TEORI KEPEMIMPINAN
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan beerangkat
dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama
kali di Yunani Kuno dan
Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukannya diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan “the greatma theory”
Dalam perkemabangannya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwaa sifat – sifat kepemimpinan tidak
seluruhnya dilahirkan, akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain ; sifat fisik, mental dan kepribadian
Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukannya diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan “the greatma theory”
Dalam perkemabangannya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwaa sifat – sifat kepemimpinan tidak
seluruhnya dilahirkan, akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain ; sifat fisik, mental dan kepribadian
b. Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan
penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki
kecenderungan kea rah dua hal
a)
Konsiderasi yaitu kecenderungan pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab
dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti: membela bawahan,
memberi masukan kepada bawahan dan bersedia bekonsultasi dengan bawahan.
b)
Struksur inisiasi yaitu kecenderungan seorang pemimpin yang memberikan batasan
kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat, bawahan mendapat instruksi dalam
pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil apa yang
akan dicapai.
Jadi berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang
baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi
kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi juga.
Kemudian juga timbul teori kepemimpinan situasi
dimana seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus
bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.
c. Teori kontingensi
Mulai berkembang th 1962, teori ini menyatakan bahwa tidak ada satu
sistem manajemen yang optimum, sistem tergantung pada tingkat perubahan
lingkungannya. Sistem ini disebut sistem organik (sebagai lawan sistem
mekanistik), pada sistem ini mempunyai beberapa ciri:
a) Substansinya adalah manusia bukan tugas.
b) Kurang menekankan hirarki
c) Struktur saling berhubungan, fleksibel,
dalam bentuk kelompok
d) Kebersamaan dalam nilai, kepercayaan
e) Norma Pengendalian diri sendiri, penyesuaian
bersama\
d. Teori Behavioristik
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu
hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak
mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu
belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa manajemen yang efektif bila ada
pemahaman tentang pekerja – lebih berorientasi pada manusia sebagai pelaku. Beberapa tokohnya, antara lain:
a) Maslow
Individu
mempunyai 5 kebutuhan dasar yaitu physical needs, security needs, social needs,
esteem needs, self actualization needs. Kebutuhan tersebut akan menimbulkan
suatu keinginan untuk memenuhinya. Organisasi perlu mengenali kebutuhan tersebut
dan berusaha memenuhinya agar timbul kepuasan.
b)
Douglas Mc Gregor (1906-1964)
Teori
X dan teori Y. Teori X melihat karyawan dari segi pessimistik, manajer hanya
mengubah kondisi kerja dan mengektifkan penggunaan rewards & punishment
untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Teori Y melihat karyawan dari segi
optimistik, manajer perlu melakukan pendekatan humanistik kepada karyawan,
menantang karyawan untuk berprestasi, mendorong pertumbuhan pribadi, mendorong
kinerja.
e. Teori Humanistik
Teori
ini lebih menekankan pada prinsip kemanusiaan. Teori humanistic biasanya
dicirikan dengan adanya suasana saling menghargai dan adanya kebebasan. Teori
Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan
Douglas McGregor. Teori ini secara
umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan “motivated organism”.
Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari
kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk
merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu
yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik,
terdapat tiga variabel pokok, yaitu;
a)
kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap
harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya
b)
organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan
anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan.
c)
interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk
menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard,
Zigarmi, dan Drea bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda
lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama dengan
orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).
Seorang pemimpin diharapkan memiliki kecakapan teknis maupun manajerial yang profesional. Kecakapan teknis sesuai dengan bidangnya sedang kecakapan manajerial menuntut perannya dalam memimpin orang lain. Keterampilan tersebut terpancar dalam tindakannya seperti menyeleksi, mendidik, memotivasi, mengembangkan sampai memutuskan hubungan kerja.
Oleh karena itu kepemimpinan merupakan faktor yang
sangat penting dalam suatu organisasi, karena kepemimpinan yang efektif dapat
menggerakkan, mengarahkan dan mendorong orang untuk lebih berusaha mengerahkan
segenap kemampuannya dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan merupakan salah satu
elemen penting dalam mencapai, mempertahankan dan meningkatkan kinerja
organisasi. Koseptualisasi teoriteori kepemimpinan, telah menarik perhatian dan
diskusi panjang para peneliti dan para praktisi. Menurut Pawar dan Eastman
(1997), penelitian tentang kepemimpinan lebih ditekankan pada kepemimpinan
transformasional.
Desentralisasi dan otonomi pendidikan
akan berhasil dengan baik, jika diiringi pemberdayaan pola kepemimpinan kepala
sekolah yang optimal. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara
fungsional, sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas,
wewenang, dan tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer
dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua
potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika
kepala sekolah mampu
melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.
Segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin
perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang
ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional
dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan,
dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar
sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada
di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya)
bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan
ideal sekolah.
Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu
tugas yang sarat dengan harapan dan pembaharuan. Kemasan cita-cita mulia
pendidikan kita secara tidak langsung diserahkan kepada kepala sekolah.
Optimisme orang tua yangterkondisikan pada kepercayaan menyekolahkan
putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain berupa fenomen menggantungkan
cita-citanya pada kepala sekolah. Peserta didik dapat belajar dan membelajarkan
dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah. Seonggokan aturan dan kurikulum
yang selanjutnya direalisasiakan oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi
dan otokrasi dari kepala sekolah. Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh
sentral pendidikan.
Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan
membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang
ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala
sekolah sering dianggap satu atau identik, bahkan
secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada pada kepala sekolahnya. Di
sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya seorang akumulator yang
mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru, karyawan dan peserta
didik; melainkan konseptor managerial yang bertanggungjawab pada kontribusi
masing-masingnya demi efektivitas dan efiseiensi kelangsungan pendidikan.
Akhirnya, kepala sekolah berperanan sebagai manager yang mengelola sekolah.
Sayang sekali kalau kedua peran itu yakni sebagai tokoh sentral dan manajer
dalam sekolah diharubirukan oleh ketakmampuan mengatasi aneka krisis yang ada
dalam sekolah (Xaviery, 2007. Jurnal Benarkah Wajah Sekolah Ada Pada Kepala Sekolah,
www.tikkysuwantikno.wordpress.com. )
Ada beberapa pendapat tentang
kepemimpinan. Menurut (Mulyasa, 2002:107) kepemimpinan adalah suatu kegiatan
untuk mempengaruhi orangorang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Sedangkan (Dharma, 2000: 42) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi
tertentu.
Pendapat Siagian menyatakan bahwa
kepemimpinan merupakankemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki
jabatan sebagai pimpinan suatu kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain
terutama bawahannya untuk berpikir dan bertindak sehingga melalui perilaku yang
positif ia memberikan sumbangsih nyata dalam pencapaian tujuan organisasi
(Anwar, 2003: 66).
Disimpulkan bahwa seorang pemimpinan adalah
motor penggerak yang senantiasa mempengaruhi, mendorong dan mengarahkan
orang-orang yang dipimpinnya supaya mereka mau bekerja dengan penuh semangat
dan kepercayaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi. Oleh karena itu
pemimpin seharusnya dapat memandu, menuntun, membimbing, memberi atau membangun
motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan komunikasi yang
lebih baik, sehingga mampu membawa para bawahan untuk mencapai tujuan yang
direncanakan. Menurut Kartono dalam (Anwar, 2003: 67) menyatakan bahwa pada
setiap kepemimpinan minimal mencakup tiga unsur, yakni: 1) ada seorang pemimpin
yang memimpin, mempengaruhi, dan memberikan bimbingan, 2) ada bawahan yang
dikendalikan, 3) ada tujuan yang diperjuangkan melalui serangkaian kegiatan.
Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam
Moeljono.2003:54) menyatakan bahwa konsep kepemimpinan sebagai berikut: ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Maksudnya,
seorang pemimpin hendaknya dapat membentuk, memperhatikan, memelihara, dan
menjaga kehendak dan keperluan atasan kepada bawahan dengan baik, mampu bekerja
sama, mencapai tujuan bersama (keberhasilan tim). Jadi kepemimpinan dalam pengambilan
keputusan merupakan proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau
sekelompok orang baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga terjadi
peningkatan dan produktivitas kerjanya lebih baik dan ada peningkatan.
Kepala sekolah adalah pemimpin tertinggi di
suatu sekolah. Setiap pemimpin mempunyai pola yang berbeda-beda dalam
menerapkan kepemimpinannya. Cara mempengaruhi, mengarahkan, dan mendorong pemimpin
terhadap orang-orang yang dipimpinnya berbeda-beda. Perbedaan pola kepemimpinan
itulah yang sering disebut sebagai tipe kepemimpinan.
Pada dasarnya kepemimpinan dapat dibagi menjadi
lima tipe, yaitu 1) otokratik, 2) paternalistik, 3) kharismatik, 4) Laissez
Faire, dan 5) demokratik (Djatmiko, 2002: 52-54)
a. Tipe otokratik, pengambilan
keputusan dilakukan sendiri oleh pimpinan; hubungannya dengan bawahan
menggunakan pendekatan formal berdasarkan kedudukan, dan status; berorientasi
pada kekuasaan.
b. Tipe paternalistic, pengambilan
keputusan dilakukan sendiri oleh pimpinan; hubungannya dengan bawahan lebih
banyak bersifat bapak dan anak. Pemimpin menganggap bawahan sebagai orang yang
belum dewasa sehingga pemimpin bersikap terlalu melindungi bawahan
c. Tipe kharimatik, menekankan pada dua hal,
yakni pemimpin berusaha agar
tugas-tugas
dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya dan memberikan kesan bahwa hubungan
dengan bawahan didasarkan pada relasional, bukan kekuasaan. Pemimpin yang
kharismatik meiliki kekuatan dan daya tarik yang luar biasa sehingga ia
mempunyai pengikut yang sangat banyak dan pengawal-pengawal yang dapat
dipercaya, terutama dalam menjalankan amanat dan kepentingan pemimpin dan dapat
dinikmati juga oleh bawahan.
d. Tipe
laissez faire, semua pekerjaan dan tanggung jawab dilakukan sendiri oleh
bawahan. Pemimpin hanya merupakan simbol dan tidak memiliki keterampilan
teknis. Situasi kerja bawahan tidak terpimpin, tidak terkontrol, dan tanpa
disiplin kerja.
e. Tipe demokratik, tipe ini dipandang paling
ideal. Dalam proses pengambilan keputusan, pemimpin mengikut sertakan bawahan.
Pemimpin cenderung memperlakukan bawahan sebagai rekan kerja, menjaga
keseimbangan antara hubungan formal dan informal, juga menjaga keseimbangan
antara orientasi penyelesaian tugas dan orientasi hubungan yang bersifat
relasional.
0 Komentar Tog Bhe Maseh: