BAHAN PERSIAPAN UKG GURU PKn SMP
Ruang lingkup mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) meliputi aspek-aspek sebagai
berikut:
1. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam
perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa indonesia, sumpah
pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam
pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Keterbukaan dan jaminan keadilan.
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: tertib dalam kehidupan
keluarga, tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat,
peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan
internasional.
3. Hak asasi manusia meliputi: hak dan kewajiban anak, hak
dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM,
pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
4. Kebutuhan warganegara meliputi: hidup gotong royong, harga
diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan
mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan
kedudukan warganegara.
5. Konstitusi negara meliputi: proklamasi kemerdekaan dan
konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di
Indonesia, Hubungan dasar negara dengan kostitusi.
6. Kekuasaan dan Politik meliputi: Pemerintahan desa dan
kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan
sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani,
Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokarasi.
7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara,
pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai
ideologi terbuka. (Kurikulum KTSP 2006).
Apa Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan?
Dalam
khasanah pengetahuan, pendidikan kewarganegaraan (PKn) (civic/citizenship
education) merupakan bidang kajian atau studi yang bersifat multifaset dengan
konteks epistemologis lintasbidang keilmuan. Secara filsafat keilmuan PKn
memiliki ontology pokok ilmu politik khususnya konsep political democracy untuk
aspek duties and rights of citizen (Chreshore:1886 dalam Allen: 1960)).
Dari
ontology pokok inilah berkembang konsep Civics, yang secara harfiah diambil
dari bahasa latin “civicus” yang artinya warganegara pada jaman Yunani kuno,
yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya civic education, yang
selanjutnya di Indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan kewarganegaraan” (PKn).
Secara
epistemologis, PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan pengembangan dari
salah satu dari lima tradisi social studies yakni citizenship transmission
(Barr, Barrt, dan Shermis:1978). Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat
menjadi suatu integrated knowledge system (Hartonian: 1992), yakni suatu body
of knowledge yang memilki paradigma sistemik, yang didalamnya terdapat tiga
domain citizenship education yakni: domain akademik, domain kurikuler, dan
domain sosial kultural” (Winataputra:2001)
Oleh
karena itu secara akademis pendidikan kewarganegaraan dapat didefinisikan
sebagai suatu bidang kajian yang memusatkan telaahnya pada seluruh dimensi
psikologis dan social-kultural kewarganegaraan individu, menggunakan ilmu
politik dan ilmu pendidikan sebagai landasan epistemology intinya, diperkaya
dengan disiplin ilmu lain yang relevan, dan mempunyai implikasi aksiologis
terhadap instrumentasi dan praksis pendidikan setiap warga negara dalam konteks
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bidang
kajian ini secara sistemik memilki tiga dimensi yakni:
a) program kurikuler kewarganegaraan untuk pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal-kesetaraan yang secara akademis dikenal sebagai school civic education (SCE)
b) program sosial-kultural kewarganegaraan yang secara akademis dikenal sebagai community civic education (CCE), dan
c) kajian ilmiah kewarganegaraan yang di dalamnya tercakup civic research and development (CRD)
a) program kurikuler kewarganegaraan untuk pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal-kesetaraan yang secara akademis dikenal sebagai school civic education (SCE)
b) program sosial-kultural kewarganegaraan yang secara akademis dikenal sebagai community civic education (CCE), dan
c) kajian ilmiah kewarganegaraan yang di dalamnya tercakup civic research and development (CRD)
Ketiga
dimensi itu satu sama lain memiliki saling keterkaitan struktural dan
fungsional yang secara koherent diikat oleh konsepsi civic virtue and culture
yang mencakup civic knowledge, civic
disposition, civic skills, civic confidence, civic commitment, dan civic competence
( CCE:1994). Oleh karena itu ontology PKn saat ini sudah lebih luas dari pada
embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas
social-kultural PKn saat ini benar-benar bersifat multifaset/multidimensional.
Sifat
multidimensionalitas inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi
sebagai: pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan
moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan
hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi. Hal itu tergantung dari aspek
ontology mana kita berangkat, dengan metode kerja epistemology mana pengetahuan
itu dibangun dan dikembangkan, dan untuk arah tujuan aksiologis mana kegiatan itu
akan membawa implikasi.
Jika
dilihat secara makro konstitusional pentingnya pendidikan kewarganegaraan dapat
dilacak-balik kepada Pembukaan UUD 1945, Pasal 31 UUD 1945, dan UU RI No 20
Tahun 2003. Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, dalam UUD 1945 setelah
Amandemen ke empat dinyatakan bahwa Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan (Ps 31 ayat (1)). Selanjutnya dalam pasal ayat (3) dinyatakan
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Dalam
pasal tersebut tersirat adanya upaya yang sengaja untuk mengembangkan warga
negara yang cerdas, demokratis , dan religius, yang secara programatik
merupakan tujuan dan missi dari pendidikan kewarganegaraan dalam arti yang
sangat luas, atau citizenship education menurut Cogan (1996). Kedua sumber
normatif konstitusional tersebut mensiratkan perlunya pendidikan
kewarganegaraan yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan berakhlak mulia untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat, bersatu,
sejahtera, dan adil dalam konteks kehidupan masyarakat dunia yang damai.
Bagaimana Paradigma Konseptual Pendidikan
Kewarganegaraan?
Untuk
memahami paradigma pendidikan kewarganegaraan secara umum, perlu kiranya
dipahami secara mendalam hakikat dan konsep civic education dalam wacana
pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis sebagaimana berkembangan di
berbagai belahan dunia..
Pendidikan
(education=educare) sebagai upaya manusia yang sadar-tujuan untuk
menumbuh-kembangkan potensi individu agar menjadi anggota masyarakat, putra
bangsa, dan warganegara yang dewasa merupakan wahana pedagogis dan
sosial-kultural yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. citizenship education (UK), termasuk
di dalamnya civic education (USA) atau disebut juga pendidikan kewarganegaraan
(Indonesia), atau ta’limatul muwwatanah / attarbiyatul al watoniyah (Timur
Tengah) atau educacion civicas (Mexico), atau Sachunterricht (Jerman) atau
civics (Australia) atau social studies (New Zealand) atau Life Orientation
(Afrika Selatan) atau People and society (Hungary), atau Civics and moral
education (Singapore) (Kerr: 1999; Winataputra:2001), merupakan wahana
pendidikan karakter (character education) yang bersifat multidimensional (Cogan
and Derricott: 1998)yang dimiliki oleh kebanyakan negara di dunia.
Sebagai pendidikan karakter yang bersifat multidimensional citizenship education mengusung missi untuk mengembangkan civic competencies” yang didalamnya terkandung civic knowledge, civic dispositions, civic skills, civic competence, civic confidence, civic committment yang bermuara pada kemampuan integratif well-informed and reasoned decision making, yang secara praksis diperlukan oleh individu dalam berperan sebagai participative and responsible citizen(CCE:1996) atau warganegara Indonesia yang cerdas dan baik (Winataputra:2001).
Dalam konteks wacana internasional (Kerr:1999; CIVITAS:2000) school civic education di Asia Tenggara, tentunya termasuk pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, termasuk kategori minimal dengan ciri thin, exclusive, elitist, content-led, knowledge-based, didactic transmission, easier to achieve, civic education. Sementara itu Eropa Utara, USA, dan New Zealand, termasuk kategori maximal dengan ciri thick, inclusive, activist, participative, process-led, value-based, interactive, more difficult to achieve, citizenship education. Sedangkan yang termasuk kategori diantara dua kutub itu, yang dapat disebut moderate adalah Eropa Tengah, Selatan, dan Timur, serta Australia. Dalam kategori ini walaupun masih terkesan exclusive and formal sudah mulai beranjak ke process-led, value-based, participative, and interactive.
Dalam paradigma pendidikan demokrasi (CIVITAS: 1998, Winataputra:2001) ketiga posisi konseptual tersebut dapat digambarkan secara kontinum-konsentris education about democracy/citizenship (Minimal), education in democracy/citizenship (Moderate), dan education for democracy/citizenship (Maximal). Secara sederhana dapat diartikan education about democracy/citizenship” hanya dapat menghasilkan orang tahu demokrasi tetapi tidak mampu bersikap dan berprilaku demokratis. Sementara itu education in democracy/citizenship dapat menghasilkan orang yang tahu, mau, dan mampu hidup berdemokrasi. Sedangkan education for democracy/citizenship sangat potensial menghasilkan orang yang bukan saja tahu, mau, dan mampu hidup berdemokrasi, tetapi juga mau dan mampu memperbaiki kehidupan demokrasi secara terus menerus. Secara psiko-pedagogis dan sosio-kultural perubahan paradigma kontinum-konsentris tersebut berlangsung secara developmental dalam arti bertahap-berkelanjutan.
Untuk
Indonesia tampaknya pendidikan kewarganegaraan yang bersifat exclusive and
formal dalam dunia persekolahan dan pendidikan tinggi masih perlu
dipertahankan, namun harus mulai dikembangkan menjadi program pendidikan yang
mensintesiskan secara harmonis pendekatan content-related dan process-led serta
value-based, yang berarti juga meminimumkan modus didactic transmission dan
mengoptimalkan penerapan prinsip participative and interactive. Dengan kata
lain PKn Indonesia yang kini bersifat minimal itu seyogyanya dikembangkan
menjadi PKn yang moderate, sehingga ia berubah dari paradigma education about
democracy/citizenship menjadi education in democracy/citizenship. Dalam konteks
itu maka kelas PKn seyogyanya dikembangkan sebagai laboratory for democracy dan
masyarakat sebagai open global classroom. Oleh karena berbagai kegiatan
co-curricular dan kegiatan extra curricular seperti debat publik, praktik
belajar, kajian sosial, aksi sosial, dan simulasi dengan pendapat seyogyanya
digalakkan karena secara psiko-pedagogis dan sosio-kultural sangat potensial
mengembangkan karakter warganegara yang cerdas, partisipatif, dan
bertanggungjawab melalui pengembangan aneka ragam instructional effects dan
nururant effects (Winataputra: 1998; 2001)
Untuk memfasilitasi perubahan paradigmatik PKn dari kategori minimal ke moderate tersebut diperlukan hal-hal sebagai berikut. Kurikulum berbasis karakter yang berorientasi pada pengembangan civic intelligence, civic participation, and civic responsibility dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia. Sebagai suatu model pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia, pendidikan kewarganegaraan perlu dirancang untuk mengembangjkan warganegara sebagai custodian of constitution atau penjaga dan penyelamat konstitusi. Untuk itu maka setiap warganegara perlu mengerti secara mendalam sejarah, filosofi, substansi, dan implikasi dari UUD 1945 dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Oleh karena pendidikan kewarganegaraan untuk semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan perlu mengakomodasikan secara proporsional penguasaan cita-cita, nilai, konsep, prinsip, dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang terkandung di dalam UUD 1945 beserta seluruh peraturan perundang-undangan lainnya.
PENERAPAN CIVIC SKILLS DAN CIVIC
DISPOSITIONS DALAM MATA KULIAH PRODI PKn
Ketrampilan
kewarganegaraan (civic skills/CS) dan karakter kewarganegaraan (civic
dispositions/CD) merupakan faktor determinan dalam upaya mewujudkan warga
negara yang baik. Dilihat dari perspektif integrasi politik CS dan CD merupakan
aspek penting dalam mengembangkan perilaku integratif yang berkontribusi secara
positif terhadap integrasi bangsa (nation building) dan integrasi elite dengan
rakyat. Keberhasilan mengembangkan perilaku integratif dalam diri warga negara
dapat mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang produktif untuk
mewujudkan kebaikan bersama sebagaimana yang dikehendaki dalam cita-cita
nasional dan tujuan bernegara.
Ketrampilan
kewarganegaraan dikembangkan agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu
yang bermakna, karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Civic skills mencakup intelectual skills
(ketrampilan intelektual) dan participation skills (ketrampilan partisipasi).
Ketrampilan intelektual yang terpenting bagi terbentuknya warga negara yang
berwawasan luas, efektif dan bertanggung jawab antara lain adalah ketrampilan
berpikir kritis. Ketrampilan berpikir kritis meliputi mengidentifikasi,
menggambarkan / mendeskripsikan, menjelaskan, menganalisis, mengevaluasi,
menentukan dan mempertahankan pendapat yang berkenaan dengan masalah – masalah
publik. Pentingya ketrampilan partisipasi dalam demokrasi telah digambarkan
oleh Aristoteles dalam bukunya Politics (340) (dalam Branson, dkk., 1999 : 4).
Aristoteles
menyatkan , “Jika kebebasan dan kesamaan sebagaimana menurut sebagaian pendapat
orang dapat diperoleh terutama dalam demokrasi, maka kebebasan dan kesamaan itu
akan dapat dicapai apabila semua orang tanpa kecuali ikut ambil bagian
sepenuhnya dalam pemerintahan”. Dengan kata lain cita – cita demokrasi dapat
diwujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warga negara dapat berpartisipasi
dalam pemerintahannya. Sedangkan ketrampilan partisipasi meliputi : berinteraksi,
memantau, dan mempengaruhi.
STRATEGI PENERAPAN CIVIC SKILLS DAN CIVIC
DISPOSITIONS DALAM BERBAGAI MATA KULIAH
Penerapan
civic skills (CS) dan civic dispositions (CD) pada dasarnya dapat diadaptasikan
pada komponen-komponen mata kuliah yaitu kompetensi, materi, aktivitas
pembelajaran dan evaluasi.
1.
Adaptasi pada kompetensi, maksudnya memasukkan CS dan atau CD pada tujuan mata
kuliah yang telah ada baik dalam arti memunculkan kompetensi yang baru atau
dengan merubah yang telah ada
2.
Adaptasi pada materi, maksudnya memasukkan CS dan atau CD pada materi mata
kuliah yang telah ada baik dalam arti memunculkan materi yang baru atau dengan
merubah yang telah ada.
3.
Adaptasi pada aktivitas pembelajaran , maksudnya memasukkan CS dan atau CD pada
aktivitas pembelajaran yang telah ada baik dalam arti memunculkan aktivitas
pembelajaran yang baru atau dengan merubah yang telah ada. Misalnya, pendekatan
pembelajaran aktif berikut ini dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam
perkuliahan.
4.
Adaptasi pada evaluasi maksudnya, membuat inetrumen penilaian untuk CS dan CD
seperti lembar observasi untuk tugas, sikap dan kinerja. Sesuai dengan kondisi
atau karakteristik mata kuliah, maka dapat diajukan 2 alternatif strategi
penerapan CS dan CD.
Alternatif
Pertama: Adaptasi secara lengkap (mencakup kompetensi, materi, aktivitas
pembelajaran dan evaluasi). Alternatif Kedua : Adaptasi secara parsial
(terbatas pada komponen tertentu, misalnya terbatas pada materi atau materi
dengan aktivitas pembelajaran, dst.) PENUTUP Semoga apa yang disajikan dalam
makalah ini sedikit dapat menjadi bahan diskusi dalam upaya mengembangkan CS
dav CD dalam berbagai mata kuliah pada program studi PKn.
Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Pendidikan Kewarganegaraan adalah hubungan negara dengan
warga negara, antara warga negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara.
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus terus ditingkatkan guna
menjawab tantangan masa depan, sehingga keluaran peserta didik memiliki
semangat juang yang tinggi dan kesadaran bela negara sesuai bidang profesi
masing-masing demi tetap tegak dan utuhnya NKRI.
Perguruan Tinggi perlu mendapatkan Pendidikan Kewarganegaraan karena Perguruan Tinggi sebagai institusi ilmiah bertugas secara terus menerus mengembangkan ilmu pengetahuan dan Perguruan Tinggi sebagai instrumen nasional bertugas sebagai pencetak kader-kader pemimpin bangsa.
Perguruan Tinggi perlu mendapatkan Pendidikan Kewarganegaraan karena Perguruan Tinggi sebagai institusi ilmiah bertugas secara terus menerus mengembangkan ilmu pengetahuan dan Perguruan Tinggi sebagai instrumen nasional bertugas sebagai pencetak kader-kader pemimpin bangsa.
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi diberikan pemahaman filosofi secara ilmiah meliputi pokok-pokok bahasan, yaitu : Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Politik dan Strategi Nasional.
Dari penjelasan diatas, dapat saya simpulkan bahwa pendidikan kewarganegaraan sangat penting bagi mahasiswa. Dari uraian diatas, juga dapat di kemukakan bahwa pendidikan kewarganegaran mempunyai manfaat sebagai berikut :
a.Membuka wawasan yang memberikan makna serta
menunjukan tujuan dalam kehidupan manusia.
b.Sebagai bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitas dirinya.
c.Dapat memberikan kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
d.Untuk memahami, menghayati serta melakukan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila.
b.Sebagai bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitas dirinya.
c.Dapat memberikan kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
d.Untuk memahami, menghayati serta melakukan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila.
Proses
perumusan pancasila berlangsung cukup lama.
Berikut ini beberapa tahap sidang BPUPKI dalam merumuskan pancasila.
Rumusan
pancasila Mr. Muhammad Yamin
Dalam sidang
BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 dalam pidatonya Mr. M. Yamin menyampaikan 5
rumusan dasar Negara, yakni:
1. Peri Kebangsaan.
2. Peri Kemanusiaan.
3. Peri Ketuhanan.
4. Peri Kerakyatan.
5. Kesejahteraan Rakyat.
Selanjutnya Mr. Muhammad Yamin menyampaikan
rumusan naskah Rancangan UUD yang di dalamnya tercantum rumusan lima asas dasar
negara berikut ini:
1. Katuhanan Yang Maha Esa.
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia.
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah
Kebijaksanaan dalam Perumusyawaratan Perwakilan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Rumusan
Pancasila Mr. Soepomo
Dalam sidang
kedua, pada tanggal 31 Mei 1945, Mr. Soepomo berkesempatan menyampaikan rumusan
5 dasar negara, yaitu berbunyi sebagai berikut:
1. Paham Negara Kesatuan.
2. Perhubungan Negara dengan Agama.
3. Sistem Badan Permusyawaratan.
4. Sosialisasi Negara.
5. Hubungan antara-Bangsa.
bahwa jika kita hendak mendirikan Negara
Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia,
maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatside) negara yang
integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya. Yang mengatasi
seluruh golongannya dalam lapangan apa pun. [paham Integralistik dalam pidato
Mr. Soepomo]
Rumusan
Pancasila Ir. Soekarno
Selanjutnya
pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengusulkan 5 rumusan dasar negara, yakni
sebagai berikut:
1.
Kebangsaan
Indonesia.
2.
Internasionalisme
atau perikemanusiaan.
3.
Mufakat atau
demokrasi.
4.
Kesejahteraan
sosial.
5.
Ketuhanan
yang berkebudayaan.
Rumusan
Pancasila Panitia 9
Dalam sidang
PPKI (pengganti dari BPUPKI) tanggal 22 Juni 1945 panitia 9 memberi usulan
rumusan dasar negara yang di ilhami dari berbagai pendapat sebelumnya:
1.
Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemerintah pemeluknya.
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
3.
Persatuan
Indonesia.
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan perwakilan.
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Susunan panitia 9
Ketua: Ir. Soekarno.
Anggota:
1.
K. H. A.
Wachid Hasjim
2.
Mr. Muhammad
Yamin
3.
Mr. A. A.
Maramis
4.
M. Soetarjdo
Kartohadikoesomo
5.
R. Otto
Iskandar Dinata
6.
Drs.
Mohammad Hatta
7.
K. Bagoes H.
Hadikoesomo.
Panitia 9
mengadakan rapat bersama dengan 38 anggota BPUPKI di kantor Besar Jawa
Hookookai. Panitia kecil bertugas menggolong-golongkan dan memeriksa
catatan tertulis selama persidangan. Selanjutnya dibentuk lagi satu
Panitia Kecil yang anggota-anggotanya terdiri dari Drs. Mohammad Hatta, Mr.
Muhammad Yamin, Mr. A. Subardjo, Mr. A. A. Maramis, Ir. Soekarno, Kiai Abdul
Kahar Moezakkir, K. H. A. Wachim Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso, dan H. Agus
Salim. Panitia Kecil atau panitia 9 inilah yang pada akhirnya menghasilkan
Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Rumusan akhir
Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 atau tepatnya
setelah proklamasi kemerdekaan ditentukanlah rumusan akhir yang mengakhiri
proses perumusan pancasila dengan hasil pancasila sebagai berikut:
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa.
2.
Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab.
3.
Persatuan
Indonesia.
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5.
Keadilan
Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Setelah
melalui proses rumusan pancasila yang cukup lama, rumusan
inilah yang hingga saat ini masih menjadi ideologi bangsa Indonesia. Pancasila
memiliki sifat fundamental atau tidak dapat dirubah karena merubah pancasila
berarti merubah seluruh tatanan yang ada di Indonesia.
Semenjak
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang Republik Indonesia telah
mengalami 3 macam undang-undang dasar dalam 4 masa, yaitu :
1. UUD 1945 yang diterapkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dinyatakan berlaku diseluruh Republik Indonesia. Sejak tanggal tersebut dengan mulai berlakunya konstitusi RIS pada saat pengakuan kedaulatan pada b27 Desember 1949, jelas UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena memang sedang dalam pencaroba, dan usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan, sedang pihak kolonialis belanda justru ingin menjajah kembali bekas jajahannya yang telah merdeka itu. Segala perhatian bangsa dan Negara diarahkan untuk memenagkan perang kemerdekaan.
1. UUD 1945 yang diterapkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dinyatakan berlaku diseluruh Republik Indonesia. Sejak tanggal tersebut dengan mulai berlakunya konstitusi RIS pada saat pengakuan kedaulatan pada b27 Desember 1949, jelas UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena memang sedang dalam pencaroba, dan usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan, sedang pihak kolonialis belanda justru ingin menjajah kembali bekas jajahannya yang telah merdeka itu. Segala perhatian bangsa dan Negara diarahkan untuk memenagkan perang kemerdekaan.
2. Konstitusi RIS yang berlaku dari 17 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950, Negara kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara federal Republik Indonesia Serikat berdasarkan konstitusi RIS, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 negara federal RIS menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia tetapi dengan landasan UUDS 1950.
3. UUDS 1950 yang berlaku dari 17 Agustus 1950, menurut UUd ini system pemerintahan yang dianut adalah system pemerintahan parlementer, bukan system presidential. Menurut system pemerintahan parlementer presiden dan wakil presiden adalah sekedar presiden konstitusinal dan tidak dapat diganggu gugat. Para menteri pertanggung jawab kepada parlemen.
4. UUD 1945 berlaku kembali sejak 5 Mei 1959 sampai sekarang, dekrit presiden 5 Mei 1959 sebagai usaha untuk mengadakan koreksi terhadap masa lampau yaitu masa berlakunya konstitusi RIS dan UUDS 1950
Isi tiap-tiap Alinea Pembukaan UUD 1945
Alinea Pertama, dari Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”
menunjuk keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah
kemerdekaan melawan penjajahan. dengan pernyataan itu bukan saja bangsa
Indonesia bertekad untuk merdeka. Tetapi akan tetap berdiri dari barisan yang
paling depan untuk menentang dan melawan penjajahan diatas dunia.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil
obyektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan dan oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan agar semua
bangsa didunia ini dapat melaksanakan hak kemerdekaannya yang merupakan hak
asasinya. Disitulah letak moral luhur dari pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Alinea ini mengandung suatu pernyataan
subyektif, yaitu aspirasi bangsa Indonesia sendiri untuk membebaskan diri dari
penjajahan.
Dalil tersebut diatas meletakkan tugas
kewajiban kepada bangsa/Pemerintah Indonesia untuk senantisa berjuang melawan
setiap bentuk penjajahan dan mendukung kemerdekaan setiap bangsa.
Sudah jelas pendirian yang demikian itu
yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 akan tetap menjadi
landasan pokok dalam mengendalikan politik luar negeri kita.
Alasan bangsa Indonesia menentang
penjajahan, ialah karena penjajahan itu bertentangan dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan. Ini berarti bahwa setiap hal atau sifat yang bertentangan atau
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan juga harus secara sadar
ditentang oleh bangsa Indonesia.
Alinea Kedua, yang berbunyi: “Dan
perjuangan penggerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai lah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu
gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang mereka bersatu, berdaulat, adil dan
makmur” menunjukan kebanggaan dan penghargaan kita atas perjuangan bangsa
Indonesia selama itu. Ini juga berarti adanya kesadaran bahwa keadaan sekarang
tidak dapat dipisahkan dari keadaan yang kemaren dan langkah yang kita ambil
sekarang akan menentukan keadaan yang akan datang. Dalam alinea itu jelas apa
yang dikehendaki atau diharapkan oleh para “pengatar” kemerdekaan, ialah Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Nilai-nilai itulah
yang selalu menjiwai segenap bangsa Indonesia dan terus berusaha untuk
mewujudkannya.
Alinea ini menunjukan adanya ketetapan dan ketajaman penelaian :
1. bahwa perjungan pergerakan di Indonesia telah sampai pada tingkat yang
menentuukan ;
2. bahwa momentum yang telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk
menyatakan kemerdekaan ;
3. bahwa kemerdekaan tersebut bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih harus
diisi dengan mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur ;
Alinea Ketiga, yang berbunyi: “Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginkan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaan”. Bukan saja menegaskan lagi apa yang mejadi
motivasi riil dan material bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi
juga menjadi keyakinan/kepercayaannya, menjadi motivasi spritualnya, bahwa
maksud dan tindakannya menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Allah Yang
Maha Kuasa. Dengan ini digambarkan bangsa Indonesia mendambakan kehidupan yang
berkeseimbangan, keseimbangan kehidupan material dan spiritual, keseimbangan
kehidupan didunia dan akhirat.
Alinea ini memuat motivasi spiritual yang
luhur serta suatu pengukuhan dari Proklamasi Kemerdekaan.
Alinea ini menunjukan pula ketaqwaan
bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berkat Ridho-Nya-lah Bangsa
Indonesia berhasil dalam perjungan mencapai kemerdekaan.
Alinea keempat, berbunyi: “Kemudian dari
pada itu membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi setiap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar bangsa Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha
Esa. Kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Alinea ini merumuskan dengan padat sekali
tujuan dan prinsip-prinsip dasar untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia setelah
menyatakan dirinya merdeka itu.
Tujuan perjuangan negara
Indonesia dirumuskan dengan : “Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” dan untuk “memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”dan “ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang bedasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial”. Sedangkan prinsip dasar yang harus dipegang teguh untuk mencapai
tujuan itu adalah dengan : menyusun kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbetuk dalam ssuatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan bedasarkan kepada
Pancasila. Dengan rumusan yang panjang dan padat ini, alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus menegaskan :
1. Negara Indonesia mempunyai pungsi yang sekaligus menjadi tujuannya, yaitu :
meindungi segenap bangsa Indonesia dan sekaligus tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksakan
ketertiban dunia yang bedasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial,;
2. Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan Rakyat;
3. Negara Indonesia mempunyai filsafah Pancasila, yaitu: Ketuhanan yang maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Itulah uraian penjelasan mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjiwai Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan harus menjiwai para
penyelanggara negara.
0 Komentar Tog Bhe Maseh: