikan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam usahanya menemukan rahasia alam kodrat haruslah mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai alam kodrat tersebut.Filsafat mempersoalkan istilah-istilah terpokok dari ilmu pengetahuan dengan suatu cara yang berada di luar tujuan dan metode ilmu pengetahuan. Dalam hubungan ini Harold H. Titus menerangkan: Ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi yang faktual dan deskriptif, yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat.
Filsafat adalah ilmu yang mencintai dan mencari kebijaksanaan. Definisi real:Filsafat adalah pengetahuan mengenai semua hal melalui sebab-sebab terakhir yang didapat melalui penalaran atau akal budi. Ia mencari dan menjelaskan hakekat dari segala sesuatu.
Ilmu pengetahuan: Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, koheren tentang suatu bidang tertentu atas realitas/ kenyataan. Ia membantu manusia dalam mengorientasikan dirinya dalam dunia
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah. Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri (1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan
Dasar-Dasar Filsafat Ilmu
Menurut Suriasumantri (1996), paling tidak ada empat hal yang berkaitan dengan kajian tentang dasar-dasar filsafat ilmu, antara lain: penalaran, logika, sumber pengetahuan; dan kriteria kebenaran. Berikut ini akan dijelaskan hal tersebut :
Penalaran
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir (homo thinking), makhluk yang mampu membangun atau mengembangkan potensi rasa dan karsa (emosional quition); dan makhluk yang mampu membangun kualitas kedekatan pata Tuhan (spiritual quation) (Muthahhari, M.. 1997; Tafsir, A. 2007). Jadi, manusia adalah makhluk ‘multi dimensional’, dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itulah yang menjadi senjata pamungkas bagi manusia dalam mengusai atau memberdayakan alam seisinya. Kemampuan multidimensi tersebut, menyebabkan manusia mampu mengembangkan beragam ilmu pengetahuan atau kebudayaan yang kompleks menuju keunggulan hidup (civilization).
Logika
Logika dedukif, merupakan kegiatan berpikir dengan kerangka pikir dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kearah kesimpulan yang lebih bersifat khusus, atau penarikan kesimpulan dari dalil atau hukum menuju contoh-contoh. Penarikan kesimpulan dari logika formal biasanya menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme secara umum disusun dari dua buah hal, yaitu: (a) term atau pernyataan, berupa pernyataan pertama yang menjadi subjek (S) dan pernyataan kedua menjadi predikat (P); dan (b) sebuah kesimpulan (K). Contoh: (a) – Semua binatang karnifora adalah pemakan daging (premis mayor) (S); – Harimau adalah binatang karnifora (premis minor) (P); – Jadi, Harimau binatang pemakan daging (kesimpulan) (K); (b) – Semua manusia adalah makhluk yang mengenal kematian (premis mayor) (S); – Sementara makhluk rasional adalah manusia (premis minor) (P); Jadi, sementara makhluk rasional adalah makhluk yang mengenal mati (kesimpulan) (K). Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa menyusun silogisme itu harus memuat tiga hal, yaitu: term atau pernyataan pertama sebagai subjek (S); pernyataan (term) kedua sebagai predikat (P) dan ketiga adalah kesimpulan (K). Pada hakikatnya kedua pandangan tersebut adalah sama, baik yang mengatakan silogisme itu terdiri dari dua atau tiga unsur. Uraian tentang silogisme dan beragam macamnya telah dijelaskan
Sumber pengetahuan
Perlu dipahami bahwa, manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok. Salah satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia dewasa ini adalah kebutuhan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena tidak ada aspek atau bagian dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tidak bersentuhan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih di era modern atau post medern dewasa ini. Suatu masyarakat atau bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi akan mampu menguasai berbagai aspek kehidupan dan mampu mempengaruhi bangsa lain yang tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria kebenaran
Benar dan salah lebih menekankan pada ‘benar dan salah dalam perspektif logika’, artinya lebih menekankan pada struktur logik, atau struktur penalaran yang logis, atau struktur bahasa yang digunakan dalam penalaran logis. Makna kebenaran lebih menekankan pada aspek filosofis atau pandangan (isme) atau sudut pandang teoritik. Jadi, makna kebenaran adalah kebenaran dalam perspektif logika, sedangkan makna kebenaran dalam hal ini perspektif filsafat ilmu (teoritik).
Metoda Filsafat
Kata metoda berasal dari kata meta yang artinya menuju, melalui, sesudah, mengikuti; dan kata hodos yang artinya cara, jalan, dan arah. Metoda sering diartikan sebagai jalan berpikir, dalam bidang penelitian untuk memperoleh pengetahuan. Dalam bidang filsafat, ada berbagai macam metode antara lain:
1. Metode Kritis, yaitu dengan menganalisis istilah atau pendapat, dilakukan dengan jalan bertanya secara terus menerus sampai akhirnya ditemukan hakikat dari yang ditanyakan. Tokohnya: Socrates dan Plato.
2. Metode Intuitif, yaitu dengan melakukan introspeksi intuitif dan dengan memakai simbol-simbol. Tokohnya, Henry Bergson.
3. Metode Analisis Abstraksi, yaitu dengan jalan memisah-misahkan atau menganalisis dalam abstraksi atau angan-angan sampai akhirnya ditemukan hakikatnya. Aristoteles mengajarkan bahwa setiap benda terdiri dari sepuluh macam kategori. Untuk sampai pada pengertian hakikat suatu benda, maka kita harus menghilangkan hal-hal yang sifatnya kebetulan atau menempel yang disebutnya aksidensia.
Ilmu Pengetahuan dan Kebenaran
Manusia dalam kehidupannya selalu mencari kebenaran itu adalah suatu kenyataan. Sebagaimana disebutkan di muka bahwa kebenaran itu selalu berubah, sesuatu pada suatu saat dikatakan benar, di waktu yang lain dianggap tidak benar. Sebagai contoh misalnya beberapa tahun yang lalu seorang ibu yang memberi makanan tambahan di samping ASI pada bayinya yang berumur empat bulan adalah benar. Akan tetapi saat itu tindakan ibu tersebut dianggap tidak benar, seorang bayi boleh diberi makanan tambahan setelah ia berumur enam bulan. Mengapa perbedaan pendapat ini bisa terjadi? Ini semua karena manusia selalu mengembangkan ilmu pengetahuannya dengan melakukan penelitian-penelitian untuk mencari kebenaran. Hasil penelitian mengenai makanan tambahan bagi bayi membuktikan bahwa bayi-bayi sekarang lebih sering terserang penyakit dibandingkan dengan bayi pada beberapa tahun yang lalu , dan berdasarkan penelitian diketahui (didapatkan evidensi) bahwa makanan bayi sekarang banyak mngandung zat kimia yang mengganggu kesehatan sehingga bayi kehilangan kekebalan.
Manusia dengan transendennya dapat mengatasi struktur alam jasmani, dengan budinya dapat mengembangkan ilmu pengetahuannya. Manusia dengan ilmu pengetahuannya mencari bukti-bukti sebagai evidensi untuk mendapatkan kebenaran. Hanya dengan ilmu pengetahuanlah manusia mendapatkan kebenaran, namun karena sifat tidak puas yang ada pada manusia, maka manusia selalu mencari kebenaran.
Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi, sedangkan proses pembuktian secara empiris (pengalaman nyata sehari-hari) dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran korespondensi.
1. Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey. Suatu pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah ‘bila proposisi itu mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri’, maka menurut teori ini, tidak ada kebenaran mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan tergantung serta dapat dikoreksi oleh pengamalan-pengalaman baru berikutnya. Kebenaran pragmatis sangat tergantung oleh kondisi tempat dan waktunya (space and time), oleh karena itu menurut teori kebenaran pragmatis adalah ‘hakikat kebenaran itu bersifat relatif atau nisbi’. Jadi, Kebenaran pragmatis, yaitu kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional (berguna) bagi kehidupan praktis atau kehidupan sehari-hari dalam suatu kehidupan kelompok.
2. Teori Kebenaran Sintaksis. Teori ini berkembang diantara para filosof analisa bahasa, seperti Friederich Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’ atau ‘suatu proposisi apabila tidak mengikuti syarat dari hal yang disyaratkan dalam menyusun proposisi yang benar maka proposisi itu tidak mempunyai arti atau dianggap tidak benar’.
3. Teori kebenaran Semantis. Menurut teori kebenaran semantik (semantis), suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya pengacu (referent) yang jelas?. Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat definitif.
4. Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari).
5. Teori Kebenaran Logik, yang berlebihan (Logical superfluity Theory of truth). Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa—pernyataan—yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya
Uraian di atas menunjukkan tentang ‘makna kebenaran’ menurut sudut pandang ‘teori-teori kebenaran’. Jadi, suatu pernyataan atau proposisi itu dianggap benar, antara teori satu dengan teori lain mempunyai kriteria yang tidak sama. Demikian juga makna ‘hakikat kebenaran’ dari segala sesuatu dalam hidup ini menurut ‘aliran’aliran filsafat’ mempunyai makna yang beragam. Misalnya: (a) hakikat makna kebenaran terhadap segala sesuatu menurut aliran positivisme akan berbeda sekali apabila dibandingkan dengan menurut aliran idealisme; dan (b) hakikat makna kebenaran terhadap segala sesuatu menurut aliran materialisme akan berbeda sekali jika dibandingkan dengan menurut aliran teologisme, dan sebagainya (lihat kembali pembahasan di bab pertama).
0 Komentar Tog Bhe Maseh: