Kepuasan Kerja

10:08 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

Guru menjadi pelaku yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan,
mempunyai pikiran, perasaan dan keinginan yang dapat mempengaruhi sikapsikap
terhadap pekerjaanya. Sikap ini akan menentukan kinerja guru, dedikasi,
dan kecintaan terhadap pekerjaan yang dibebankan di pundaknya. Sikap yang
positif harus dibina, sedang yang negatif harus dihilangkan sedini mungkin. Sikap
guru itu seperti kepuasan kerja, stress dan frustasi yang ditimbulkan adanya
pekerjaan, pearalatan, lingkungan, iklim organisasi dan sebagainya.
Kepuasan Kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang
menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka.1 Ada perbedaan yang penting
antara perasaan ini dengan unsur lainnya dari sikap pegawai. Kepuasan kerja
adalah perasaan senang atau tidak senang yang relatif yang berbeda dari
pemikiran obyektif dan keinginan perilaku. Malayu SP. Hasibuan mendefinisikan
kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai
pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi
kerja. Kepuasan kerja adalah perasaan senang atau tidak senang yang relatif
yang berbeda dari pemikiran obyektif dan keinginan perilaku.

Kepuasan Kerja adalah sikap umum pekerja yang menilai perbedaan
antara jumlah imbalan yang diterima dengan yang diyakininya seharusnya
diterima.2 Sedang menurut Schermerhorn Hunt dan Osborn bahwa kepuasan
kerja adalah tingkat dimana seseorang merasa positif atau negatif tentang
berbagai segi dari pekerjaan, tempat kerja dan hubungannya dengan teman
kerja.3 Kepuasan adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi
pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja akan muncul saat harapanharapan
ini tidak dipenuhi. Sebagai contoh, jika seorang tenaga kerja
mengharapkan kondisi kerja yang aman dan bersih, maka tenaga kerja mungkin
bisa menjadi tidak puas jika tempat kerja tidak aman dan kotor.4
Berdasarkan atas beberapa pendapat ahli tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepuasan kerja adalah refleksi
perasaan seseorang yang menyenangkan mengenai pekerjaan berdasarkan atas
harapan dengan imbalan yang diberikan oleh organisasi,
Kepuasan kerja guru ditunjukkan oleh sikapnya dalam bekerja/mengajar.

Jika guru puas akan keadaan yang mempengaruhi dia maka dia akan bekerja
dengan baik/mengajar dengan baik. Tetapi jika guru kurang puas maka dia akan
mengajar sesuai kehendaknya.
Arni Muhammad menyebutkan ada dua hal yang mungkin menyebabkan
orang tidak puas dengan pekerjaannya. Hal pertama, apabila orang tersebut tidak
mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjannya. Yang
kedua, apabila hubungan sesama teman sekerja kurang baik. Atau dengan kata
lain ketidakpuasan kerja ini berhubungan dengan masalah komunikasi.

Malayu SP. Hasibuan menyebutkan bahwa kepuasan kerja karyawan dipengaruhi
faktor-faktor berikut :1). balas jasa yang adil dan layak; 2) penempatan yang tepat
sesuai dengan keahlian; 3) Berat-ringannya pekerjaan; 4) suasana dan
lingkungan pekerjaan; 5) peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan; 6)
sikap pimpinan dalam kepemimpinannya; 7) sifat pekerjaan monoton atau tidak.6
Selanjutnya Hasibuan menjelaskan bahwa tolok ukur tingkat kepuasan
yang mutlak tidak ada karena setiap individu karyawan berbeda standar
kepuasannya. Indikator kepuasan kerja hanya diukur dengan kedisiplinan, moral
kerja, dan turnover besar maka secara relatif kepuasan kerja karyawan baik.
Sebaliknya jika kedisiplinan. moral kerja, dan turnover kecil maka kepuasan kerja
karyawan diperusahaan bertambah.

Kepuasan kerja merupakan kunci pendorong moral, kedisiplinan dan
prestasi kerja guru dalam mendukung terwujudnya tujuan pendidikan. Dengan
demikian dapat pula dikatakan bahwa kepuasan dan ketidak puasan kerja guru
adalah perasaan guru tentang menyenangkan atau tidak mengenai pekerjaan
berdasarkan atas harapan guru dengan imbalan yang diberikan oleh
sekolah/organisasi. Jika pekerjaan mengajar guru mendapat imbalan yang
menurutnya pantas ia akan puas, sebaliknya jika hasil kerjanya memperoleh
imbalan yang tidak pantas menurutnya maka guru menjadi tidak puas.
Kepuasan yang tinggi diinginkan oleh kepala sekolah karena dapat
dikaitkan dengan hasil yang positif yang mereka harapkan, yang menunjukkan
manajemen pendidikan yang efektif dan efisien oleh kepala sekolah.
Kepuasan kerja adalah bagian dari kepuasan hidup. Sifat lingkungan
seseorang di luar pekerjaan mempengaruhi perasaan di dalam pekerjaan.
Demikian juga halnya karena pekerjaan merupakan bagian penting kehidupan,
kepuasan kerja mempengaruhi kepuasan hidup seseorang.7 Hasilnya terdapat
dampak bolak-balik antara kepuasan kerja dengan kepuasan hidup.
Konsekuensinya, seorang Kepala Sekolah mungkin tidak hanya memantau
pekerjaan dan lingkungan kerja guru. Namun juga memantau sikap guru terhadap
bagian kehidupan lainnya seperti unsur keluarga, pekerjaan, politik, hiburan dan
agama.

Prestasi kerja menyumbang timbulnya kepuasan kerja, dimana prestasi
yang lebih baik akan menimbulkan imbalan ekonomi, sosiologis dan psikologis
yang lebih tinggi. Apabila imbalan itu dipandang pantas dan adil, maka timbul
kepuasan yang lebih besar karena pegawai merasa bahwa mereka menerima
imbalan yang sesuai prestasinya. Sebaliknya, apabila imbalan dipandang tidak
sesuai dengan tingkat prestasinya, cenderung timbul ketidak puasan.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja yang biasa
terjadi pada dunia kerja/industri yang bisa pula diterapkan di dunia pendidikan,
yaitu :
1. Usia. Ketika para karyawan makin bertambah lanjut usianya. Mereka
cenderung sedikit lebih puas dengan pekerjaannya. Karyawan yang lebih muda
cenderung kurang puas karena berpengharapan tinggi, kurang penyesuaian
dan berbagai sebab lain.
2. Tingkat pekerjaan. Orang-orang dengan pekerjaan pada tingkat lebih tinggi
cenderung merasa lebih puas dengan pekerjaan mereka.. Mereka biasanya
memperoleh gaji dan kondisi kerja lebih baik, dan pekerjaan yang dilakukan
memberi peluang untuk merasa lebih puas.
3. Ukuran organisasi. Pada saat organisasi semakin besar, ada beberapa bukti
yang menunjukkan bahwa kepuasan kerja cenderung agak menurun apabila
tidak diambil tindakan perbaikan untuk mengimbangi kencenderungan itu.
Pada dunia pendidikan bisa terjadi guru-guru yang sudah tua cenderung
lebih puas dalam bekerja, karena harapannya tidaklah setinggi jika dibandingkan
dengan guru-guru yang lebih muda. Guru-guru yang memperoleh jabatan
tambahan, tugas tambahan akan lebih puas dalam bekeja dibanding dengan guruguru
yang memperoleh tugas mengajar saja tanpa tambahan tugas/jabatan lain,
ini dikarenakan guru yang memperoleh jabatan/tugas tambahan tentu lebih
banyak tunjangannya, disamping dia merasa dihargai dan diperlukan dalam
organisasi/sekolah. Selanjutnya pada sekolah-sekolah yang besar dengan jumlah
guru yang banyak akan membuat kepuasan kerja guru menjadi kurang, ini
disebabkan semakin besar organisasi semakin banyak guru akan semakin rumit
mengelola organisasi tersebut.
Survey untuk menentukan kepuasan kerja adalah bisa melalui survey
objektif dan survey deskriptif. Survey objektif menyediakan pertanyaan dan pilihan
jawaban sedemikian rupa sehingga pegawai hanya perlu memilih dan menandai
jawaban yang paling mewakili perasaan mereka sendiri. Survey deskriptif
menyajikan pertanyaan tentang berbagai topik tetapi memberikan keleluasaan
bagi pegawai untuk menjawabnya dengan kata-kata mereka sendiri, sedang
indikator-indikator untuk survei kepuasan kerja terdiri sebagai berikut :
1. Pergantian pegawai
2. Kemangkiran dan keterlambatan
3. Catatan prestasi
4. Pemborosan dan barang sisa
5. Catatan kualitas
6. Laporan dari penyuluh
7. Laporan kecelakaan
8. Keluhan
9. Catatan pelatihan
10. Sasaran
11. Catatan perawatan
12. Wawancara keluar 9.
Sikap seseorang terhadap pekerjaanya mencerminkan pengalaman yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapanharapannya
terhadap pengalaman masa depan.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Iklim Kerja

9:59 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

Sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai unsur yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Di dalam sekolah terdapat berbagai macam sistem sosial yang berkembang dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut pola dan tujuan tertentu yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya sehingga membentuk perilaku dari hasil hubungan individu dengan individu maupun dengan lingkungannya.
Menurut Davis, K & Newstrom J.W (1996) bahwa sekolah dapat dipandang dari dua pendekatan yaitu pendekatan statis yang merupakan wadah atau tempat orang berkumpul dalam satu struktur organisasi dan pendekatan dinamis merupakan hubungan kerjasama yang harmonis antara anggota untuk mencapai tujuan bersama.
Interaksi yang terjadi dalam sekolah merupakan indikasi adanya keterkaitan satu dengan lainnya guna memenuhi kebutuhan juga sebagai tuntutan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. Untuk terjalinnya interaksi-interaksi yang melahirkan hubungan yang harmonis dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk bekerja diperlukan iklim kerja yang baik.
Litwin dan Stringer (dalam Sergiovanni, 2001) mengemukakan bahwa Iklim mempengaruhi kinerja guru. Iklim sebagai pengaruh subyektif yang dapat dirasakan dari sistem formal, gaya informal pemimpin dan faktor-faktor lingkungan penting lainnya, yang menyangkut sikap/keyakinan dan kemampuan memotivasi orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut. Sedangkan menurut Henry A Marray dan Kurt Lewin (dalam Sutaryadi, 1990) mengatakan bahwa Iklim kerja adalah seperangkat karakteristik yang membedakan antara individu satu dengan individu lainnya yang dapat mempangaruhi perilaku individu itu sendiri, perilaku merupakan hasil dari hubungan antara individu dengan lingkungannya.
Iklim sekolah memegang peran penting sebab iklim itu menunjukkan suasana kehidupan pergaulan dan pergaulan di sekolah itu. Iklim itu mengambarkan kebudayaan, tradisi-tradisi, dan cara bertindak personalia yang ada di sekolah itu, khususnya kalangan guru-guru. Iklim ialah keseluruhan sikap guru-guru di sekolah terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan kepuasan mereka (Pidarta, 1999).
Jadi Iklim kerja adalah hubungan timbal balik antara faktor-faktor pribadi, sosial dan budaya yang mempengaruhi sikap individu dan kelompok dalam lingkungan sekolah yang tercermin dari suasana hubungan kerjasama yang harmonis dan kondusif antara Kepala Sekolah dengan guru, antara guru dengan guru yang lain, antara guru dengan pegawai sekolah dan keseluruhan komponen itu harus menciptakan hubungan dengan peserta didik sehingga tujuan pendidikan dan pengajaran tercapai.
Iklim negatif menampakkan diri dalam bentuk-bentuk pergaulan yang kompetitif, kontradiktif, iri hati, beroposisi, masa bodoh, individualistis, egois. Iklim negatif dapat menurunkan produktivitas kerja guru. Iklim positif menunjukkan hubungan yang akrab satu dengan lain dalam banyak hal terjadi kegotong royongan di antara mereka, segala persoalan yang ditimbul diselesaikan secara bersama-sama melalui musyawarah. Iklim positif menampakkan aktivitas-aktivitas berjalan dengan harmonis dan dalam suasana yang damai, teduh yang memberikan rasa tenteram, nyaman kepada personalia pada umumnya dan guru khususnya.
Terciptanya iklim positif di sekolah bila terjalinnya hubungan yang baik dan harmonis antara Kepala Sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan pegawai tata usaha, dan peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Owens (1991) bahwa faktor-faktor penentu iklim organisasi sekolah terdiri dari (1). Ekologi yaitu lingkungan fisik seperti gedung, bangku, kursi, alat elektronik, dan lain-lain, (2). Milieu yakni hubungan sosial, (3). Sistem sosial yakni ketatausahan, perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi, (4). Budaya yakni nilai-nilai, kepercayaan, norma dan cara berpikir orang-orang dalam organisasi.
Sedangkan Menurut Steers (1975) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi iklim kerjasama di sekolah adalah :
(1). Struktur tugas, (2). Imbalan dan hukuman yang diberikan, (3). Sentralisasi keputusan, (4). Tekanan pada prestasi, (5). Tekanan pada latihan dan pengembangan, (6). Keamanan dan resiko pelaksanaan tugas, (7). Keterbukaan dan Ketertutupan individu, (8). Status dalam organisasi, (9). Pengakuan dan umpan balik, (10). Kompetensi dan fleksibilitas dalam hubungan pencapaian tujuan organisasi secara fleksibel dan kreatif.
Terbentuknya iklim yang kondusif pada tempat kerja dapat menjadi faktor penunjang bagi peningkatan kinerja sebab kenyamanan dalam bekerja membuat guru berpikir dengan tenang dan terkosentrasi hanya pada tugas yang sedang dilaksanakan.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

9:53 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari “school based management”. Istilah ini pertama sekali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai alternatif utnuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah. Reformasi itu diperlukan karena kinerja sekolah selama puluhan tahun tidak dapat menunjukkan peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan, ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat, sebagaimana penjelasan Nanang Fattah (2004:3) semakin tingginya kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, telah semakin meningkat tuntutan kebutuhan sosial masyarakat. Apad akhirnya tuntutan tersebut bermuara kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.

Secara leksikal, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah ini sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran (Nurkolis, 2003:1).

Untuk memahami pengertian Manajemen Berbasis Sekolah, kita dapat menelaah pendapat para ahli yang telah menjelaskan defenisi tentang MBS, yakni :
1. Malen, Ogawa, and Kranz (1990 p.1) dalam Ibtisam Abu Duhou, (1999 : p.28) menyatakan :
“School based management can be viewed conceptually as a formal alternation of governance structures, as a form of decentralization that identifies the individual school as the primary unit of improvement and relies on the redistribusion of decision making authority as the primary means through which improvements might be stimulated and sustained”.

Manajemen berbasis sekolah secara konseptual dapat dilihat sebagai pergantian struktur formal pemerintahan, sebagai bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi kemandirian sekolah sebagai unit utama peningkatan dan bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagaimana sarana utama melalui rangsangan perbaikan dan berkelanjutan.
2. Brian J Caldwell (2005:p.1), menyatakan :
“School based management is the sistematic decentralization to the school level of authority and responsibility to make decisions on significant matters related to school operations within a centrally determined framework of goals, policies, curriculum, standards, and accountability”.

Manajemen berbasis sekolah adalah desentraliasai yang sistematis untuk kewenangan pada tingkat sekolah dan tanggung jawab untuk membuat keputusan tentang hal-hal penting yang berkaitan dengan kegiatan sekolah dalam kerangka ditentukan dari tujuan, kebijakan, kurikulum, standard dan akuntabilitas.
3. Ogawa dan White (1994:p.53) dalam Rohiat (2009:47) menyatakan :
School Based management (SBM) is one of form of restructuring that has gained widespread attention. Like others, it seek to change the way school sistem conduct business. It is aimed squarely at improving the academic performance of school by changing their organizational design. Drawing on the experiences of existing programs”.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu bentuk restrukturisasi yang telah mendapatkan perhatian luas. Seperti orang lain, berusaha untuk mengubah sistem sekolah dengan cara melakukan usaha. Hal ini ditujukan pada meningkatkan prestasi akademik sekolah dengan merubah desain organisasi mereka. Menggambarkan pada pengalaman program yang ada.
4. Susan Ablers Mohrman, dkk dalam Nanang Fattah (2004:17) menyatakan :
“Manajemen Berbasis Sekolah sebagai suatu pendekatan politik untuk mendesain dan memodifikasi struktur pemerintahan dengan memindahkan otoritas ke sekolah, memindahkan keputusan pemerintah pusat ke local stakeholders, dengan mempertaruhkan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Hal tersebut sejalan dengan jiwa dan semangat sentralisasi dan otonomi di sektor pendidikan”.

5. Nanang Fattah (2004:17) mengemukakan bahwa :
“Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai wujud dari “reformasi pendidikan” yang menginginkan adanya perubahan dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang lebih baik dengan memberikan kewenangan (otorita) kepada sekolah untuk memberdayakan dirinya. Manajemen Berbasis Sekolah pada prinsipnya menempatkan kewenangan yang bertumpu kepada sekolah dan masyarakat, menghindarkan format sentralisasi dan birokratisasi yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi manajemen sekolah”.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Tim Teknis BAPPENAS (1999:10) menyataka bahwa :
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan yang ditandai dengan adanya otonomi luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional”.
Dari defenisi yang dikemukakan diatas manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah (otonomi), memberikan fleksibilitas atas keluwesan kepada sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendiidkan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa MBS merupakan sistem pengelolaan sekolah yang memberikan otonomi luas kepada sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan dengan bertumpu pada kebutuhan dan potensi local, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait dan juga meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Selain itu, otonomi sekolah juga berperan dalam menampung consensus umum yang menyakini bahwa sedapat mungkin keputusan yang diambil seharusnya dibuat oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi, bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan dan mereka yang terkena akibat-akibat dari pelaksanaan kebijakan tersebut.
MBS merupakan paradigm baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengeola sumber adaya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat secara legal formal dituangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 8 menyatakan :”Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan”. Selanjutnya pasal 9, menyatakan :”Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.
Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam pada itu kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah, yang telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor : 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan.

Selanjutnya bahwa organisasi pendidikan harus dijadikan sebagai sarana yang mampu mengajarkan kepada organisasi, dari mulai pimpinan sampai kepada pegawai mengenai bagaimana menghasilkan dan mengoptimalkan keterampilan sebagai entitas kolektif. Konsep pengembangan organisasi dan manajemen memberikan inspirasi bagi organisasi pendidikan, dengan harapan mampu membentuk suatu sistem manajemen organisasi manajemen pendidikan yang handal. Model Manajemen Berbasis Sekolah merupakan inovasi model pengelolaan satuan pendidikan menuju kearah tersebut.
Masyarakat dan pemerintah sepakat untuk melakukan reformasi sekolah sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, terutama ketika mayoritas siswa merasa menghadapi permasalahan serius dalam belajar. Bertitik tolak dari kondisi seperti itu, dipandang perlu membangun suatu sistem persekolahan yang mampu memberikan kemampuan dasar (basic skills) bagi siswa. Kebutuhan akan kinerja sekolah yang lebih baik terus tumbuh dan berkembang akan pentingnya pendidikan untuk masa depan. Hal tersebut mengakibatkan perlunya menata pengelola sekolah melalui konsep Manajemen Berbasis Sekolah.
Kesadaran tentang pentingnya pendidikan yang adapat memberikan harapan dan kemungkinan yang lebih baik dimasa yang akan datang telah mendorong berbagai upaya dan perhatian seluruh lapisan masyarakat terhadap setiap gerak, langkah dan perkembangan dunia pendidikan. Pendidikan sebagai salah satu upaya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia, pada intinya bertujuan untuk memanusiakan manusia, mendewasakan, serta mengubah perilaku serta meningkatkan kualitas itu sendiri agar menjadi lebih baik.
Kebutuhan akan kinerja sekolah yang lebih baik terus tumbuh dan berkembang sehingga menjadi suatu kebutuhan yang mendesak sejalan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk kehidupannya. Hal tersebut mengakibatkan perlunya peningkatan efektivitas pengelolaan sekolah yang salah satunya dapat diatau implementasi Manajemen lakukan melalui penerapan dan implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

B. Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
Tujuan MBS
Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang ditandai dengan adanya otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan nasional tersebut ditujukan untuk mewujudkan beberapa tujuan pokok. Tujuan tersebut menurut Tim Teknis BAPPENAS (1999:11) adalah untuk :”Meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan”.
Tujuan MBS menurut Mulyasa (2004:25), MBS merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu, tehnologi yang dinyatakan dalam GBHN. MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, peningkatan mutu, dan pemerataan pendidikan.
Pada bagian lain MBS menurut Nanang Fattah (2000:20) bertujuan untuk:
a). Membantu sekolah menjelaskan pengelolaan sekarang dan waktu mendatang;
b). Mendorong adanya keputusan-keputusan (decision making) di tingkat sekolah;
c). Mendorong dan mendukung partisipasi masyarakat:
d). Mendorong terciptanya ketentuan dalam perencanaan dan pelaksanaannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka tujuan Manajemen Berbasis Sekolah memiliki empat point utama, yaitu efisiensi pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan partisipasi masyarakat, dan pemerataan pendidikan.
Upaya untuk mencapai tujuan Manajemen Berbasis Sekolah, maka factor-faktor yang terlibat dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah sudah selayaknya mendapat perhatian. Factor-faktor yang perlu diperhatikan tersebut menurut Tim Teknis BAPPENAS (1999: 12-14), meliputi :
a). Kewajiban sekolah,
b). Kebijakan dan prioritas pemerintah,
c). Peranan orangtua dan masyarakat,
d). Peranan profesionalisme dan manajerial, dan
e). Mengembangkan profesi.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, jelas sekali bahwa implementasi Manajemen Berbasis Sekolah melibatkan seluruh komponen dan oleh karena itu agar berhasil dengan baik, maka dalam pelaksanaan MBS setiap prinsip tersebut perlu dikaji, diidentifikasi, diperhatikan dan dijadikan pedoman dalam setiap kegiatan pelaksanaan MBS.

Manfaat manajemen Berbasis Sekolah
Beberapa manfaat yang dapat dirasakan jika sekolah telah melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah, sebagaimana yang dinyatakan Mulyasa (2004:27) menyatakan :”mamfaat MBS diantaranya memberikan kebebasan dan kekuasaan yang lebih besar kepada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga lebih berkonsentrasi pada tugas. MBS dapat mendorog profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah.
Berdasarkan mamfaat-mamfaat yang diuraikan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model Manajemen Berbasis sekolah merupakan solusi yang tepat untuk menangani masalah pengelolaan pendidikan di tingkat sekolah.

C. Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Teori yang digunakan MBS untuk mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip yaitu:
a. Prinsip Ekuifinalitas (Principal of Equifinality)
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena kompleknya pekerjaan sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang besar antara sekolah yang satu dengan yang lain, misalnya perbedaan tingkat akademik siswa dan situasi komunitasnya, sekolah tak dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, apalagi negara. Sekolah harus mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.
b. Prinsip Desentralisasi (Principal of Decentralization)
Desentralisasi adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinalitas. Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktifitas pengajaran tak dapat dielakkan dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu, sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Dengan kata lain, tujuan prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Oleh karena itu MBS harus mampu menemukan masalah, memecahkannya tepat waktu dan memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi kewenangan kepada sekolah itu sendiri maka sekolah tidak dapat memecahkan masalahnya secara cepat, tepat, dan efisiensi.
c. Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal of Self Managing System)
Prinsip ini terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadapi permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan wewenang dari birokrasi diatasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri.
d. Prinsip Inisiatif Manusia (Principal of Human Initiative)
Prinsip ini mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Sekolah dan lembaga pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi menggunakan istilah staffing yang konotasinya hanya mengelola manusia sebagai barang yang statis. Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan human recources development yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Nurkolis.( 2003: 52.)


D. Komponen-Komponen Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen sekolah pada hakikatnya mempunyai pengertian yang hampir sama dengan manajemen pendidikan. Ruang lingkup dan bidang kajian manajemen sekolah juga merupakan ruang linkup dan bidang kajian manajemen pendidikan. Namun demikian, manajemen pendidikan mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada manajemen sekolah. Dengan perkataan lain, manajemen sekolah merupakan bagian dari manajemen pendidikan, atau penerapan manajemen pendidikan dalam organisasi sekolah sebagai salah satu komponen dari sistem pendidikan yang berlaku. Manajemen sekolah terbatas pada salah satu sekolah saja, sedangkan manajemen pendidikan meliputi seluruh komponen sistem pendidikan, bahkan bisa menjangkau sistem yang lebih luas dan besar (suprasistem) secara regional, nasional, bahkan internasional.
Hal yang paling penting dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS, yaitu:
a. Manajemen kurikulum dan program pengajaran
b. Manajemen tenaga kependidikan
c. Manajemen kesiswaan
d. Manajemen keuangan dan pembiayaan
e. Manajemen sarana dan prasarana pendidikan
f. Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat
g. Manajemen layanan khusus. E. Mulyasa.( 2004: 39.)
2.1.3.5. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dengan mengadopsi ide dasar Edward B. Fiska (1996) Nanang Fatah menggambarkan konsep manajemen berbasis sekolah sebagai berikut:

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara konsepsional akan membawa dampak terhadap peningkatan kinerja sekolah dalam hal mutu, efisiensi manajemen keuangan, pemerataan lewat perubahan kebijakan desentralisasi di berbagai aspek seperti politik, edukatif, administratif dan anggaran pendidikan. MBS selain akan meningkatkan kualitas belajar mengajar dan efisiensi operasional pendidikan, juga tujuan politik terutama iklim demokratisasi di sekolah. Nanang Fattah mengungkapkan keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Spanyol yaitu menciptakan kualitas manajemen dan pendidikan, sebagai strategi untuk memperbaiki kinerja sekolah yang mampu meningkatkan kemauan dan kemampuan kepala sekolah untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hal ini dipandang sebagai demokrasi di tingkat lokal sekolah. Nanang Fattah (2004 : 26-27)

E. Strategi Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pada dasarnya, tidak ada strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu, strategi implementasi MBS di satu negara ke negara lain bisa berlainan, antara satu daerah dengan daerah lain juga bisa berbeda, bahkan antar sekolah dalam daerah yang samapun bisa berlainan strateginya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan berhasil melalui strategi-strategi berikut ini. Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, pertama, dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan instruksional serta non instruksional. Ketiga, adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif terutama kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Kepala sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berperan sebagai designer, motivator, fasilitator dan liaison. Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh. Keenam, adanya guidelines dari Departemen pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Ketujuh, sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawaban setiap tahunnya. Kedelapan, penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialisasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, pembangunan kelembagaan (capacity building) mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi atas pelaksanaan di lapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan. Nurkolis. (2003: 132.)
Sedangkan menurut Slamet P.H (2001) karena pelaksanaan MBS merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, strategi yang ditempuh adalah sebagai berikut:
Pertama, mensosialisasikan konsep MBS ke seluruh warga sekolah melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media massa. Kedua, melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat ke MBS. Ketiga, merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan MBS berdasarkan tantangan nyata yang harus dihadapi. Keempat, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu untuk diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud antara lain pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga pendidikan dan non kependidikan, pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah, pengembangan hubungan sekolah dengan masyarakat, fasilitas dan fungsi-fungsi lain. Kelima, menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT. Keenam, memilih langkah-langkah pemecahan persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Ketujuh, membuat rencana jangka pendek, menengah, dan panjang beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Kedelapan, melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek MBS. Kesembilan, melakukan pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil MBS. Nurkolis (2003: 135)
Dengan demikian strategi implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat terakit dengan kondisi obyektif yang ada di sekolah dan stakeholders. Oleh karena itu peluang kepala sekolah dan guru sebagai tumpuan sekolah ditantang untuk bertindak sekreatif mungkin. Sejalan dengan hal itu guru dan kepala sekolah dituntut untuk terus meningkatkan profesionalitasnya sehingga dapat memberdayakan semua sumber daya secara optimal.

F.Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
Karakteristik MBS yang dikemukakan oleh Nanang Fattah (2004:20) menyatakan “Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) akan efektif diterapkan jika para pengelola pendidikan mampu melibatkan stakeholder terutama peningkatan peran serta masyarakat dalam menentuan kewenangan, pengadministrasian, dan inovasi kurikulum yang dilakukan oleh masing-masing sekolah”. Sejalan dengan Mulyasa (2004:29) yaitu : “Bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya adminitrasi”. Oleh karena itu kepala sekolah dan guru sebagai pelaksana sekolah dintantang untuk bertindak kreatif. Kepala sekolah dituntut untuk terus meningkatkan profesinalismenya sehingga dapat memberdayakan semua sumber daya secara optimal. Pada bagian lain Tim Teknis BAPPENAS (1999 : 16) menyebutkan bahwa karakteristik MBS dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu : “(a) organisasi sekolah, (b) proses belajar mengajar (c) sumber daya manusia serta administrasi”. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraikan hal-hal tersebut, yaitu :
a) Organisasi sekolah. Dalam keorganisasian sekolah, pengimplementasian MBS ditandai oleh beberap hal, yaitu menyediakan manajemen organisasi/ kepemimpinan transformasional dalam mencapai tujuan sekolah, menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolahnya, mengelola kegiatan operasional sekolah, menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat terkait, menggerakkan partisipasi masyarakat dan menjamin akan terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
b) Proses Belajar Mengajar. Proses belajar mengajar yang bercirikan MBS ditandai oleh beberap hal, yaitu meningkatkan kualitas belajar siswa, mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah, menyelenggarakan pengajaran yang efektif serta penyediaan program pengembangan yang diperlukan oleh siswa.
c) Sumber daya Manusia. Sumber daya manusia dalam MBS ditandai oleh beberapa hal, seperti pemberdayaan staf dan memantapkan personil yang dapat melayani keperluan semua siswa, memilih staf yang memiliki wawasan MBS, menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi pada semua staf, menjamin kesejahteraan staf dan siswa serta menyelenggarakan forum atau diskusi untuk membahas kemajuan sekolah.
d) Sumber Daya Administrasi. Sumber daya administrasi ditandai dengan adanya beberapa hal, yaitu mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber daya tersebut sesuai dengan kebutuhan, mengelola dana sekolah, menyediakan dukungan administrative dan mengelola serta memelihara gedung termasuk sarana yang lainnya.

G. Sarana dan Prasarana Merupakan Komponen Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Impelementasi MBS merupakan suatu harapan untuk diwujudkan oleh setiap sekolah sehingga berdampak terhadap peningkatan mutu pembelajaran. Keberhasilan pengimplementasian manajemen berbasis sekolah akan ditentukan oleh optimalisasi sumber daya pendidikan yang dimiliki sekolah. Hal tersebut mengandung arti bahwa keberhasilan sekolah ditentukan oleh sejauh mana komponen sumber daya sekolah mendukung dan memfasilitasi realisasi sistem manajemen kemandirian dengan benar dan tepat. Model implementasi MBS dapat dipertimbangkan untuk dikaji oleh sekolah terkait dengan komponen sarana dan prasarana pendidikan yang di dalamnya mencakup aspek : (a) perencanaan, (b) pengadaan, (c) penggunaan, dan (d) perawatan.
Sarana dan prasarana merupakan suatu komponen pendidikan yang memerlukan suatu penanganan yang optimal dalam mendukung keberhasilan implementasi MBS. Sarana dan prasarana merupakan suatu alat yang dapat menopang terealisasinya suatu sistem MBS, artinya sarana dan prasarana pendidikan memiliki kontribusi yang besar dalam keberhasilan sistem sekolah.
Sekolah dituntut untuk mampu merencaakan komponen sarana dan prasarana dalam pengimplementasian MBS. Perencanaan sarana dan prasarana ini merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan dalam menetapkan program-program yang terkait dengan keberadaan sarana dan prasarana pendidikan sehingga mendukung terhadap tujuan. Adapun aspek – aspek yang terkait dengan perencanaan ini yaitu :
a). Mengidentifikasi kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah. Sekolah dalam hal ini mengkaji dan menelusuri seluruh kebutuhan yang terkait dengan keberadaan sarana dan prasarana. Pengkajian yang dilakukan diarahkan untuk mengetahui sarana dan prasarana yang diperlukan dalam merealisasikan program sekolah. Hal ini dapat dilakukan dengan penelaahan kebutuhan pada tiap unit kerja sekolah sehingga pengkajian dapat direalisasikan secara menyeluruh dan objektif. Pengidentifikasian yang dilakukan hendaknya diarahkan selain pada sarana dan prasarana yang belum ada juga pada sarana dan prasarana yang keberadaannya sudah rusak.
b). Menetapkan prioritas kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah. Setelah pengkajian yang dilakukan maka hasilnya akan menyajikan data terkaitg dengan sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan. Sudah barang tentu, kapasitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan akan berbeda yang dirasakan tiap sekolah dan diantaranya akan tidak sebanding kemampuan perwujudannya dengan kemampuan pengadaannya. Hal tersebut dapat dilakukan penanggulannya dengan melakukan penetapan prioritas sesuai dengan tingkat kepentingan sarana dan prasarana tersebut terhadap program sekolah. Namun suatu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, bahwa prioritas kebutuhan sarana dan prasarana yang ditetapkan dalam program pengadaan maupun pemeliharaan dalam tahun ini hendaknya diwujudkannya dalam program tahun mendatang.
c) Menuangkan dalam bentuk program. Penetapan kebutuhan yang dituangkan terhadap program-program yang terkait dengan sarana dan prasarana pendidikan. Program-program tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang akan diselenggarakan dalam pengimplementasian MBS sehingga melalui program tersebut diharapkan dapat merealisasikan tujuan yang ditetapkan.
Pengadaan sarana dan prasarana merupakan suatu tindak lanjut dari program perencanaan yang terkait dengan adanya suatu kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan yang belum dimiliki oleh pihak sekolah. Pengadaan ini merupakan langkah untuk memperlengkapi sekolah dengan alat-alat yang dibutuhkan untuk mendukung terealisasinya program sekolah. Upaya pengadaan ini di dalamnya mencakup aspek-aspek yang terkait dengan pengusulan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan kepada pihak terkait dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan prioritas dan kemampuan sekolah.
Penggunaan sarana dan prasarana pendidikan yang sudah ada merupakan suatu hal yang penting dalam manajemen komponen ini. Tingkat kontribusi sarana dan prasarana dalam implementasi MBS akan terkait dengan sejauhmana pemamfaatan atau penggunaan yang dilakukan oleh sekolah. Keberadaan sarana dan prasarana tidak ada artinya jika penggunaannya tidak dilakukan secara optimal. Maka penggunaan ini suatu penanganan yang berarti sehingga mamfaat yang dirasakan dari sarana dan prasarana pendidikan yang ada mampu mendukung terhadap keberhasilan program sekolah.
Perawatan merupakan aspek yang terdapat dalam komponen manajemen sarana dan prasarana pendidikan. Perawatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengkondisikan sarana dan prasarana pendidikan dengan optimal, baik secara wujud dan pemamfaatannya. Perawatan ini dapat dilakukan dengan kegiatan pemeliharaan dan penjagaan dari kerusakan sehingga keberadaannya dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

H. Efektivitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (2007:284) dikemukakan bahwa efektif berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruh, kesannya), manjur atau mujarab dapat membawa hasil. Jadi efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang menjadi tujuan. Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memamfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional (Mulyasa, 2004:82).
Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memamfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan adanya partisipasi aktif dari anggota. Sejalan dengan Aan Komariah dan Cepi Triaatna (2006:8) menyebutkan : “ Efektivitas menunjukkan ketercapaian sasaran atau tujuan yang ditetapkan. Efektivitas sekolah terdiri dari dimensi manajemen dan kepemimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan personel lainnya : siswa, kurikulum, sarana-prasarana, pengelolaan kelas, hubungan sekolah dan masyarakatnya; pengelolaan bidang khusus lainnya hasil nyatanya merujuk kepada hasil yang diharapkan bahkan menunjukkan kedekatan atau kemiripan antara hasil nyata dengan hasil yang diharapkan”.
Disamping itu Aan Komariah dan Cepi Triatna (2006:34) menegaskan “Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana sasaran (kuantitas, kualitas, waktu) telah tercapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan”. Efektivitas manajemen berbasis sekolah berarti bagaimana strategi agar berhasil melaksanakan tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memamfaatkan sumber daya, sumber dana dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah. Sejalan dengan pemikiran tersebut maka dalam penelitian ini, mengartikan efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah merupakan ukuran keberhasilan yang diraih oleh kepala sekolah dalam menjalankan kepemimpinannya guna mewujudkan peningkatan mutu pendidikan.
Selanjutnya Sergiovanni (1987) dalam Mulyasa, (2004:85) menyatakan bahwa :
Efektivitas Manajemen Berbasis Sekolah dapat dilihat dari efektivitas kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya, yang diidentifikasikan sebagai berikut : (1) Produktivitas; (2) Efisiensi; (3) Kualitas; (4) Pertumbuhan; (5) Ketidak hadiran; (6) Perpindahan; (7) Kepuasan kerja guru; (8) Kepuasan peserta didik; (9) Motivasi; (10) Semangat; (11) Kepaduan; (12) Keluwesan dan adaptasi; (13) Perencanaan dan perumusan tujuan; (14) Konsensus tujuan; (15) Internalisasi tujuan organisasi; (16) keahlian manajemen dan kepemimpinan; (17) Manajemen informasi dan komunikasi; (18) Kesiagaan; (19) Pemamfaatan lingkungan; (20) Penilaian dari pihak luas; (21) Stabilitas; (22) Penyebaran pegaruh; dan (23) latihan dan pengembangan.

Beranjak dari pengertian di atas, berhasil atau tidaknya suatu sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah dapat ditinjau sejauhmana 23 komponen tersebut mampu diwujudkan. Efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah dalam penelitian ini merupakan ukuran keberhasilan yang diraih oleh kepala sekolah dalam menjalankan kepemimpinannya guna mewujudkan peningkatan mutu sekolah.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Peranan Guru

11:53 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

Peran guru yang dimaksud adalah berkaitan dengan peran guru dalam
proses pembelajaran. Guru merupakan faktor penentu yang sangat dominan
dalam pendidikan pada umumnya, karena guru memegang peranan dalam
proses pembelajaran, di mana proses pembelajaran merupakan inti dari proses
pendidikan secara keseluruhan.
Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan siswa atas hubungan timbal balik yang berlangsung
dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu, di mana dalam proses
tersebut terkandung multi peran dari guru.
Peranan guru meliputi banyak hal, yaitu guru dapat berperan sebagai
pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan belajar, perencana
pembelajaran, supervisor, motivator, dan sebagai evaluator.
Peranan guru berkaitan dengan kompetensi guru, meliputi:
1. Guru melakukan Diagnosa terhadap Perilaku Awal Siswa.
Pada dasarnya guru harus mampu membantu kesulitan-kesulitan yang
dihadapi siswanya dalam proses pembelajaran, untuk itu guru dituntut untuk
mengenal lebih dekat kepribadian siswanya. Proses asessing atau memperkirakan
keadaan siswa adalah langkah awal untuk mengetahui lebih lanjut kondisi
siswa untuk kemudian dievaluasi agar lebih kongkrit dan mendekati tepat
untuk memahami keadaan siswanya, diharapkan jika guru telah mengetahui
betul kondisi siswanya akan mempermudah memberikan meteri pelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan, minat, dan bakat siswa.
2. Guru membuat Perencanaan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Perencanaan pembelajaran adalah membuat persiapan pembelajaran.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jika tidak mempunyai persiapan pembelajaran
yang baik, maka peluang untuk tidak terarah terbuka lebar, bahkan
mungkin cenderung untuk melakukan improvisasi sendiri tanpa acuan yang
jelas. Mengacu pada hal tersebut, guru diharapkan dapat melakukan persiapan
pembelajaran baik menyangkut materi pembelajaran maupun kondisi psikis
dan psikologis yang kondusif bagi berlangsungnya proses pembelajaran.
3. Guru Melaksanakan Proses Pembelajaran
Peran guru yang ketiga ini memegang peranan yang sangat penting, karena
di sinilah proses interaksi pembelajaran dilaksanakan. Karena itu ada beberapa
hal yang harus menjadi perhatian guru:
a. Mengatur waktu berkenaan dengan berlangsungnya proses pembelajaran
yang meliputi pengaturan alokasi waktu seperti pengantar + 10%, materi
pokok + 80%, dan untuk penutup + 10%.
b. Memberikan dorongan kepada siswa agar tumbuh semangat untuk belajar,
sehingga minat belajar tumbuh kondusif dalam diri siswa. Guru senantiasa
harus mampu menunjukkan kelebihan bidang yang dipelajari dan
manfaat yang akan didapat dengan mempelajarinya. Menumbuhkan motivasi
tersebut dapat dilakukan dengan reinforcement yaitu memberi penghargaan
baik dengan sikap, gerakan anggota badan, ucapan, dan bentuk
tertulis. Hal ini dilakukan sebagai respon positif terhadap tindakan yang
dilakukan oleh siswa.
c. Melaksanakan diskusi dalam kelas. Dalam sistem pendidikan yang demokratis,
diskusi adalah wahana yang tepat untuk menciptakan dan menumbuhkan
siswa yang kreatif dan produktif serta terlatih untuk berargumentasi
secara sehat serta terbiasa menghadapi perbedaan. Small group aktivities
memiliki kelebihan untuk menggali potensi siswa, karena siswa akan berperan
aktif lebih besar dalam aktivitas pembelajarannya.
d. Peran guru berikutnya adalah mengamati siswanya dalam berbagai kegiatan
baik yang bersifat formal di ruang kelas maupun di dalam kegiatan
ekstra kurikuler. Mengacu pada hasil pengamatan ini guru harus mengetahui
siswa mana yang membutuhkan pembinaan yang lebih, untuk diberitugas individu, atau mungkin diberikan remedial teaching sebagai follow
up dari tes yang telah diberikan.
e. Peran guru dalam kegiatan ini mencakup informasi berupa pemberian ceramah
dan juga informasi tertulis yang dibutuhkan siswa dengan bahasa
sederhana dan mudah dipahami siswa. Hanya saja peran guru tidak terlalu
dominan, sebab bisa dibayangkan kalau para siswa dari waktu ke waktu
hanya menjadi pendengar setia mungkin proses pendidikan tidak akan
menghasilkan lulusan yang optimal. Dalam konsep Norman Dodl ini jatah
waktu ceramah hanya sedikit saja.
f. Peran jenis ini adalah guru memberikan masalah untuk dicarikan solusi
alternatifnya, sehingga siswa dapat menggunakan daya pikir dan daya nalarnya
secara maksimal. Baik dengan menggunakan metode berpikir induktif
ataupun deduktif.
g. Melakukan pertanyaan dan memberikan respon terhadap pertanyaan yang
diajukan siswa. Langkah ini menunjukkan proses yang sangat manusiawi
dalam hal ini manusia selalu ingin tahu terhadap suatu persoalan atau masalah.
Keterampilan bertanya dan menjawab adalah merupakan kompetensi
yang harus dimiliki guru.
h. Menggunakan alat peraga, sebagai alat bantu komunikasi pendidikan seperti
OHP, proyektor, TV dan lainnya yang dapat dirancang sendiri, mengingat
alat seperti ini sangat membantu proses belajar mengajar, dengan
harapan siswa tidak terlalu jenuh. Guru harus berupaya menguasai penggunaan
alat-alat bantu tersebut.
4. Guru sebagai Pelaksana Administrasi Sekolah
Konsep Norman Dodl ini berkaitan dengan kewajiban guru untuk mampu
menjalankan administrasi sekolah dengan baik, sehingga administrasi sekolah
tidak melulu tertumpu pada kepala sekolah dan tata usaha. Peran guru
di sini dimaksudkan untuk lebih memahami siswa tidak hanya dari hasil tatap
muka saja akan tetapi menyangkut segala hal yang berkaitan dengan siswa.
Lebih jauh Usman (1999: 12) mengungkapkan peran guru sebagai administrator
adalah sebagai berikut: (a) pengambil inisistif, pengarah dan penilai
kegiatan-kegiatan pendidikan, (b) wakil masyarakat yang berati dalam
lingkungan sekolah guru menjadi anggota suatu masyarakat, (c) orang yangahli dalam suatu mata pelajaran, (d) penegak disiplin, (e) pelaksana administrasi
pendidikan, (f) pemimpin generasi muda, karena ditangan gurulah nasib
suatu generasi dimasa mendatang, dan (g) penyampai informasi kepada masyarakat
tentang perkembangan kemajuan dunia.
5. Guru sebagai Komunikator
Peran guru dalam kegiatan ini menyangkut proses penyampaian informasi
baik kepada dirinya sendiri, kepada anak didik, kepada atasan, kepada
orang tua murid maupun kepada masyarakat pada umumnya.
Komunikasi pada diri sendiri menyangkut upaya introspeksi agar setiap
langkah dan geraknya tidak mengalahi kode etik guru baik sebagai pendidik
maupun sebagai pengajar. Komunikasi kepada anak didik merupakan peran
yang sangat strategis, karena sepandai apapun seseorang manakala dia tidak
mampu berkomunikasi dengan baik pada anak didiknya maka proses belajar
mengajar akan kurang optimal. Komunikasi yang edukatif pada anak didik
akan mampu menciptakan hubungan yang harmonis. Sedangkan komunikasi
kepada atasan, orang tua, dan masyarakat adalah sebagai pertanggungjawaban
moral.
6. Guru Mampu Mengembangkan Keterampilan Diri
Mengembangkan keterampilan diri merupakan suatu tuntutan bahwa setiap
guru harus mengembangkan keterampilan pribadinya dengan terus mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, jika tidak demikian maka
guru akan ketinggalan jaman dan mungkin pada akhirnya akan sulit membawa
dan mengarahkan anak didik kepada masa di mana dia akan menjalani
kehidupan.
7. Guru dapat Mengembangkan Potensi Anak
Dalam melakukan kegiatan jenis ini guru harus mengetahui betul potensi
anak didik. Karena berangkat dari potensi itulah guru menyiapkan strategi
PBM yang sinerjik dengan potensi anak didik. Faktor „the how‟ memegang
peranan penting dalam upaya mengembangkan potensi anak didik, hal ini dimaksudkan
untuk mempersiapkan diri menjadi manusia seutuhnya yang akan
mampu membangun dirinya dan masyarakat lingkungannya.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Supervisi Pendidikan

11:48 AM URAY ISKANDAR 0 Comments

Seperti dikatakan di muka bahwa Supervisi adalah istilah yang
dapat dikatakan baru dikenal di dunia pendidikan di Indonesia. Istilah
ini muncul diperkirakan pada awal tahun 60-an, atau pada dua
dasawarsa terakhir ini (Arikunto, 1988: 152). Diperkenalkannya istilah
supervisi seiring dengan diberikannyanya mata kuliah administrasi
pendidikan di beberapa IKIP di Indonesia, yang kemudian disusul pula
dengan dijadikannya administrasi pendidikan sebagai mata pelajaran
dan bahan ujian pada SGA/SPG pada tahun ajaran 1965-1966, jadi
tidaklah mengherankan kalau ada dari kalangan pendidik sendiri
masih ada asing dengan istilah ini, terutama bagi mereka yang
menamatkan pendidikan guru, baik di tingkat menengah keguruan
maupun pendidikan tinggi pada sebelum tahun 70-an.
Di Indonesia, sebenarnya aktivitas semacam supervisi sudah
lama dikenal, tapi sayang sekali kesannya memang agak kurang enak,
karena pelaksanaannya yang lebih cenderung hanya untuk mencari
kesalahan dan kekurangan guru dalam mengajar. Pada waktu itu
aktivitas itu dikenal dengan istilah inspeksi, yang diwariskan oleh
Belanda sewaktu menjajah Indonesia selama lebih kurang 3,5 abad.
Pada zaman penjajahan Belanda, orang yang memeriksa
sekolah dasar (SD) mereka sebut dengan "Schoolopziener", yaitu
bertugas memeriksa seluruh mata pelajaran di sekolah dasar yang
menggunakan pengantar bahasa Belanda, sedangkan mata pelajaran
lain diperiksa oleh petugas yang mereka sebut inspektur, yang juga
orang belanda sendiri.
Menurut Harahap (1983: 6) bahwa pada zaman penjajahan
Jepang ada sebutan Shigaku, yaitu istilah yang dipakai tugas penilik
sekolah dasar, tapi sayang sekali istilah ini tidak begitu lama melekat
di kalangan pendidik Indonesia, yang mungkin dikarenakan Jepang
tidak terlalu lama menjajah Indonesia, yaitu lebih kurang 2,5 tahun
saja.
Setelah Indonesia merdeka, istilah Inrspektur pernah dipakai
untuk beberapa waktu, tetapi kemudian diubah dengan sebutan
pengawas untuk tingkat sekolah lanjutan dan penilik untuk sekolah
dasar. Seiring dengan itu muncul pula sebutan baru, yaitu supervisi,
yang berasal dari bahasa Inggris, supervision, yang diperkenalkan
oleh orang-orang yang pernah belajar di Amerika Serikat.
Menurut Soetopo (1984: 63), di Amerika Serikat aktivitas
supervisi baru muncul pada permulaan zaman kolonial, yaitu pada
sekitar tahun 1654. "The General Court of chusetts bay coloni"
menyatakan bahwa pemuka-pemuka kota bertanggung jawab atas
seleksi dan pengaturan kerja guru-guru, gerakan dapat danggap
sebagai cikal bakal lahirnya konsep yang paling dasar untuk
perkembangan supervisi moderen. Kemudian pada tahun 1709, di
Boston, a comite of laymen mengunjungi sekolah-sekolah untuk
mengetahui penggunaan metode pengajar oleh guru-guru, kecakapan
siswa, dan merumuskan usaha-usaha memajukan pengajaran dan
organisasi-organisasi sekolah yang baik.
Selanjutnya, perkembangan dan pertumbuhan sekolah
dipengaruhi pula oleh bertambahnya jumlah penduduk, yang
membuat dibutuhkanya tambahan tenaga guru yang lebih besar, yang
ada di antara mereka yang dipilih menjadi kepala sekolah, tapi kepala
sekolah pada waktu itu belum berfungsi sebagai supervisor. Namun
pada perkembangan selanjutnya baru, terutama setelah bertambahnya
aktivitas sekolah, maka didirikanlah kantor superintendent di
sekolah-sekolah, yang mengakibatkan adanya dua unsur pimpinan di
setiap sekolah.
Kewenangan kedua unsur pimpinan di sekolah itu tidak begitu
cepat berkembang, tapi baru setelah pada awal abad ke-19, di mana
terjadi pengurangan beban pengajar kepala sekolah, supaya mereka
lebih banyak mencurahkan waktu untuk membantu pekerjaan guru di
kelas. Sehingga dapat dikatakan dari sinilah dimulainya dua fungsi
kepala sekolah, yaitu sebagai administrator dan supervisor di sekolah.
Di dunia pendidikan Indonesia, diterapkannya secara formal
konsep supervisi diperkirakan sejak diberlakukannya Keputusan
Menteri P dan K, RI. Nomor: 0134/1977, yang menyebutkan siapa
saja yang berhak disebut supervisor di sekolah, yaitu kepala sekolah,
penilik sekolah untuk tingkat kecamatan, dan para pengawas di
tingkat kabupaten/ Kotamadya serta staf kantor bidang yang ada di
setiap propinsi.
Di dalam PP Nomor 38/Tahun 1992, terdapat perubahan
penggunaan istilah pengawas dan penilik. Istilah pengawas
dikhususkan untuk supervisor pendidikan di sekolah sedangkan penilik
khusus untuk pendidikan luar sekolah.
Kedudukan pengawas semakin penting setelah keluar UU.
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; PP Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; PP Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; Semua
Permendiknas tentang 8 Standar Nasional Pendidikan; Permendiknas
No. 12 Th. 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas
Sekolah/Madrasah, SK Menpan nomor 118 tahun 1996 tentang
jabatan fungsional pengawas dan angka kreditnya;Keputusan bersama
Mendikbud nomor 0322/O/1996 dan Kepala Badan Administrasi
Kepegawaian Negara nomor 38 tahun 1996 tentang petunjuk
pelaksanaan jabatan fungsional pengawas; Keputusan Mendikbud
nomor 020/U/1998 tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan
fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya; Permendiknas
Nomor 39/Tahun 2009 tentang pemehunan beban kerja guru dan
pengawas satuan pendidikan.
Standar mutu pengawas yang telah ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional
(Sudjana, Nana, 2006) bahwa pengawas sekolah berfungsi sebagai
supervisor baik supervisor akademik maupun supervisor manajerial.
Sebagai supervisor akademik, pengawas sekolah berkewajiban untuk
membantu kemampuan profesional guru agar guru dapat
meningkatkan mutu proses pembelajaran. Sedangkan sebagai
supervisor manajerial, pengawas berkewajiban membantu kepala
sekolah agar mencapai sekolah yang efektif. Pembinaan dan
pengawasan kedua aspek tersebut hendaknya menjadi tugas pokok
pengawas sekolah.(uraian lebih lanjut dalam bagian tersendiri).
Semua produk hukum itu mengarahkan bahwa kedudukan
pengawas bukan hanya sebagai jabatan buangan dan pajangan di
kantor dinas pendidikan, tetapi mempunyai fungsi penggerak
kemajuan pendidikan di sekolah.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

Teori Organisasi

12:27 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

1. Classic
Pada mulanya teori administrasi/manajemen atau organisasi telah dirancang secara tradisional/klasik. Terdapat 3 kategori pokok pendekatan klasik ini: (1) scientific management; (2) administrative management; dan (3) the bureaucratic model of organization (Beach, 1980: 133).
a. Scientific management.
Pendiri gerakan manajemen ilmiah ini adalah Frederick W. Taylor (1856-1915), seorang insinyur dan ahli manajemen Amerika. Dia tidak menciptakan teori umum mengenai organisasi; namun hanya mengusulkan sejumlah teknik dan filsafat yang diturunkan dari pengalamannya yang lebih luas di bidang manajemen dan konsultan. Dia menaruh perhatian pada manajemen pabrik dan efisiensi, memperkenalkan konsep dan teknik analisa/studi jabatan, analisa waktu, standarisasi jabatan, spesialisasi tugas, penentuan keseimbangan kerja, seleksi pegawai secara teliti, teknik pelatihan staf, dan kompensasi berupa insentif gaji untuk membantu mencapai hasil kerja yang lebih tinggi.
Taylor memindahkan tanggungjawab kegiatan perencanaan yang semula ditangani para pekerja (bawahan) diserahkan kepada seorang spesialis manajemen. Dia juga memperkenalkan sistem pengelolaan pabrik yang disebut dengan functional foremanship (kepengawasan fungsional yang dilakukan para mandor). Meskipun tidak bertahan lama, sistem ini merupakan pembuka jalan ke arah perluasan perencanaan staf dan sistem pengawasan di pabrik-pabrik.
Secara umum, kita memandang bahwa gerakan manajemen ilmiah yang dipelopori Taylor diarahkan pada pencapaian produktivitas kerja yang tinggi, keuntungan yang lebih besar, biaya murah, dan sistem pengawasan mesin-manusia yang lebih efektif.
b. Administrative Management.
Kalau scientific management memfokuskan perhatiannya pada organisasi dari level manajemen bawah, maka para teoritisi manajemen administratif memandang organisasi dari puncak (from the top-down). Para pemuka manajemen administratif ini antara lain: Henri Fayol, seorang industrialis Perancis; L. Gulick, spesialis administrasi publik dan akademisi; Lyndall Urwick, seororang teoritisi dan konsultan Inggris; James D. Mooney dan Alan C Reiley, pimpinan dari General Motor, Amerika (Burhanuddin, 1994).
Para teoritisi manajemen adminisitratif tersebut mengumandangkan prinsip-prinsip organisasi dan manajemen secara umum. Meskipun prinsip-prinsip yang mereka kemukakan berbeda satu sama lain, namun pada umumnya mereka mempunyai kesatuan proposisi sebagai berikut :
• Spesialisasi fungsi dan pembagian kerja penting bagi efisiensi.
• Tanggung jawab dan kekuasaan supervisor dan manajer harus dilukiskan secara jelas. Di sana harus terdapat garis kekuasaan secara jelas, dari atas ke bawah. Kekuasaan harus mengalir dari atas ke bawah, melalui struktur organisasi yang ada. Tanggung jawab harus sepadan dengan kekuasaan. Setiap anggota organisasi hanya memiliki satu pimpinan atau komando (unity of command).
• Koordinasi fungsi dan anggota kelompok harus dilakukan oleh manajer di setiap unit.
• Segala perintah, informasi dan pengaduan-pengaduan harus disalurkan melalui garis kekuasaan yang sudah ditetapkan.
• Jumlah bawahan yang harus diawasi oleh seorang supervisor dibatasi antara 5 atau 6 orang. Namun belakangan formulasi demikian tidak begitu diterima, dan diperluas dengan batasan jumlah orang-orang yang diawasi sesuai dengan situasi atau kompleksitas kerja atau faktor-faktor lain.
• Pertama-tama, rancanglah organisasi dan tugas-tugas kemudian temukanlah orang-orang yang dapat menangani tugas-tugas yang telah dirumuskan tersebut. Janganlah membentuk pekerjaan (job) untuk dicocokkan pada kemampuan dan minat individual.
c. Bureaucratic Model
Konsep model birokrasi ini berasal dari Sosiolog Jerman Max Weber, yang banyak menghasilkan karya tulis pada tahun 1900-1920. Weber memandang dunia, khususnya masyarakat, secara sekular dan rasional. Di dalam membangun dan mengoperasikan suatu lembaga manusia yang terlibat di dalamnya, cenderung mendasarkan tindakannya pada pengetahuan, pengambilan keputusan rasional, teknologi dan sangat sedikit sekali pada hal-hal mistik dan gaib. Dia memandang birokrasi yang ada di organisasi merupakan alat yang sangat efisien dalam mengoperasikan organisasi-organisasi yang berskala besar, baik swasta maupun milik pemerintah.
Ciri-ciri pokok birokrasi ini adalah :
• Pembagian kerja yang tegas dan spesialisasi yang tinggi,
• Setiap biro yang ada di bawah berada di bawah kontrol yang lebih tinggi (hierarkis),
• Sistem pemerintahan diadministrasikan secara obyektif,
• Penempatan tenaga kerja, penugasannya didasarkan pada kualifikasi, bukan pada hubungan sanak famili atau favoritas.
• Adanya keamanan kerja bagi bawahan, dan
• Penggunaan catatan, dokumen, dan arsip-arsip secara ekstensif.
2. Behavioral Science
Para penyokong bidang ini, mulai kerjanya dari tahun 1920-an sampai dengan awal 1950-an. Mereka dinamakan human relationist. Pada tahun-tahun itu mereka tidak disebut sebagai ilmuwan behavioral. Pada pokoknya mereka sebenarnya adalah para psikolog dan sosiolog industri milik Perguruan Tinggi. Industri privat adalah laboratorium mereka. Penemuan-penemuan (riset) Elton Mayo dan teman-temannya di Universitas Harvard terhadap Hawthorne Works or The Western Electric Company di Chicago menandai munculnya gerakkan human relation ini. Penelitian tersebut berlangsung sejak tahun 1927 sampai pada tahun 1932. Rangkaian studi ini membuktikan kunci pentingnya tekanan-tekanan kelompok, hubungan sosial, dan sikap terhadap supervisi dan pekerjaan yang menentukan produktivitas kelompok.
Kalau teoritisi organisasi klasik menaruh perhatian mereka pada tugas, struktur, dan kekuasaan. maka para ahli human relation ini menekankan pada dimensi manusianya. Organisasi dipandang sebagai suatu sistem sosial sebagaimana dikembangkan oleh para sosiolog dalam menawarkan bentuk dan desain organisasi (Champoux, 2003), demikian juga yang diterapkan dalam teknik ekonomi. Kelompok kerja informal diidentifikasikan sebagai sumber kontrol pekerja yang utama. Kedua bentuk organisasi baik formal maupun informal harus diperhitungkan untuk menjelaskan sebagaimana dan mengapa suatu organisasi berfungsi sedemikian rupa.
Penulis-penulis tradisional memandang kekuasaan pada pemimpin dan upah sebagai motivator primer. Sementara para ahli yang menganut paham hubungan manusiawi menekankan pentingnya faktor-faktor psikologis dan sosial didalam membentuk tingkah laku anggota organisasi. Kebanyakan para teoritisi hubungan manusiawi beranggapan bahwa perencanaan manajemen dan pengambilan keputusan memberikan pengaruh positif baik terhadap “morale” maupun produktivitas. Para manajer diingatkan bahwa tingkah laku manusia di organisasi terdiri dari komponen rasional dan non rasional Perasaan-perasaan, sentimen, dan nilai-nilai merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para manajer. Pengaruh human relation begitu pesat, sehingga muncul latihan-latihan manajemen di bidang industri dan pemerintah yang memuat program motivasi, “morale” kepemimpinan, komunikasi antar pribadi, keterampilan memberikan penyuluhan, dan dinamika kelompok. Tegasnya manajer-manajer lebih disadarkan pada pentingnya dimensi monusia.
Walaupun demikian, gerakan human relation ini juga tidak terlepas dari kritik-kritik terutama yang datang dari lapangan industri. Para ahli human relation dianggap terlalu lunak tertadap para pekerja, menekankan pada usaha yang bersifat memanipulasi para bawahan, tidak mengindahkan pengaruh yang muncul dari perserikatan-perserikatan, dan teknologi yang digunakan organisasi.
Para pendukung modern menolak penggunaan istilah human relations. Mereka sebaliknya menamakan diri dengan istilah behavioral scientists (ilmuwan tingkah laku manusia), psikolog organisasi, teoritisi organisasi. dan para ahli pengembangan organisasi. Di antara sekian banyaknya para ahli yang mendukung antara lain: Douglas Mc gregor, Rensis Likert, Frederick Herzberg, Warren Bennis dan Chris Argyris (dalam Burhanuddin, 1994; Yukl, 2002).
Meskipun masing-masing ahli tersebut memberikan dukungan mereka secara unik bagi pendekatan behavioral science namun terdapat kesatuan dan konsistensi tema di antara pandangan mereka. Mereka menunjukkan suatu pandangan yang optimis terhadap hakikat manusia. Mereka juga mempercayai adanya kemuliaan dasar yang dimiliki manusia. Lebih jauh lagi, bahwa prestasi kerja dapat dicapai melalui bimbingan dan pengawasan secara mandiri, bukan melalui birokrasi yang kaku. Dengan demikian, tindakan job enrichment akan lebih efektif ketimbang model pembagian kerja/pembatasan tugas yang sempit. Motivasi positif, kepemimpinan suportif, dan metode-metode supervisi kelompok lebih dipentingkan. Mereka juga berpendirian bahwa iklim organisasi yang layak adalah suatu iklim dimana semua anggota kelompok dan manajer lebih bersikap terbuka, tulus dan saling mempercayai. Kerja sama dan teamwork lebih baik daripada sistem kompetisi antar pribadi yang tidak sehat, dan umumnya bersifat merusak seperti kebanyakan kita saksikan di organisasi-organisasi tidak terkecuali lembaga pendidikan semacam sekolah.
3. System Aproach
Pendekatan ketiga dalam menganalisis organisasi adalah dengan menerapkan konsep sistem. Teori sistem sudah populer sejak beberapa dasawarsa yang lalu karena kemampuannya dalam menyuguhkan suatu model sistem universal yang mencakup berbagai bidang kehidupan: fisik, biologis, sosial, dan fenomena tingkah laku manusia. Para teoritisi mencoba menemukan generalisasi-generalisasi yang membantu dalam menjelaskan bagaimana berfungsinya segenap kesatuan dan proses.
Seperti telah disinggung sebelumnya, para teoritisi organisasi sebenamya memperlakukan organisasi itu sebagai suatu sistem. Sistem adalah suatu keseluruhan yang terorganisir, terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan bergantungan satu sarna lain. Ada beberapa konsep penting mengenai penerapan sistem terhadap organisasi, yaitu:
• Organisasi manusia lebih bercirikan sistem terbuka, yang-berarti berinteraksi dengan berbagai unsur yang ada di lingkungan.
• Organisasi cenderung mengarah kepada suatu dinamika atau keseimbangan yang bergerak (moving equilibrium). Anggota-anggota organisasi berusaha mempertahankan dan memelihara organisasi agar tetap hidup. Mereka mereaksi segenap perubahan dan kekuatan-kekuatan baik yang ada di luar maupun dalam organisasi itu sendiri guna menemukan keadaan baru agar tetap seimbang.
• Untuk menjaga keseimbangan sistem organisasi, maka dikelola segenap informasi dari rangkaian kegiatan yang dapat memberikan umpan balik penyempurnaan setiap penyimpangan.
• Organisasi sebenarnya bagian dari hirarkhi sistem yang terdiri dari divisi, departemen, seksi-seksi dan kelompok individu. Atau tegasnya, organisasi tertentu bisa merupakan bagian atau sub dari sistem yang lebih besar.
• Ketergantungan adalah merupakan konsep kunci bagi teori sistem. Diterapkan dalam organisasi, berarti didalamnya terdiri dari komponen-komponen yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
• Konsep holism dalam memahami organisasi menunjukkan bahwa keseluruhan suatu struktur atau kesatuan adalah lebih dari sekedar kumpulan bagian-bagian. Konsep ini melandasi perlunya tindakan terpadu atau kompak (sinergy), yang berkaitan dengan kemampuan komponen-komponen organisasi untuk mencapai sasaran bersama. Tindakan bersama diayakini dapat melebihi hasil yang dicapai , dibandingkan secara perorangan.
Konsep sistem menolong kita dalam mendiagnosa hubungan yang saling berinteraksi di antara tugas/kegiatan, teknologi, lingkungan dan anggota organisasi. Para praktisi menerapkan konsep sistem dalam merancang, membangun, mengoperasikan sistem info manajemen dan proses automasi. Lebih jauh lagi penggunaannya dilihat pada rancangan-rancangan organisasi matriks dan proyek.
Berbeda dengan model-model organisasi klasik, pendekatan sistem menunjukkan bahwa para manajer sesungguhnya beroperasi dalam situasi yang mudah berubah, dinamis, dan sering tidak menentu. Mereka pada umumnya tidak berada dalam kontrol sepenuhnya (terkendali) terhadap situasi-situasi, dan harus berusaha menyesuaikan kegiatan/tindakan, mencapai kemajuan ke arah tujuan yang ditetapkan, di samping menyadari bahwa hasil-hasil yang akan diperoleh itu juga dipengaruhi oleh banyak faktor dan kekuatan.
4. Contingency
Sebelumnya teoritisi memandang, bahwa prinsip-prinsip organisasi dan manajemen telah muncul secara universal. Namun, penelitian empiris yang dilaksanakan selama dua puluh tahun terakhir ini membuktikan bahwa rancangan organisasi secara optimal bergantung pada banyak faktor, baik yang ada di dalam maupun luar organisasi. Oleh karena itu, hasil-hasil pemikiran kontemporer sesungguhnya menganjurkan pendekatan kontigensi ini dalam mendesain suatu organisasi. Dan ini membutuhkan suatu tindakan penilaian terhadap banyak kekuatan atau pendorong yang saling berinteraksi.
Organisasi menurut pandangan kontigensi ini bukanlah beroperasi dalam suasana vacum, melainkan berada dalam situasi yang lebih kompleks dan menghadapi banyak faktor baik yang bersifat mendorong maupun menghambat yang kesemuanya harus dipertimbangkan secara matang, guna kesuksesan organisasi itu sendiri.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

LANGKAH STRATEGIS MENINGKATKAN KINERJA GURU

12:16 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Kinerja guru yang ditunjukkan dapat diamati dari kemampuan guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang tentunya sudah dapat mencermikan suatu pola kerja yang dapat meningkatkan mutu pendidikan kearah yang lebih baik. Seseorang akan bekerja secara profesional bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, seseorang tidak akan bekerja secara profesional bilamana hanya memenuhi salah satu diantara dua persyaratan di atas. Jadi betapapun tingginya kemampuan seseorang, ia tidak akan bekerja secara profesional apabila tidak memiliki kepribadian dan dedikasi dalam bekerja yang tinggi. Guru yang memiliki kinerja yang baik tentunya memiliki komitmen yang tinggi dalam pribadinya artinya tercermin suatu kepribadian dan dedikasi yang paripurna. Tingkat komitmen guru terbentang dalam satu garis kontinum, bergerak dari yang paling rendah menuju paling tinggi.
Guru yang memiliki komitmen yang rendah biasanya kurang memberikan perhatian kepada murid, demikian pula waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang sangat sedikit. Sebaliknya seseorang guru yang memiliki komitmen yang tinggi biasanya tinggi sekali perhatiannya dalam bekerja. Demikian pula waktu yang disediakan untuk peningkatan mutu pendidikan sangat banyak. Sedangkan tingkat abstraksi yang dimaksudkan di sini adalah tingkat kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, mengklarifikasi masalah-masalah pembelajaran, dan menentukan alternatif pemecahannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Glickman (dalam Bafadal I, 2003) yang menyatakan bahwa “guru yang memiliki tingkat abstraksi yang tinggi adalah guru yang mampu mengelola tugas, menemukan berbagai permasalahan dalam tugas dan mampu secara mandiri memecahkannya”.
Langkah strategis dalam upaya meningkatkan kinerja guru dapat dilakukan melalui beberapa terobosan antara lain :
1. Kepala Sekolah harus memahami dan melakukan tiga fungsi sebagai penunjang peningkatan kinerja guru antara lain :
a. Membantu guru memahami, memilih dan merumuskan tujuan pendidikan yang dicapai.
b. Mendorong guru agar mampu memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi dan dapat melihat hasil kerjanya.
c. Memberikan pengakuan atau penghargaan terhadap prestasi kerja guru secara layak, baik yang diberikan oleh kepala sekolah maupun yang diberikan semasa guru, staf tata usaha, siswa, dan masyarakat umum maupun yang diberikan pemerintah.
d. Mendelegasikan tanggung jawab dan kewenangan kerja kepada guru untuk mengelola proses belajar mengajar dengan memberikan kebebasan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil belajar.
e. Membantu memberikan kemudahan kepada guru dalam proses pengajuan kenaikan pangkatnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
f. Membuat kebijakan sekolah dalam pembagian tugas guru, baik beban tugas mengajar, beban administrasi guru maupun beban tugas tambahan lainnya harus disesuaikan dengan kemampuan guru itu sendiri.
g. Melaksanakan tehnik supervisi yang tepat sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan keinginan guru-guru secara berkesinambungan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam proses pembelajaran.
h. Mengupayakan selalu meningkatkan kesejahteraannya yang dapat diterima guru serta memberikan pelayanan sebaik-baiknya.
i. Menciptakan hubungan kerja yang sehat dan menyenangkan dilingkungan sekolah baik antara guru dengan kepala sekolah, guru dengan guru, guru dengan siswa, guru dengan tata usaha maupun yang lainnya.
j. Menciptakan dan menjaga kondisi dan iklim kerja yang sehat dan menyenangkan di lingkungan sekolah, terutama di dalam kelas, tempat kerja yang menyenangkan, alat pelajaran yang cukup dan bersifat up to date, tempat beristirahat di sekolah yang nyaman, kebersihan dan keindahan sekolah, penerangan yang cukup dan masih banyak lagi.
k. Memberiukan peluang pada guru untuk tumbuh dalam meningkatkan pengetahuan, meningkatkan keahlian mengajar, dan memperoleh keterampilan yang baru.
l. Mengupayakan adanya efek kerja guru di sekolah terhadap keharmonisan anggota keluarga, pendidikan anggota keluarga, dan terhadap kebahagiaan keluarganya.
m. Mewujudkan dan menjaga keamanan kerja guru tetap stabil dan posisi kerjanya tetap mantap sehingga guru merasa aman dalam pekerjaannya.
n. Memperhatikan peningkatan status guru dengan memenuhi kelengkapan status berupa perlengkapan yang mendukung kedudukan kerja guru, misalnya tersediahnya ruang khusus untuk melaksanakan tugas, tempat istirahat khusus, tempat parkis khusus, kamar mandi khusus dan sebagainya. ( Junaidin, 2006).
o. Menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa dan anggota masyarakat untuk mensukseskan program-program pendidikan di sekolah.
p. Menciptakan sekolah sebagai lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis dan nyaman sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yang tinggi.
Langkah lain yang dilakukan oleh sekolah untuk meningkatkan kinerja guru melalui peningkatan pemanfaatan teknologi informasi yang sedang berkembang sekarang ini dan mendorong guru untuk menguasainya. Melalui teknologi informasi yang dimiliki baik oleh daerah maupun oleh individual sekolah, guru dapat melakukan beberapa hal diantaranya : (1) melakukan penelusuran dan pencarian bahan pustaka, (2) membangun Program Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) untuk memodelkan sebuah rencana pengajaran, (3) memberi kemudahan untuk mengakses apa yang disebut dengan virtual clasroom ataupun virtual university, (4) pemasaran dan promosi hasil karya penelitian.
Dengan memanfaatkan teknologi informasi maka guru dapat secara cepat mengakses materi pengetahuan yang dibutuhkan sehingga guru tidak terbatas pada pengetahuan yang dimiliki dan hanya bidang studi tertentu yang dikuasai tetapi seyogyanya guru harus mampu menguasai lebih dari bidang studi yang ditekuninya sehingga bukan tidak mungkin suatu saat guru tersebut akan mendalami hal lain yang masih memiliki hubungan erat dengan bidang tugasnya guna meningkatkan kinerja ke arah yang lebih baik.
2. Dinas Pendidikan setempat selaku pihak yang ikut andil dalam mengeluarkan dan memutuskan kebijakan pada sektor pendidikan dapat melakukan langkah sebagai berikut :
a. Memberikan kemandirian kepada sekolah secara utuh
b. Mengontrol setiap perkembangan sekolah dan guru.
c. Menganalisis setiap persoalan yang muncul di sekolah
d. Menentukan alternatif pemecahan bersama dengan kepala sekolah dan guru terhadap persoalan yang dihadapi guru
Kinerja guru tidak dapat berdiri sendiri melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor lain melalui interaksi sosial yang terjadi di antara diri mereka sendiri maupun dengan komponen yang lain dalam sekolah. Hal lain yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan moral kerja guru. Moral kerja sebagai suatu sikap dan tingkah laku yang merupakan perwujudan suatu kemauan yang dibawa serta ke sekolah dan kerjannya. Pemahaman tentang moral kerja yang belum sempurna menyebabkan tidak dapat mempengaruhi kinerja secara spesifik. Padahal moral kerja yang tinggi dapat meningkatkan semangat untuk bekerja lebih baik. Moral kerja dapat pula dipengaruhi oleh motif-motif tertentu yang bersifat subyektif maupun obyektif. Adapun yang menjadi motif untuk bekerja lebih baik adalah kebutuhan-kebutuhan (needs) yang menimbulkan suatu tindakan perbuatan yang menimbulkan suatu perbuatan (behaviour) yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (goals).
Bafadal I (2003) memberikan suatu contoh akan pentingnya pemenuhan kebutuhan sebagai berikut :
“misalnya seseorang pasti membutuhkan makanan untuk mempertahkankan eksistensi hidupnya. Apabila tidak mendapatkan makanan orang itu akan mati kelaparan. Makanan pada konteks ini merupakan kebutuhan (needs). Oleh karena itu makanan merupakan kebutuhan yang memaksa seseorang melakukan tindakan perbuatan (behaviour)”.
Hubungan kebutuhan dan tindak perbuatan divisualisasikan melalui gambar berikut :
Kebutuhan ==== Tindakan Perbuatan ====== Tujuan
Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar-mengajar. Namun demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional mengajar dan tingkat kesejahteraannya.
Reformasi pendidikan merupakan respons terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azazi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal.
Menurut Louis V. Gerstner, Jr.,dkk (1995) (dalam Aqib Z, 2003) mengatakan bahwa :
“Sekolah abad masa depan memiliki ciri-ciri antara lain (1) kepala sekolah yang dinamis dan komunikatif dengan kemerdekaan memimpin menuju visi keunggulan pendidikan, (2) memiliki visi, misi, dan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dengan jelas, (3) guru-guru yang berkompeten damn berjiwa kader yang senantiasa bergairah dalam melaksanakan tugas profesionalnya secara inovatif, (4) siswa-siswa yang sibuk, bergairah, dan bekerja keras dalam mewujudkan perilaku pembelajaran, dan (5) masyarakat dan orang tua yang berperan serta dalam menunjang pendidikan”.
Upaya mewujudkan sisi guru dalam reformasi pendidikan beberapa asumsi dasar yang harus mendapat pertimbangan antara lain :
a. guru pada dasarnya merupakan faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan
b. jumlah guru dengan kecakapan akademik yang baik, cenderung menurun di masa yang akan datang, sepanjang secara material sosial, jabatan guru tidak menarik dan menjanjikan bagi generasi muda yang memiliki kualitas akademik yang cemerlang
c. kepercayaan masyarakat terhadap guru sangat bergantung dari persepsi yang berkenaan dengan status guru terutama yang berkaitan dengan kualitas pribadi, kualitas kesejahteraan, penghargaan material, kualitas pendidikan, dan standar profesi
d. anggaran belanja pendidikan, imbal jasa (gaji dan tunjangan lainnya), dan kondisi kerja guru merupakan faktor yang mendasar bagi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan kinerja yang efektif
e. masyarakat dan orang tua mempunyai hak akan pendidikan yang terbaik buat anak-anaknya
f. disisi lain guru diharapkan menunjukkan kinerja atas dasar moral dan profesional yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kaitan ini, guru mempunyai keterikatan yang erat dengan kualitas dan hasil pendidikan.(Aqib Z., 2003).
Ungkapan di atas bermakna bahwa posisi guru pada era dalam reformasi pendidikan merupakan posisi yang memiliki peran besar yang harus dijalankan guru dalam mewujudkan mutu pendidikan yang lebih baik. Sehingga berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kinerja guru perlu dilakukan perbaikan seperti kualitas kesejahteraan, kualitas moral dan kualitas profesi dan lain-lain yang dimiliki guru sebagai penentu keberhasilan pendidikan, maka tidak salah jika ada keinginan memperbaiki mutu pendidikan akan berkaitan dengan memperbaiki posisi guru.
Untuk mewujudkan kinerja guru yang profesional dalam reformasi pendidikan, secara ideal ada beberapa karakteristik citra guru yang diharapkan antara lain
a. guru harus memiliki semangat juang yang tinggi disertai dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap.
b. guru yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek.
c. guru yang mempunyai kualitas kompetensi pribadi dan profesional yang memadai disertai atas kerja yang kuat.
d. guru yang mempunyai kualitas kesejahteraan yang memadai.
e. guru yang mandiri, kreatif, dan berwawasan masa depan.
Untuk mewujudkan guru yang memiliki karakteristik seperti di atas maka perlu dilakukan langkah nyata yang dapat dilakukan pemerintah antara lain : (1) pemerintah harus ada kemauan politik untuk menempatkan posisi guru dalam keseluruhan pendidikan nasional, (2) mewujudkan sistem manajemen guru dan tenaga kependidikan lainnya yang meliputi pengadaan, pengangkatan, penempatan, pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan secara terpadu yang sistematik, sinergik dan simbolik, (3) pembenahan sistem pendidikan guru yang lebih fungsional untuk menjamin dihasilkannya kualitas profesional guru dan tenaga kependidikan lainnya, (4) pengembangan satu sistem pengganjaran (gaji dan tunjangan lainnya) bagi guru secara adil, bernilai ekonomis, dan memiliki daya tarik sedemikian rupa sehingga merangsang guru untuk melaksanakan tugasnya dengan penuh dedikasi dan memberikan kepuasan lahir batin (Aqiz Z., 2003).
Pada era otonomi daerah, Pendapatan yang diterima guru bervariasi, baik ditinjau dari jenjang sekolah maupun lokasi daerah. Tunjangan guru di sekolah pada jenjang yang lebih rendah adalah lebih rendah dari pada tunjangan guru di sekolah yang lebih tinggi. Demikian pula, tunjangan guru di sekolah yang berada di kota adalah lebih tinggi daripada tunjangan guru di sekolah yang berada di pinggir kota dan desa. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan kebutuhan sekolah dan kemampuan orang tua dalam memberikan sumbangan dana terhadap sekolah. Ekonomi orang tua di perkotaan adalah cenderung lebih kuat dibandingkan dengan ekonomi orang tua di pinggir kota dan desa. Sedangkan, besarnya tunjangan kepada guru yang diberikan sekolah didasarkan atas RAPBS dan kekuatan orang tua siswa. Tunjangan kepada guru memberikan efek yang signifikan terhadap hasil belajar yang diperoleh siswa. Siswa yang berada di kota lebih berprestasi daripada siswa di pinggir kota dan desa. Demikian pula, siswa yang ada di pinggir kota lebih berprestasi dari pada siswa di desa. Meski prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan daya dukung orang tua, namun presatasi tersebut juga dipengaruhi oleh tunjangan kepada guru. Tunjangan guru yang berada di kota adalah cenderung lebih besar, sehingga lebih dapat berkonsentrasi dalam mengajar. Sebaliknya, tunjangan guru di desa adalah lebih kecil dan hal ini menyebabkan konsentrasi mengajar kurang. Analisis-analisis tersebut lebih nampak pada ilustrasi studi kualitatif sebagaimana dipaparkan di bawah ini (Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003)
Kalau seorang guru dapat membeli pesawat televisi, radio tape, sepeda motor, dan barang-barang mewah lainnya atau mengangsur perumahan, hal itu karena utang dengan menggunakan agunan gaji mereka setiap bulan dipotong. Sedangkan gaji guru di negara lain cukup untuk kebutuhan satu bulan, berekreasi, membeli buku, dan menabung. Bila dibandingkan dengan kesejahteraan pegawai negeri sipil lain di Indonesia, secara nominal gaji guru lebih tinggi untuk golongan yang sama, misalnya sama- sama golongan III C antara pegawai negeri sipil guru dan non-guru, karena guru mendapat tambahan tunjangan fungsional. Tetapi, jam kerja pegawai negeri sipil (PNS) non-guru terbatas, sehari hanya delapan jam atau seminggu 42 jam. Sedangkan jam kerja guru tidak terbatas. memang mengajarnya hanya pukul 07.00-12.45, tetapi sebelum mengajar harus menyiapkan bahan, administratif (buat satuan pelajaran), dan setelah mengajar mereka harus mengoreksi hasil pekerjaan murid.
Disisi lain peluang untuk memperoleh pendapatan tambahan di luar gaji bagi PNS non-guru lebih terbuka karena sering ada proyek-proyek atau urusan lain dengan masyarakat. Adapun guru, peluangnya untuk memperoleh tambahan pendapatan hanya bila melakukan pungutan tambahan kepada murid atau bisnis. Namun, hal itu langsung akan mendapat respons negatif dari masyarakat. Harapan masyarakat terhadap guru memang bukan hanya perannya di dalam kelas saja, tetapi juga di luar kelas juga dapat memberikan teladan. Tetapi peran memberi teladan ini tidak pernah dihargai secara material dan sosial.
Ada delapan hal yang diinginkan oleh guru melalui kerjannya yaitu (1) adanya rasa aman dan hidup layak, (2) kondisi kerja yang diinginkan, (3) rasa keikutsertaan, (4) rerlakuan yang wajar dan jujur, (5) rasa mampu, (6) pengakuan dan penghargaan atas sumbangan, (7) ikut bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah, (8) kesempatan mengembangkan self respect (Bafadal I, 2003)
Sedangkan menurut teori kebutuhan Maslow bahwa kebutuhan manusia dibagi dalam lima tingkatan antara lain (1) kebutuhan fisiologi secara universal seperti makanan, minuman, pakaian dan perumahan, (2) kebutuhan rasa aman (safety or security needs), (3) kebutuhan Kebutuhan sosial , (4) kebutuhan harga diri (esteem or ego needs), (5) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs).
Menurut Hopson and Scally (dalam Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003) bahwa diskursus paradigma pendidikan antara investment based vs out came based membawa implikasi imperatif terhadap penataan manajemen pendidikan di era otonomi daerah. Dalam era ini, manajemen perlu ditata secara demokratis, kreatif, dan menguntungkan bersama. Fungsi pendidikan perlu ditata ulang tidak hanya sekedar menjalankan tugas rutin mengajar. Namun lebih dari itu, yakni mewujudkan educated man yang mempunyai life skills berkulitas tinggi.

0 Komentar Tog Bhe Maseh:

KEPEMIMPINAN EFEKTIF

12:14 PM URAY ISKANDAR 1 Comments

Oleh : Uray Iskandar

a. Pengertian Kepemimpinan
Seorang pemimpin mendesain pekerjaan beserta mekanismenya, didukung staf yang melaksanakan tugas sesuai kemampuan dan keahliannya. Pemimpin menggunakan pengaruh atas dasar wewenang atu kekuasaannya dalam menggerakkan sistem sosial guna mencapai tujuan. Jadi kepemimpinan sebagai menciptakan visi, mempengaruhi sikap, perilaku, pendapat, nilai-nilai, norma dan sebaginya dari pengikut. Senada dengan itu Martin J. Canon (1982) dalam Syaiful Sagala mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan atasan mempengaruhi perilaku bawahan maupun perilaku kelompok dalam organisasi.
Menurut Ngalim Purwanto ( 2009: 26 ) bahwa kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dn dapat melaksanakan tugas-tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ad kegembiraan bathin serta merasa tidak terpaksa.
Sedangkan menurut Sudarwan Danim ( 2010: 6 ) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasikan dan memberi arah kepada individu atau kelompok yang tergabung di dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Selanjutnya menurut Wahyudi ( 2009 :120 ) bahwa pengertian kepemimpinan adalah sebagai kemampuan seseorang dalam menggerakkah, mengarahkan sekaligus mempengaruhi pola pikir, cara kerja setiap anggota agar bersikap mandiri dalam bekerja terutama dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan percepatan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Berikutnya menurut Dadi Permadi, dkk ( 2010 : 23 ) kepemimpinan merupakan proses kegiatan pemimpin untuk mempengaruhi individu atau kelompok yang dipimpinnya dalam usah mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
Becoming a naturally effective leader does not depend upon your ability to emulate the behaviors and attitudes of the “great leaders” you read about in books. Becoming a naturally effective leader simply requires you to stop trying to be someone else or some combination of other people. ( Gayla Hodges, President and Principal, Change Agents, Inc. Akses tanggal 7 Maret 2011 )

Menjadi seorang pemimpin alami yang efektif tidak tergantung pada kemampuan Anda untuk meniru perilaku dan sikap dari "pemimpin besar" anda baca dibuku. Menjadi seorang pemimpin alami yang efektif hanya mengharuskan Anda untuk berhenti mencoba menjadi orang lain atau beberapa kombinasi dari orang lain. Tentunya pemimpin efektif mulai dengan menjadi diri sendiri.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mengkoordinasikan segala kegiatan serta memberi arahan kepada individu atau kelompok kerja dalam rangka mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien.



b. Teori Kepemimpinan
1) Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory )
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan beerangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukannya diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan “the greatma theory” Dalam perkemabangannya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwaa sifat – sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan, akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain ; sifat fisik, mental dan kepribadian.
2) Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecenderungan kearah dua hal :
(a) Konsiderasi yaitu kecenderungan pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti: membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia bekonsultasi dengan bawahan.
(b) Struksur inisiasi yaitu kecenderungan seorang pemimpin yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat, bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil apa yang akan dicapai.Jadi berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi juga. Kemudian juga timbul teori kepemimpinan situasi dimana seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.
3) Teori kontingensi
Mulai berkembang tahun 1962, teori ini menyatakan bahwa tidak ada satu sistem manajemen yang optimum, sistem tergantung pada tingkat perubahan lingkungannya. Sistem ini disebut sistem organik (sebagai lawan sistem mekanistik), pada sistem ini mempunyai beberapa ciri:
(a) Substansinya adalah manusia bukan tugas.
(b) Kurang menekankan hirarki
(c) Struktur saling berhubungan, fleksibel, dalam bentuk kelompok
(d) Kebersamaan dalam nilai, kepercayaan
(e) Norma Pengendalian diri sendiri, penyesuaian bersama\
4) Teori Behavioristik
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa manajemen yang efektif bila ada pemahaman tentang pekerja – lebih berorientasi pada manusia sebagai pelaku. Beberapa tokohnya, antara lain:
(a) Maslow
Individu mempunyai 5 kebutuhan dasar yaitu physical needs, security needs, social needs, esteem needs, self actualization needs. Kebutuhan tersebut akan menimbulkan suatu keinginan untuk memenuhinya. Organisasi perlu mengenali kebutuhan tersebut dan berusaha memenuhinya agar timbul kepuasan.
(b) Douglas Mc Gregor (1906-1964)
Teori X dan teori Y. Teori X melihat karyawan dari segi pessimistik, manajer hanya mengubah kondisi kerja dan mengektifkan penggunaan rewards & punishment untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Teori Y melihat karyawan dari segi optimistik, manajer perlu melakukan pendekatan humanistik kepada karyawan, menantang karyawan untuk berprestasi, mendorong pertumbuhan pribadi, mendorong kinerja.
5) Teori Humanistik
Teori ini lebih menekankan pada prinsip kemanusiaan. Teori humanistic biasanya dicirikan dengan adanya suasana saling menghargai dan adanya kebebasan. Teori Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan “motivated organism”. Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel pokok, yaitu;
(a) kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya
(b) organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan.
(c) interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama.
Seorang pemimpin diharapkan memiliki kecakapan teknis maupun manajerial yang profesional. Kecakapan teknis sesuai dengan bidangnya, sedangkan kecakapan manajerial menuntut perannya dalam memimpin orang lain. Ketrampilan tersebut terpancar dalam tindakannya seperti menyeleksi, mendidik, memotivasi, mengembangkan sampai memutuskan hubungan kerja.
Oleh karena itu kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu organisasi, karena kepemimpinan yang efektif dapat menggerakkan, mengarahkan dan mendorong orang untuk lebih berusaha mengerahkan segenap kemampuannya dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Moeljono.2003:54) menyatakan bahwa konsep kepemimpinan sebagai berikut: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Maksudnya, seorang pemimpin hendaknya dapat membentuk, memperhatikan, memelihara, dan menjaga kehendak dan keperluan atasan kepada bawahan dengan baik, mampu bekerja sama, mencapai tujuan bersama (keberhasilan tim). Jadi kepemimpinan dalam pengambilan keputusan merupakan proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga terjadi peningkatan dan produktivitas kerjanya lebih baik dan ada peningkatan.
Kepala sekolah adalah pemimpin tertinggi di suatu sekolah. Setiap pemimpin mempunyai pola yang berbeda-beda dalam menerapkan kepemimpinannya. Cara mempengaruhi, mengarahkan, dan mendorong pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpinnya berbeda-beda. Perbedaan pola kepemimpinan itulah yang sering disebut sebagai tipe kepemimpinan.

c. Pemimpin efektif
Menjadi seorang pemimpin yang efektif secara alami hanya memerlukan seseorang untuk berhenti berusaha menjadi orang lain atau beberapa kombinasi dari orang lain. Tentu saja pemimpin yang efektif mulai dengan menjadi diri sendiri. Menurut Gayla Hodge (2009) dalam Sudarwan Danim bahwa karakteristik pemimpin yang efektif adalah sebagai berikut :
1) Memiliki Visi, pemimpin dapat melihat kemana organisasi harus pergi sebelum orang lain melakukannya.
2) Memiliki fokus untuk mencapai tujuan, pemimpin melakukan apa yang masuk akal dan bekerja dengan basis keunggulan
3) Memenangi dukungan, memanfaatkan gaya dan aktivitas yang paling cocok untuk mereka sebagai individu.
4) Secara alami lebih terfokus untuk menjadi daripada melakukannya, pemimpin mengambil waktu untuk benar-benar tahu diri mereka sendiri.
5) Tahu bagaimana mereka bekerja, pemimpin belajar dari keberhasilan dan kegagalan, mengasah kemampuan, mengintegrasikan pengalaman, keteranpilan, kompetensi dan kesadaran dirinya.
6) Secara alami tahu bagaimana memanfaatkan kekuatan
7) Tidak mencoba menjadi orang lain, seorang pemimpin memahami bahwa bekerja untuk diri sendiri hanya seketika berada pada posisi terbaiknya.
8) Mencari orang-orang dengan berbagai ciri efektivitas alam, pemimpin tidak hanya menghargai orang lain, melainkan juga bergantung pada orang lain untuk mengisi kekosongan.
9) Menarik orang lain, pemimpin dari orang-orang ingin bekerja untuk dengan mereka.
10) Mengembangkan kekuatan, dimana pemimpin membangun kekuatan diri sendiri sambil berusaha untuk memperbaiki kelemahannya

1 Komentar Tog Bhe Maseh: