Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah

4:40 PM URAY ISKANDAR 0 Comments

Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa “the commonly held beliefs of teachers, students, and principals.”

Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .

Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.
Tabel 1 Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya (Spanger)
No Nilai Perilaku Dasar
1 lmu Pengetahuan Berfikir
2 Ekonomi Beerja
3 Kesenian Menikmati Keindahan
4 Keagamaan Memuja
5 Kemasyarakatn Berbakti/berkorban
6 Politik/Kenegaraan Berkuasa/Memerintah
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
1. Obeserved behavioral regularities budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
2. Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian. Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, diantaranya mencakup : (1) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya; (2)Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan; (3) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan; (4) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global; (5) Berekspresi dan menghargai seni; (6) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani; (7) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002). Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu : (1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; (2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan; (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar; dan (4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
3. Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal. Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002). Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah. Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.
4. Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa : “pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
5. Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning.
6. Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “oorganizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the “atmosphere of the workplace” and people’s perceptions of “the way we do things here
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning).
D. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

You Might Also Like

0 Komentar Tog Bhe Maseh: