Kepala Sekolah dan Kepemimpinannya

15.07 URAY ISKANDAR 0 Comments

Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam pengembangan sekolah. Untuk itu, kepala sekolah dituntut memiliki kompetensi dan profesionalisme yang memadai. Untuk memperlancar tugasnya maka perlu diadakan pendidikan dan pelatihan, serta penyiapan para calon kepala sekolah dan pengembangan keprofesian secara berkelanjutan. Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan Nasional Baedhowi mengatakan, terdapat korelasi langsung antara kompetensi kepala sekolah dengan pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah. "Jika kualitas kompetensi kepala sekolah tinggi maka ada korelasi yang bagus dalam melaksanakan proses pembelajaran," katanya saat memberikan keterangan pers tentang implementasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru menjadi Kepala Sekolah di Kemdiknas, http://fisika-smp.blogspot.com, akses tangal 4 Nopember 2010.
Kepala sekolah/madrasah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin taman kanak-kanak/raudhotul athfal (TK/RA), taman kanak-kanak luar biasa (TKLB), sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA), sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK), atau sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) yang bukan sekolah bertaraf internasional (SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah apabila memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus.
Persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Permendiknas No.28 Tahun 2010 meliputi : a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau nonkependidikan perguruan tinggi yang terakreditasi; c. berusia setinggi-tingginya 56 (lima puluh enam) tahun pada waktu pengangkatan pertama sebagai kepala sekolah/madrasah; d. sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter Pemerintah; e. tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku; f. memiliki sertifikat pendidik; h. pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun menurut jenis dan jenjang sekolah/madrasah masing-masing, kecuali di taman kanak-kanak/raudhatul athfal/taman kanak-kanak luar biasa (TK/RA/TKLB) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA/TKLB; i. memiliki golongan ruang serendah-rendahnya III/c bagi guru pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi guru bukan PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang dibuktikan dengan SK inpasing; j. memperoleh nilai amat baik untuk unsur kesetiaan dan nilai baik untuk unsur penilaian lainnya sebagai guru dalam daftar penilaian prestasi pegawai (DP3) bagi PNS atau penilaian yang sejenis DP3 bagi bukan PNS dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan k. memperoleh nilai baik untuk penilaian kinerja sebagai guru dalam 2 (dua) tahun terakhir.
Baedhowi menyampaikan, Undang-Undang No.14/2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan persyaratan guru minimal berkualifikasi S1/D4. Oleh karena itu, kata dia, persyaratan kepala sekolah yang diatur dalam Permendiknas ini mengacu pada undang-undang tersebut. Ketentuan lain yang diatur dalam Permendiknas ini adalah terkait penyiapan calon kepala sekolah. Dulu kepala sekolah dipilih saja oleh kepala daerah, tetapi sekarang untuk menjadi kepala sekolah perlu ada persiapan-persiapan.
Ada proses-proses administrasi maupun proses akademik yang harus dilakukan untuk menjadi calon kepala sekolah,". Lebih lanjut Baedhowi mengatakan, setelah calon kepala sekolah dipilih maka harus mengikuti proses pendidikan dan pelatihan minimal 100 jam dan praktik lapangan minimal tiga bulan. Untuk menjadi kepala sekolah, kata dia, harus ada suatu bukti bahwa mereka itu kompeten dan punya suatu keterampilan manajerial di dalam mengelola sekolah. "Diharapkan implementasi di lapangan tidak menentukan kepala sekolah hanya karena like and dislike, tetapi ada satu proses," ujarnya. Dalam proses pengangkatan kepala sekolah/madrasah melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah yang ditetapkan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota atau penyelenggara sekolah/madrasah yang dilaksanakan oleh masyarakat sesuai dengan kewenangannya. "Anggotanya pun juga ada unsur pengawas," katanya.
Adapun masa tugas kepala sekolah/madrasah untuk satu kali masa tugas selama empat tahun. Namun, dapat diperpanjang satu kali masa tugas bila memiliki prestasi kinerja minimal baik. "Kalau sudah dua periode boleh diangkat kembali, tetapi pada sekolah yang lain dengan prestasi amat baik,"( http://fisika-smp.blogspot.com, akses tangal 4 Nopember 2010)
Dengan berlakunya permendiknas ini maka Kepmendiknas No.162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah dinyatakan tidak berlaku. Pada kesempatan yang sama, Baedhowi menyampaikan Permendiknas No.22/ 2010 sebagai perubahan Permendiknas No.47 Tahun 2007 tentang Inpassing Guru Non-PNS.
Dijelaskan, guru-guru di bawah naungan yayasan agar mendapatkan tunjangan profesi layaknya guru-guru PNS lainnya maka perlu dilakukan inpassing atau penyetaraan. Hal ini dilakukan agar pembayaran tunjangan profesi setara dengan guru PNS.
Kepemimpinan merupakan salah satu elemen penting dalam mencapai, mempertahankan dan meningkatkan kinerja organisasi. Koseptualisasi teoriteori kepemimpinan, telah menarik perhatian dan diskusi panjang para peneliti dan para praktisi. Menurut Pawar dan Eastman (1997), penelitian tentang kepemimpinan lebih ditekankan pada kepemimpinan transformasional. Penelitian di bidang ini telah dilakukan baik dalam rangka mencari konsepsi yang tepat terhadap gaya kepemimpinan yang paling efektif (di antaranya: Bycio, et al., 1995; Kirkpatrict dan Locke, 1996; Bass dan Avolio, 1993; Podsakoff, et al., 1996; Sosik dan Godshalk, 2000; Connelly, et al., 2000; Gofee dan Jones, 2000), maupun prasyarat-prasyarat kontekstual yang harus diciptakan agar proses kepemimpinan tersebut efektif (Fahrudin Js Pareke, 2004. Jurnal Kepemimpinan Transformasional Dan Perilaku Kerja Bawahan: Sebuah Agenda Penelitian. www.fokus.ekonomi.co.id. Vol.. 3 – No. 2 – Agustus 2004) Desentralisasi dan otonomi pendidikan akan berhasil dengan baik, jika diiringi pemberdayaan pola kepemimpinan kepala sekolah yang optimal.
Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional, sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggungjawabnya. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) pengarahan; dan (4) pengawasan.
Segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberiankesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan dan pembaharuan. Kemasan cita-cita mulia pendidikan kita secara tidak langsung diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme orang tua yang terkondisikan pada kepercayaan menyekolahkan putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain berupa fenomen menggantungkan cita-citanya pada kepala sekolah. Peserta didik dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah. Seonggokan aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasiakan oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah. Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan.
Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah sering dianggap satu atau identik, bahkan secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada pada kepala sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru, karyawan dan peserta didik; melainkan konseptor managerial yang bertanggungjawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan efiseiensi kelangsungan pendidikan. Akhirnya, kepala sekolah berperanan sebagai manager yang mengelola sekolah. Sayang sekali kalau kedua peran itu yakni sebagai tokoh sentral dan manajer dalam sekolah diharubirukan oleh ketakmampuan mengatasi aneka krisis yang ada dalam sekolah (Xaviery, 2007. Jurnal Benarkah Wajah Sekolah Ada Pada Kepala Sekolah, www.tikkysuwantikno.wordpress.com. )
Ada beberapa pendapat tentang kepemimpinan. Menurut (Mulyasa, 2002:107) kepemimpinan adalah suatu kegiatan untuk mempengaruhi orang orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan (Dharma, 2000: 42) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
Pendapat Siagian menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan suatu kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain terutama bawahannya untuk berpikir dan bertindak sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan sumbangsih nyata dalam pencapaian tujuan organisasi (Anwar, 2003: 66). Transformasi sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh dewan sekolah, administrator, staf, siswa, guru, dan komunitas (Arcaro, 2006: 10).
Disimpulkan bahwa seorang pemimpinan adalah motor penggerak yang senantiasa mempengaruhi, mendorong dan mengarahkan orang-orang yang dipimpinnya supaya mereka mau bekerja dengan penuh semangat dan kepercayaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi. Oleh karena itu pemimpin seharusnya dapat memandu, menuntun, membimbing, memberi atau membangun motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan komunikasi yang lebih baik, sehingga mampu membawa para bawahan untuk mencapai tujuan yang direncanakan. Menurut Kartono dalam (Anwar, 2003: 67) menyatakan bahwa pada setiap kepemimpinan minimal mencakup tiga unsur, yakni: 1) ada seorang pemimpin yang memimpin, mempengaruhi, dan memberikan bimbingan, 2) ada bawahan yang dikendalikan, 3) ada tujuan yang diperjuangkan melalui serangkaian kegiatan.
Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Moeljono.2003:54) menyatakan bahwa konsep kepemimpinan sebagai berikut: ing ngarsa sung tuladha, ingmadya mangun karsa, tut wuri handayani. Maksudnya, seorang pemimpin hendaknya dapat membentuk, memperhatikan, memelihara, dan menjaga kehendak dan keperluan atasan kepada bawahan dengan baik, mampu bekerja sama, mencapai tujuan bersama (keberhasilan tim). Jadi kepemimpinan dalam pengambilan keputusan merupakan proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga terjadi peningkatan dan produktivitas kerjanya lebih baik dan ada peningkatan. Kepala sekolah adalah pemimpin tertinggi di suatu sekolah. Setiap pemimpin mempunyai pola yang berbeda-beda dalam menerapkan
kepemimpinannya. Cara mempengaruhi, mengarahkan, dan mendorong pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpinnya berbeda-beda. Perbedaan pola kepemimpinan itulah yang sering disebut sebagai tipe kepemimpinan.
Pada dasarnya kepemimpinan dapat dibagi menjadi lima tipe, yaitu 1) otokratik, 2) paternalistik, 3) kharismatik, 4) Laissez Faire, dan 5) demokratik (Djatmiko, 2002: 52-54)
a. Tipe otokratik, pengambilan keputusan dilakukan sendiri oleh pimpinan; hubungannya dengan bawahan menggunakan pendekatan formal berdasarkan kedudukan, dan status; berorientasi pada kekuasaan.
b. Tipe paternalistic, pengambilan keputusan dilakukan sendiri oleh pimpinan; hubungannya dengan bawahan lebih banyak bersifat bapak dan anak. Pemimpin menganggap bawahan sebagai orang yang belum dewasa sehingga pemimpin bersikap terlalu melindungi bawahan
c. Tipe kharimatik, menekankan pada dua hal, yakni pemimpin berusaha agar tugas-tugas dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya dan memberikan kesan bahwa hubungan dengan bawahan didasarkan pada relasional, bukan kekuasaan. Pemimpin yang kharismatik meiliki kekuatan dan daya tarik yang luar biasa sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat banyak dan pengawal-pengawal yang dapat dipercaya, terutama dalam menjalankan amanat dan kepentingan pemimpin dan dapat dinikmati juga oleh bawahan.
d. Tipe laissez faire, semua pekerjaan dan tanggung jawab dilakukan sendiri oleh bawahan. Pemimpin hanya merupakan simbol dan tidak memiliki keterampilan teknis. Situasi kerja bawahan tidak terpimpin, tidak terkontrol, dan tanpa disiplin kerja.
e. Tipe demokratik, tipe ini dipandang paling ideal. Dalam proses pengambilan keputusan, pemimpin mengikut sertakan bawahan. Pemimpin cenderung memperlakukan bawahan sebagai rekan kerja, menjaga keseimbangan antara hubungan formal dan informal, juga menjaga keseimbangan antara orientasi penyelesaian tugas dan orientasi hubungan yang bersifat relasional.

You Might Also Like

0 Komentar Tog Bhe Maseh: