BAHAN PERSIAPAN UKG GURU PKn SMP

9:09 PM URAY ISKANDAR 0 Comments


Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa indonesia, sumpah pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: tertib dalam kehidupan keluarga, tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional.
3. Hak asasi manusia meliputi: hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
4. Kebutuhan warganegara meliputi: hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warganegara.
5. Konstitusi negara meliputi: proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan kostitusi.
6. Kekuasaan dan Politik meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokarasi.
7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka. (Kurikulum KTSP 2006).

Apa Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan?
Dalam khasanah pengetahuan, pendidikan kewarganegaraan (PKn) (civic/citizenship education) merupakan bidang kajian atau studi yang bersifat multifaset dengan konteks epistemologis lintasbidang keilmuan. Secara filsafat keilmuan PKn memiliki ontology pokok ilmu politik khususnya konsep political democracy untuk aspek duties and rights of citizen (Chreshore:1886 dalam Allen: 1960)).
Dari ontology pokok inilah berkembang konsep Civics, yang secara harfiah diambil dari bahasa latin “civicus” yang artinya warganegara pada jaman Yunani kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya civic education, yang selanjutnya di Indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan kewarganegaraan” (PKn).
Secara epistemologis, PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan pengembangan dari salah satu dari lima tradisi social studies yakni citizenship transmission (Barr, Barrt, dan Shermis:1978). Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu integrated knowledge system (Hartonian: 1992), yakni suatu body of knowledge yang memilki paradigma sistemik, yang didalamnya terdapat tiga domain citizenship education yakni: domain akademik, domain kurikuler, dan domain sosial kultural” (Winataputra:2001)
Oleh karena itu secara akademis pendidikan kewarganegaraan dapat didefinisikan sebagai suatu bidang kajian yang memusatkan telaahnya pada seluruh dimensi psikologis dan social-kultural kewarganegaraan individu, menggunakan ilmu politik dan ilmu pendidikan sebagai landasan epistemology intinya, diperkaya dengan disiplin ilmu lain yang relevan, dan mempunyai implikasi aksiologis terhadap instrumentasi dan praksis pendidikan setiap warga negara dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bidang kajian ini secara sistemik memilki tiga dimensi yakni:
a) program kurikuler kewarganegaraan untuk pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal-kesetaraan yang secara akademis dikenal sebagai school civic education (SCE)
b) program sosial-kultural kewarganegaraan yang secara akademis dikenal sebagai community civic education (CCE), dan
c) kajian ilmiah kewarganegaraan yang di dalamnya tercakup civic research and development (CRD)
Ketiga dimensi itu satu sama lain memiliki saling keterkaitan struktural dan fungsional yang secara koherent diikat oleh konsepsi civic virtue and culture yang mencakup civic knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic commitment, dan civic competence ( CCE:1994). Oleh karena itu ontology PKn saat ini sudah lebih luas dari pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas social-kultural PKn saat ini benar-benar bersifat multifaset/multidimensional.
Sifat multidimensionalitas inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi. Hal itu tergantung dari aspek ontology mana kita berangkat, dengan metode kerja epistemology mana pengetahuan itu dibangun dan dikembangkan, dan untuk arah tujuan aksiologis mana kegiatan itu akan membawa implikasi.

Jika dilihat secara makro konstitusional pentingnya pendidikan kewarganegaraan dapat dilacak-balik kepada Pembukaan UUD 1945, Pasal 31 UUD 1945, dan UU RI No 20 Tahun 2003. Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, dalam UUD 1945 setelah Amandemen ke empat dinyatakan bahwa Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (Ps 31 ayat (1)). Selanjutnya dalam pasal ayat (3) dinyatakan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Dalam pasal tersebut tersirat adanya upaya yang sengaja untuk mengembangkan warga negara yang cerdas, demokratis , dan religius, yang secara programatik merupakan tujuan dan missi dari pendidikan kewarganegaraan dalam arti yang sangat luas, atau citizenship education menurut Cogan (1996). Kedua sumber normatif konstitusional tersebut mensiratkan perlunya pendidikan kewarganegaraan yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan berakhlak mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat, bersatu, sejahtera, dan adil dalam konteks kehidupan masyarakat dunia yang damai.
Bagaimana Paradigma Konseptual Pendidikan Kewarganegaraan?
Untuk memahami paradigma pendidikan kewarganegaraan secara umum, perlu kiranya dipahami secara mendalam hakikat dan konsep civic education dalam wacana pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis sebagaimana berkembangan di berbagai belahan dunia..
Pendidikan (education=educare) sebagai upaya manusia yang sadar-tujuan untuk menumbuh-kembangkan potensi individu agar menjadi anggota masyarakat, putra bangsa, dan warganegara yang dewasa merupakan wahana pedagogis dan sosial-kultural yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. citizenship education (UK), termasuk di dalamnya civic education (USA) atau disebut juga pendidikan kewarganegaraan (Indonesia), atau ta’limatul muwwatanah / attarbiyatul al watoniyah (Timur Tengah) atau educacion civicas (Mexico), atau Sachunterricht (Jerman) atau civics (Australia) atau social studies (New Zealand) atau Life Orientation (Afrika Selatan) atau People and society (Hungary), atau Civics and moral education (Singapore) (Kerr: 1999; Winataputra:2001), merupakan wahana pendidikan karakter (character education) yang bersifat multidimensional (Cogan and Derricott: 1998)yang dimiliki oleh kebanyakan negara di dunia.

Sebagai pendidikan karakter yang bersifat multidimensional citizenship education mengusung missi untuk mengembangkan civic competencies” yang didalamnya terkandung civic knowledge, civic dispositions, civic skills, civic competence, civic confidence, civic committment yang bermuara pada kemampuan integratif well-informed and reasoned decision making, yang secara praksis diperlukan oleh individu dalam berperan sebagai participative and responsible citizen(CCE:1996) atau warganegara Indonesia yang cerdas dan baik (Winataputra:2001).

Dalam konteks wacana internasional (Kerr:1999; CIVITAS:2000) school civic education di Asia Tenggara, tentunya termasuk pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, termasuk kategori minimal dengan ciri thin, exclusive, elitist, content-led, knowledge-based, didactic transmission, easier to achieve, civic education. Sementara itu Eropa Utara, USA, dan New Zealand, termasuk kategori maximal dengan ciri thick, inclusive, activist, participative, process-led, value-based, interactive, more difficult to achieve, citizenship education. Sedangkan yang termasuk kategori diantara dua kutub itu, yang dapat disebut moderate adalah Eropa Tengah, Selatan, dan Timur, serta Australia. Dalam kategori ini walaupun masih terkesan exclusive and formal sudah mulai beranjak ke process-led, value-based, participative, and interactive.

Dalam paradigma pendidikan demokrasi (CIVITAS: 1998, Winataputra:2001) ketiga posisi konseptual tersebut dapat digambarkan secara kontinum-konsentris education about democracy/citizenship (Minimal), education in democracy/citizenship (Moderate), dan education for democracy/citizenship (Maximal). Secara sederhana dapat diartikan education about democracy/citizenship” hanya dapat menghasilkan orang tahu demokrasi tetapi tidak mampu bersikap dan berprilaku demokratis. Sementara itu education in democracy/citizenship dapat menghasilkan orang yang tahu, mau, dan mampu hidup berdemokrasi. Sedangkan education for democracy/citizenship sangat potensial menghasilkan orang yang bukan saja tahu, mau, dan mampu hidup berdemokrasi, tetapi juga mau dan mampu memperbaiki kehidupan demokrasi secara terus menerus. Secara psiko-pedagogis dan sosio-kultural perubahan paradigma kontinum-konsentris tersebut berlangsung secara developmental dalam arti bertahap-berkelanjutan.
Untuk Indonesia tampaknya pendidikan kewarganegaraan yang bersifat exclusive and formal dalam dunia persekolahan dan pendidikan tinggi masih perlu dipertahankan, namun harus mulai dikembangkan menjadi program pendidikan yang mensintesiskan secara harmonis pendekatan content-related dan process-led serta value-based, yang berarti juga meminimumkan modus didactic transmission dan mengoptimalkan penerapan prinsip participative and interactive. Dengan kata lain PKn Indonesia yang kini bersifat minimal itu seyogyanya dikembangkan menjadi PKn yang moderate, sehingga ia berubah dari paradigma education about democracy/citizenship menjadi education in democracy/citizenship. Dalam konteks itu maka kelas PKn seyogyanya dikembangkan sebagai laboratory for democracy dan masyarakat sebagai open global classroom. Oleh karena berbagai kegiatan co-curricular dan kegiatan extra curricular seperti debat publik, praktik belajar, kajian sosial, aksi sosial, dan simulasi dengan pendapat seyogyanya digalakkan karena secara psiko-pedagogis dan sosio-kultural sangat potensial mengembangkan karakter warganegara yang cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab melalui pengembangan aneka ragam instructional effects dan nururant effects (Winataputra: 1998; 2001)

Untuk memfasilitasi perubahan paradigmatik PKn dari kategori minimal ke moderate tersebut diperlukan hal-hal sebagai berikut. Kurikulum berbasis karakter yang berorientasi pada pengembangan civic intelligence, civic participation, and civic responsibility dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia. Sebagai suatu model pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia, pendidikan kewarganegaraan perlu dirancang untuk mengembangjkan warganegara sebagai custodian of constitution atau penjaga dan penyelamat konstitusi. Untuk itu maka setiap warganegara perlu mengerti secara mendalam sejarah, filosofi, substansi, dan implikasi dari UUD 1945 dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Oleh karena pendidikan kewarganegaraan untuk semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan perlu mengakomodasikan secara proporsional penguasaan cita-cita, nilai, konsep, prinsip, dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang terkandung di dalam UUD 1945 beserta seluruh peraturan perundang-undangan lainnya.
PENERAPAN CIVIC SKILLS DAN CIVIC DISPOSITIONS DALAM MATA KULIAH PRODI PKn
Ketrampilan kewarganegaraan (civic skills/CS) dan karakter kewarganegaraan (civic dispositions/CD) merupakan faktor determinan dalam upaya mewujudkan warga negara yang baik. Dilihat dari perspektif integrasi politik CS dan CD merupakan aspek penting dalam mengembangkan perilaku integratif yang berkontribusi secara positif terhadap integrasi bangsa (nation building) dan integrasi elite dengan rakyat. Keberhasilan mengembangkan perilaku integratif dalam diri warga negara dapat mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang produktif untuk mewujudkan kebaikan bersama sebagaimana yang dikehendaki dalam cita-cita nasional dan tujuan bernegara.
Ketrampilan kewarganegaraan dikembangkan agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna, karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara. Civic skills mencakup intelectual skills (ketrampilan intelektual) dan participation skills (ketrampilan partisipasi). Ketrampilan intelektual yang terpenting bagi terbentuknya warga negara yang berwawasan luas, efektif dan bertanggung jawab antara lain adalah ketrampilan berpikir kritis. Ketrampilan berpikir kritis meliputi mengidentifikasi, menggambarkan / mendeskripsikan, menjelaskan, menganalisis, mengevaluasi, menentukan dan mempertahankan pendapat yang berkenaan dengan masalah – masalah publik. Pentingya ketrampilan partisipasi dalam demokrasi telah digambarkan oleh Aristoteles dalam bukunya Politics (340) (dalam Branson, dkk., 1999 : 4).
Aristoteles menyatkan , “Jika kebebasan dan kesamaan sebagaimana menurut sebagaian pendapat orang dapat diperoleh terutama dalam demokrasi, maka kebebasan dan kesamaan itu akan dapat dicapai apabila semua orang tanpa kecuali ikut ambil bagian sepenuhnya dalam pemerintahan”. Dengan kata lain cita – cita demokrasi dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warga negara dapat berpartisipasi dalam pemerintahannya. Sedangkan ketrampilan partisipasi meliputi : berinteraksi, memantau, dan mempengaruhi.
STRATEGI PENERAPAN CIVIC SKILLS DAN CIVIC DISPOSITIONS DALAM BERBAGAI MATA KULIAH
Penerapan civic skills (CS) dan civic dispositions (CD) pada dasarnya dapat diadaptasikan pada komponen-komponen mata kuliah yaitu kompetensi, materi, aktivitas pembelajaran dan evaluasi.
1. Adaptasi pada kompetensi, maksudnya memasukkan CS dan atau CD pada tujuan mata kuliah yang telah ada baik dalam arti memunculkan kompetensi yang baru atau dengan merubah yang telah ada
2. Adaptasi pada materi, maksudnya memasukkan CS dan atau CD pada materi mata kuliah yang telah ada baik dalam arti memunculkan materi yang baru atau dengan merubah yang telah ada.
3. Adaptasi pada aktivitas pembelajaran , maksudnya memasukkan CS dan atau CD pada aktivitas pembelajaran yang telah ada baik dalam arti memunculkan aktivitas pembelajaran yang baru atau dengan merubah yang telah ada. Misalnya, pendekatan pembelajaran aktif berikut ini dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam perkuliahan.
4. Adaptasi pada evaluasi maksudnya, membuat inetrumen penilaian untuk CS dan CD seperti lembar observasi untuk tugas, sikap dan kinerja. Sesuai dengan kondisi atau karakteristik mata kuliah, maka dapat diajukan 2 alternatif strategi penerapan CS dan CD.
Alternatif Pertama: Adaptasi secara lengkap (mencakup kompetensi, materi, aktivitas pembelajaran dan evaluasi). Alternatif Kedua : Adaptasi secara parsial (terbatas pada komponen tertentu, misalnya terbatas pada materi atau materi dengan aktivitas pembelajaran, dst.) PENUTUP Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini sedikit dapat menjadi bahan diskusi dalam upaya mengembangkan CS dav CD dalam berbagai mata kuliah pada program studi PKn.
Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Kewarganegaraan adalah hubungan negara dengan warga negara, antara warga negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus terus ditingkatkan guna menjawab tantangan masa depan, sehingga keluaran peserta didik memiliki semangat juang yang tinggi dan kesadaran bela negara sesuai bidang profesi masing-masing demi tetap tegak dan utuhnya NKRI.
Perguruan Tinggi perlu mendapatkan Pendidikan Kewarganegaraan karena Perguruan Tinggi sebagai institusi ilmiah bertugas secara terus menerus mengembangkan ilmu pengetahuan dan Perguruan Tinggi sebagai instrumen nasional bertugas sebagai pencetak kader-kader pemimpin bangsa.

Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi diberikan pemahaman filosofi secara ilmiah meliputi pokok-pokok bahasan, yaitu : Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Politik dan Strategi Nasional.

Dari penjelasan diatas, dapat saya simpulkan bahwa pendidikan kewarganegaraan sangat penting bagi mahasiswa. Dari uraian diatas, juga dapat di kemukakan bahwa pendidikan kewarganegaran mempunyai manfaat sebagai berikut :
a.Membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukan tujuan dalam kehidupan manusia.
b.Sebagai bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitas dirinya.
c.Dapat memberikan kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
d.Untuk memahami, menghayati serta melakukan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila.
Proses perumusan pancasila berlangsung cukup lama. Berikut ini beberapa tahap sidang BPUPKI dalam merumuskan pancasila.
Rumusan pancasila Mr. Muhammad Yamin
Dalam sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 dalam pidatonya Mr. M. Yamin menyampaikan 5 rumusan dasar Negara, yakni:
1.    Peri Kebangsaan.
2.    Peri Kemanusiaan.
3.    Peri Ketuhanan.
4.    Peri Kerakyatan.
5.    Kesejahteraan Rakyat.
Selanjutnya  Mr. Muhammad Yamin menyampaikan rumusan naskah Rancangan UUD yang di dalamnya tercantum rumusan lima asas dasar negara berikut ini:
1.    Katuhanan Yang Maha Esa.
2.    Kebangsaan Persatuan Indonesia.
3.    Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
4.    Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Perumusyawaratan Perwakilan.
5.    Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila Mr. Soepomo
Dalam sidang kedua, pada tanggal 31 Mei 1945, Mr. Soepomo berkesempatan menyampaikan rumusan 5 dasar negara, yaitu berbunyi sebagai berikut:
1.    Paham Negara Kesatuan.
2.    Perhubungan Negara dengan Agama.
3.    Sistem Badan Permusyawaratan.
4.    Sosialisasi Negara.
5.    Hubungan antara-Bangsa.
 bahwa jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatside) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya. Yang mengatasi seluruh golongannya dalam lapangan apa pun. [paham Integralistik dalam pidato Mr. Soepomo]

 Rumusan Pancasila Ir. Soekarno
 Selanjutnya pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengusulkan 5 rumusan dasar negara, yakni sebagai berikut:
1.        Kebangsaan Indonesia.
2.        Internasionalisme atau perikemanusiaan.
3.        Mufakat atau demokrasi.
4.        Kesejahteraan sosial.
5.        Ketuhanan yang berkebudayaan.

  Rumusan Pancasila Panitia 9
  Dalam sidang PPKI (pengganti dari BPUPKI) tanggal 22 Juni 1945 panitia 9 memberi usulan rumusan dasar negara yang di ilhami dari berbagai pendapat sebelumnya:
1.        Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemerintah pemeluknya.
2.        Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.        Persatuan Indonesia.
4.        Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan perwakilan.
5.        Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Susunan panitia 9

Ketua: Ir. Soekarno.

Anggota:
1.                  K. H. A. Wachid Hasjim
2.                  Mr. Muhammad Yamin
3.                  Mr. A. A. Maramis
4.                  M. Soetarjdo Kartohadikoesomo
5.                  R. Otto Iskandar Dinata
6.                  Drs. Mohammad Hatta
7.                  K. Bagoes H. Hadikoesomo.
 Panitia 9 mengadakan rapat bersama dengan 38 anggota BPUPKI di kantor Besar Jawa Hookookai. Panitia kecil bertugas menggolong-golongkan dan memeriksa catatan tertulis selama persidangan. Selanjutnya dibentuk lagi satu Panitia Kecil yang anggota-anggotanya terdiri dari Drs. Mohammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. A. Subardjo, Mr. A. A. Maramis, Ir. Soekarno, Kiai Abdul Kahar Moezakkir, K. H. A. Wachim Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso, dan H. Agus Salim. Panitia Kecil atau panitia 9 inilah yang pada akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter).

Rumusan akhir
Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 atau tepatnya setelah proklamasi kemerdekaan ditentukanlah rumusan akhir yang mengakhiri proses perumusan pancasila dengan hasil pancasila sebagai berikut:
1.        Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.        Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
3.        Persatuan Indonesia.
4.        Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5.        Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
 Setelah melalui proses rumusan pancasila yang cukup lama, rumusan inilah yang hingga saat ini masih menjadi ideologi bangsa Indonesia. Pancasila memiliki sifat fundamental atau tidak dapat dirubah karena merubah pancasila berarti merubah seluruh tatanan yang ada di Indonesia.


Semenjak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang Republik Indonesia telah mengalami 3 macam undang-undang dasar dalam 4 masa, yaitu :

1. UUD 1945 yang diterapkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dinyatakan berlaku diseluruh Republik Indonesia. Sejak tanggal tersebut dengan mulai berlakunya konstitusi RIS pada saat pengakuan kedaulatan pada b27 Desember 1949, jelas UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena memang sedang dalam pencaroba, dan usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan, sedang pihak kolonialis belanda justru ingin menjajah kembali bekas jajahannya yang telah merdeka itu. Segala perhatian bangsa dan Negara diarahkan untuk memenagkan perang kemerdekaan.

2. Konstitusi RIS yang berlaku dari 17 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950, Negara kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara federal Republik Indonesia Serikat berdasarkan konstitusi RIS, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 negara federal RIS menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia tetapi dengan landasan UUDS 1950.

3. UUDS 1950 yang berlaku dari 17 Agustus 1950, menurut UUd ini system pemerintahan yang dianut adalah system pemerintahan parlementer, bukan system presidential. Menurut system pemerintahan parlementer presiden dan wakil presiden adalah sekedar presiden konstitusinal dan tidak dapat diganggu gugat. Para menteri pertanggung jawab kepada parlemen.

4. UUD 1945 berlaku kembali sejak 5 Mei 1959 sampai sekarang, dekrit presiden 5 Mei 1959 sebagai usaha untuk mengadakan koreksi terhadap masa lampau yaitu masa berlakunya konstitusi RIS dan UUDS 1950

Isi tiap-tiap Alinea Pembukaan UUD 1945
Alinea Pertama, dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” menunjuk keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah kemerdekaan melawan penjajahan. dengan pernyataan itu bukan saja bangsa Indonesia bertekad untuk merdeka. Tetapi akan tetap berdiri dari barisan yang paling depan untuk menentang dan melawan penjajahan diatas dunia.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa didunia ini dapat melaksanakan hak kemerdekaannya yang merupakan hak asasinya. Disitulah letak moral luhur dari pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Alinea ini mengandung suatu pernyataan subyektif, yaitu aspirasi bangsa Indonesia sendiri untuk membebaskan diri dari penjajahan.
Dalil tersebut diatas meletakkan tugas kewajiban kepada bangsa/Pemerintah Indonesia untuk senantisa berjuang melawan setiap bentuk penjajahan dan mendukung kemerdekaan setiap bangsa.
Sudah jelas pendirian yang demikian itu yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 akan tetap menjadi landasan pokok dalam mengendalikan politik luar negeri kita.
Alasan bangsa Indonesia menentang penjajahan, ialah karena penjajahan itu bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Ini berarti bahwa setiap hal atau sifat yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan juga harus secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia.
Alinea Kedua, yang berbunyi: “Dan perjuangan penggerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai lah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang mereka bersatu, berdaulat, adil dan makmur” menunjukan kebanggaan dan penghargaan kita atas perjuangan bangsa Indonesia selama itu. Ini juga berarti adanya kesadaran bahwa keadaan sekarang tidak dapat dipisahkan dari keadaan yang kemaren dan langkah yang kita ambil sekarang akan menentukan keadaan yang akan datang. Dalam alinea itu jelas apa yang dikehendaki atau diharapkan oleh para “pengatar” kemerdekaan, ialah Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Nilai-nilai itulah yang selalu menjiwai segenap bangsa Indonesia dan terus berusaha untuk mewujudkannya.
Alinea ini menunjukan adanya ketetapan dan ketajaman penelaian :
1.   bahwa perjungan pergerakan di Indonesia telah sampai pada tingkat yang menentuukan ;
2.   bahwa momentum yang telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan ;
3.   bahwa kemerdekaan tersebut bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih harus diisi dengan mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur ;

Alinea Ketiga, yang berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginkan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan”. Bukan saja menegaskan lagi apa yang mejadi motivasi riil dan material bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan/kepercayaannya, menjadi motivasi spritualnya, bahwa maksud dan tindakannya menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Allah Yang Maha Kuasa. Dengan ini digambarkan bangsa Indonesia mendambakan kehidupan yang berkeseimbangan, keseimbangan kehidupan material dan spiritual, keseimbangan kehidupan didunia dan akhirat.
Alinea ini memuat motivasi spiritual yang luhur serta suatu pengukuhan dari Proklamasi Kemerdekaan.
Alinea ini menunjukan pula ketaqwaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berkat Ridho-Nya-lah Bangsa Indonesia berhasil dalam perjungan mencapai kemerdekaan.
Alinea keempat, berbunyi: “Kemudian dari pada itu membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi setiap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar bangsa Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Alinea ini merumuskan dengan padat sekali tujuan dan prinsip-prinsip dasar untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia setelah menyatakan dirinya merdeka itu.
Tujuan perjuangan negara Indonesia dirumuskan dengan : “Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” dan untuk “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”dan “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang bedasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Sedangkan prinsip dasar yang harus dipegang teguh untuk mencapai tujuan itu adalah dengan : menyusun kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbetuk dalam ssuatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan bedasarkan kepada Pancasila. Dengan rumusan yang panjang dan padat ini, alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus menegaskan :
1.   Negara Indonesia mempunyai pungsi yang sekaligus menjadi tujuannya, yaitu : meindungi segenap bangsa Indonesia dan sekaligus tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksakan ketertiban dunia yang bedasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,;
2.   Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan Rakyat;
3.  Negara Indonesia mempunyai filsafah Pancasila, yaitu: Ketuhanan yang maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Itulah uraian penjelasan mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan harus menjiwai para penyelanggara negara.


You Might Also Like

0 Komentar Tog Bhe Maseh: