Manajemen Berbasis Sekolah
1. Pengertian ManajemenThe Liang Gie dalam (Mahtika, 2006:6) mengungkapkan bahwa manajemen adalah “segenap perbuatan menggerakkan sekelompok orang atau mengerahkan segala fasilitas dalam suatu kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu”.
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dalam (Siswanto, 2005:2) mengemukakan bahwa manajemen adalah “proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan seluruh sumber daya organisasi lainnya demi tercapainya tujuan organisasi”.Sedangkan pengertian manajemen menurut Daft (2002: 8) adalah “pencapaian sasaran-sasaran organisasi dengan cara efektif dan efesien melalui perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian sumber daya organisasi”.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam pengertian manajemen mempunyai tiga unsur pokok, yakni : (1) adanya tujuan yang akan dicapai, (2) tujuan tersebut dicapai dengan menggunakan kegiatan orang lain, dan (3) kegiatan orang lain tersebut perlu dibimbing dan diawasi. Dengan demikian manajemen adalah upaya pencapai tujuan tertentu dalam organisasi dengan pengenalian dan pendaya gunaan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya.
2. Fungsi Manajemen
Skinner, yang dikutip Anoraga (1997:24), menyatakan bahwa fungsi manajemen meliputi perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), pekekerjaan (Staffing), dan pengarahan (Directing). Sementara itu Flippo yang dikutif Nawawi (2000:78) menyatakan bahwa fungsi-fungsi manajemen terdiri dari perencanaan (planning), pengorganisasian (Organizing), pengarahan (Directing), dan pengendalian (Controlling).Dengan demikian perencanaan merupakan fungsi awal yang merupakan pedoman ke arah mana tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan perencanaan ini dapat dikurangi ketidakpastian, lebih mudahmengarahkan perhatian pada tujuan, dan lebih memudahkan dalam pengawasan.
Pengorganisasian menurut Ditjen Mandikdasmen dalam Buku Pembangunan Pendidikan SMP (2009: 40) “merupakan fungsi manajemen yang mengelompokkan orang- orang dan memberikan tugas, menjalankan tugas misi”. Karena terbatasnya kemampuan seseorang, perlu pembagian pekerjaan agar dapat diperoleh hasil yang optimal.
Adabeberapa hal yang perlu diperhatikan agar diperoleh bentuk struktur organisasi yang efesien (Ditjen Mandikdasmen 2009: 42) yaitu ”adanya spesialisasi dan pembagian pekerjaan, pendelegasian wewenang yang jelas, rentang kendali yang sesuai dengan kemampuan supervisi seseorang, proses pendelegasian dan pendelegasian unsur inti dan staf. Susunan kepegawaian (Staffing) merupakan fungsi manajemen untuk menyeleksi, menempatkan, melatih dan mengembangkan pegawai”.Adanya faktor manusia dalam suatu organisasi menjadikan organisasi tersebut menjadi dinamis. Adapun unsur manusia di dalam organisasi tersebut tidak dipilih dengan tepat dan melakukan tugas sesuai fungsinya, maka akan muncul banyak masalah dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu fungsi penyusunan sangatlah penting.
Manajemen atau pengelolaan merupakan sesuatu hal yang bersifat integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Alasannya tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif dan efesian. Konsep tersebut juga berlaku di sekolah yang memerlukan manajemen yang efektif dan efesien. Manajemen sekolah juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan minat peserta didik, guru, orang tua, dan masyarakat setempat. Untuk itu perlu dipahami fungsi pokok manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan. Yang dalam prakteknya kelima fungsi tersebut merupakan suatu proses yang berkesinambungan.
3. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based management”. Manajemen berbasis sekolah (Ditjen Mandikdasmen, 2009:37) pada hakekatnya adalah “penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untu memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”.
Sejalan dengan pengertian di atas, Slamet (2002:17) menyatakan bahwa :
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis dan mandiri oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok berkepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan secara partisifatif.
Sementara itu BPPN dan Bank Dunia dalam (Mulyasa, 2002:11) mengungkapkan bahwa :”manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisifasi masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional”.
Sementara itu menurut Ogawa dan White dalam (Rohiat, 2009:47) menjelaskan bahwa:
School Based Management (SBM) is one form of restructuring that has gained widespread attention. Like others, it seeks to change the way school system conduct business. It is aimed squarely at improving the academic performance of school by changing their organizational design. Drawing on the experiences of existing programs.
Dalam hal ini Ogawa dan White menjelaskan bahwa MBS merupakan suatu bentuk restrukturisasi yang sudah mencuri perhatian secara luas. MBS merubah cara sistem sekolah melaksanakan urusannya. Hal ini dimaksud untuk meningkatkan kinerja akademik sekolah dengan mengubah rancangan organisasi mereka. Hal ini tergambar dari rumusan-rumusan pada program yang ada.
Dari konsep pengertian MBS yang dikemukakan di atas, dapat ditegaskan bahwa sekolah dituntut secara mandiri dalam menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas mengendalikan dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Dengan adanya pengalihan kewenangan kepada sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakat.
Dengan demikian tujuan utama penerapan manajemen berbasis sekolah adalah untuk meningkatkan efesiensi pengelolaan serta mutu dan relevansi pendidikan di sekolah. Kerena dengan adanya wewenang atau otonomi yang lebih besar dan lebih luas lagi dalam mengelola urusannya maka efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan akan lebih tinggi karena sekolahlah yang lebih tahu tentang kebutuhan dan kondisinya. Jadi MBS adalah merupakan model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan mutu sekolah yang melibatkan semua warga sekolah.
4. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah “memberdayakan sekolah, terutama sumberdaya manusianya” (Slamet, 2003:9). Di samping itu Rohiat menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan “meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata pengelolaan sekolah yang baik, yaitu partisipasi, transparasi, dan akuntabilitas” (2009:132).
Pemberdayaan sumberdaya manusianya terjadi melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan upaya memecahkan masalah yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. Menurut Slamet, ciri sekolah yang berdaya adalah : (1) tingkat kemandirian yang tinggi, (2) tingkat ketergantungan rendah, (3) bersifat adaptif dan antisipatif, (4) memiliki jiwa kewiraswastaan yang tinggi, (5) bertanggung jawab terhadap hasil sekolah, dan (6) memiliki control yang kuat terhadap input sekolah.
Adapun esensi penting dari manajemen berbasis sekolah yaitu “otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif” (Depdiknas, 2001:15). Otonomi sekolah diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak terlalu bergantung kepada pihak lain. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis, di mana warga sekolah (stakeholder) didorong untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan.
Secara spesifik manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk : (1) mendorong peningkatan mutu sekolah karena fokus penekanannya pada tiga komponen yaitu input-proses-output atau out come, (2) meningkatkan partisipasi warga sekolah dalam proses pengambilan keputusan, (3) meningkatkan akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat sebagai konsekwensi keterlibatan masyarakat dalam proses persekolahan. Durry dan Levin (1994) mengemukakan tujuan jangka pendek penerapan MBS, yaitu : (1) meningkatkan efesiensi penggunaan sumberdaya, (2) meningkatkan profesionalisme guru, dan (3) mendorong implement tasi pembaharuan kurikulum di sekolah.
5. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1997) dalam Fullan, M., & Watson, N. (2000: 51) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993: 67) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) dalam Fullan, M., & Watson, N. (2000:56) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Israel bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”. Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) dalam Fullan, M., & Watson, N. (2000:57) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring dalam Caldwell, B. J. (2002:18), arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement”.
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) dalam Caldwell, B. J. (2002:18) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. Ia menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keter-libatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperan serta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang tepat antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS (Depdiknas. 2000: 32) yang efektif mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
a. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
b. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
d. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
e. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
6. Syarat Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan komite sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan komite sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.” (Depdiknas. 2000: 52).
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS (Ditjen Mandikdasmen, Depdiknas. 2009:19). Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut :
a. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
b. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
c. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
d. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
e. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para komitesekolah, guru dan orang tua murid.
7. Hambatan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS (Surya Dharma: 2005: 27) adalah karena : tidak berminat untuk terlibat, tidak efesien, pikiran kelompok, memerlukan pelatihan, kebingungan atas peran dan tanggungjawab baru, dan kesulitan koordinasi.
Keenam hambatan implentasi MBS tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota komite sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
b. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota komite sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
c. Pikiran Kelompok/kohesivitas
Setelah beberapa saat bersama, para anggota komite sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah komite sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
f. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
8. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Fullan (dalam Muslim, 2003:13) mendefinisikan implementasi “as the actual use of an innovation consists of in practice”. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa implementasi merupakan penggunaan atau praktek secara inovatif secara actual dan nyata, Selanjutnya Fullan mengatakan bahwa implementasi merupakan suatu proses dalam rangka mempraktekkan sebuah ide, program, atau seperangkat aktifitas yang bersifat baru kepada orang lain dengan mengharapkan adanya perubahan yang terjadi.
Lebih jauh Muslim (2003:13) mengemukakan bahwa implementasi ditinjau dari kenyataan yang subyektif adalah sebagai proses pelaksanaan suatu ide, gagasan, program atau kegiatan lain melalui usaha agar terjadi suatu perubahan.
Poerwadarminta (1996:327) menyatakan bahwa implementasi adalah pelaksaanaan suatu usaha-usaha yang akan dijalankan, Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi manajemen berbasis sekolah adalah upaya pelaksanaan program yang telah ditetapkan secara konseptual dalam meningkatkan mutu pendidikan dan tetap mengacu pada tujuan pendidikan nasional.
Upaya pelaksanaan program MBS secara efektif dan efesien, selain memahami konsep implementasi dengan baik, harus juga didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dan professional. Dana yang tersedia juga cukup memadai untuk memberikan insentif bagi staf sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, serta sarana dan prasarana yang didukung oleh masyarakat.
Mulyasa (2002:34) mengemukakan konsep pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah diantaranya adalah pengelompokan sekolah yang didasarkan pada kemampuan manajemen dengan mempertimbangkan kondisi lokasi dan kualitas sekolah,
Pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhatikan dalam implementasi MBS antara lain yaitu kategori sekolah yang sudah maju, sedang dan masih tertinggal. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kemampuan sekolah dalam mengimplementasikan MBS berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Keragaman kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing sekolah menuntut perlakuan yang berbeda dalam melaksanakan MBS.
Menurut Bellen, dkk, (2000:21) mengemukakan konsep pelaaksanaan MBS antara lain :
(1) meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam pengelolaan sumberdaya dan penyusunan program, (2) memberikan wewenang kepada Kepala Sekolah untu mengelola sumberdaya dan mengatur rumah tangga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam batas-batas peraturan yang berlaku, (3) mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk mendukung pendidikan di sekolah serta melakukan control terhadap sekolah, (4) mendorong pemanfaatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan sekolah dengan memberikan anggaran dana blokgrant (termasuk dana BOS) yang dimanfaatkan bersama dari sumber-sumber lain, (5) mendorong adanya transparansi dalam pengelolaan sekolah mulai dari perencanaan sampai pada evaluasi, (6) mendorong dan memanfaatkan kemampuan personil sekolah untuk meningkatkaan kreatifitas dan kemampuan yang dapat mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang efektif, kreatif dan menyenangkan serta terciptanya sekolah yang ramah siswa.
9. Peran Stakeholder dalam Implementasi MBS
Berdasarkan pengertian manajemen sebagaimana dikemukakan di bagian terdahulu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kepala sekolah yang berperan sebagai manajer dalam sebuah organisasi yaitu : proses, pendayagunaan dan tujuan. “Proses merupakan sesuatu yang sistematik dalam melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu” (Wahjosumidjo, 2001:94).
Menurut Stoner (dalam Wahjosumidjo, 2001:96) ada delapan fungsi manajer dalam suatu organisasi yaitu :
(1) Kepala Sekolah bekerja dengan dan melalui orang lain, (2) Kepala Sekolah bertanggung jawab dan mempertanggung-jawabkan, (3) Kepala sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan dan kondisi yang terbatas, (4) Kepala Sekolah harus berpikir secara analitis dan konsepsional, (5) Kepala sekolah sebagai juru penengah, (6) Kepala Sekolah sebagai politisi, (7) Kepala Sekolah adalah seorang diplomat, dan (8) Kepala Sekolah berfungsi sebagai pengambil keputusan.
Untuk mengimplementasikan MBS secara efektif dan efesien Kepala Sekolah sebagai manajer perlu memilki pengetahuan kepemimpinan, perencanaan, pandangan yang luas tentang sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus ditumbuhkembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan, dan hubungan manusiawi sebagai modal untuk menciptakan iklim yang kondusif. Lebih lanjut lagi kepala sekolah sebagai manajer dituntut untuk melakukan fungsinya dalam proses belajar mengajar, dengan melakukan supervisi kelas, pembinaan dan memberikan saran positif kepada guru. Berdasarkan ungkapan di atas dapat ditarik kesimpulan implementasi MBS merupakan kunci keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Kaarena tanggung jawab untuk mengelola dan memberdayakan berbagai potensi masyarakat serta orang tua untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan sekolah. Oleh karena itu dalam implementasi MBS harus memiliki visi, misi dan tujuan serta wawasan yang luas tentang sekolaah yang efektif serta kemampuan professional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan, manajerial, dan supervisi pendidikan. Ia juga dituntut untuk menjalin kerjasama yang harmonis dengan berbagai puhak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah.
Penerapan manajemen berbasis sekolah menjadikan sekolah lebih otonom, tidak lagi menjadi subordinat dari pemerintah maupun yayasan. Pendekatannya pun tidak birokratis lagi, melainkan profesional. Penyelenggara sekolah menjadi lebih leluasa dalam mengelola anggaran pendidikan di sekolah. Untuk membuat perimbangan bagi otonomi sekolah (kepala sekolah) tersebut, maka dikeluarkan keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 di atas.
Adanya keleluasaan gerak kepala sekolah dalam mengelola anggaran dan keputusan Mendikanas tersebut menyebabkan peranan komite sekolah menjadi besar dan memiliki posisi tawar yang tinggi. Sebab, semua keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan selalu memberdayakan semua pihak (stakeholder). Dengan begitu, masyarakat melalui komite sekolah berhak mengetahui berbagai kucuran dana yang mengalir ke sekolah, sehingga transparansi dan akuntabilitas dapat diwujudkan.
Di samping itu, keberadaan komitesekolah juga berfungsi sebagai watchdog bagi pelaksanaan pelayanan pendidikan di sekolah. Masyarakat, sebagai salah satu penyandang dana pendidikan untuk sekolah, dapat melakukan teguran melalui komite sekolah apabila pelayanan dari sekolah tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Dan masih banyak fungsi lainnya. Yang kesemuanya bisa disebut sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
0 Komentar Tog Bhe Maseh: