FILSAFAT ILMU
RESUME FILSAFAT ILMUFilsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
- Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
- Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
- Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
- Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
- Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya
MENCARI KEBENARAN DAN PERSPEKTIFNYA
Manusia dengan akal berpikir dan berfilsafat, terus menerus tiada puasnya, mencari hakekat segala sesuatu, mencari kebenaran dan mencari realita. Dari pemikiran dan penyelidikan inilah kemudian timbul berbagai macam teori, doktrin dan dogma yang tidak saja berbeda, tapi terkadang saling bertentangan sesuai pola dasar pemikiran para pemikir dan filosof masing-masing. Di satu pihak berangkat dari manusia sebagai subyek, di lain pihak mulai dari benda sebagai obyek yang diamati, sedang yang lainnya berbeda pula dasar pemikirannya.
Berlainan tampak tegak, berlainan pula yang tampak. Akan tetapi dengan berjalannya masa, tidak akan tercapai kepuasan, akan tetapi timbul keraguan terhadap kemampuan akal itu sendiri.
Tetapi manusia tidak saja berpikir dan mengindera dalam persentuhan dan penghayatan terhadap semesta, diapun "merasakan"nya dengan berbagai aplikasi dan implikasinya. Akhirnya pada batas merasakan ketidakmampuan dan keterbatasan, serta membutuhkan. Tentu saja yang dapat mengatasi ketidakmampuan dan keterbatasannya yang secara intuitif diakui kebenarannya. Karena dengan segala kemampuan dirinya, dengan segala apa yang ada pada dirinya yang dianggap sebagai sumber pengetahuan, indera, rasa dan akal belum dapat memberikan apa yang dicari, maka dibutuhkanlah sumber yang lain yaitu wahyu.
Mencari hakekat kebenaran mungkin sering kita ucapkan, tapi susah dilaksanakan. Pertanyaan-pertanyaan kritis kita di masa kecil, misalnya mengapa gajah berkaki empat, mengapa burung bisa terbang, dan sebagainya, kadang tidak terjawab secara baik oleh orang tua kita. Sehingga akhirnya sering sesuatu kita anggap sebagai yang memang sudah demikian wajarnya (taken for granted). Yang pasti bahwa “benar” itu pasti “tidak salah” Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyek
Harus kita pahami lebih dahulu bahwa meskipun kebenaran ilmiah sifatnya lebih sahih, logis, terbukti, terukur dengan parameter yang jelas, bukan berarti bahwa kebenaran non-ilmiah atau filasat selalu salah. Malah bisa saja kebenaran non-ilmiah dan kebenaran filsafat terbukti lebih “benar” daripada kebenaran ilmiah yang disusun dengan logika, penelitian dan analisa ilmu yang matang.
KEBENARAN ILMIAH
Kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koresponden, koheren.
Kebenaran Pragmatis: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki kegunaan/manfaat praktis dan bersifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Kebenaran Koresponden: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Sedangkan kebenaran Koheren adalah Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus.
KEBENARAN FILSAFAT
Kebenaran yang diperoleh dengan cara merenungkan atau memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, baik sesuatu itu ada atau mungkin ada. Kebenaran filsafat ini memiliki proses penemuan dan pengujian kebenaran yang unik dan dibagi dalam beberapa kelompok (madzab).
- Realisme: Mempercayai sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri dan sesuatu yang pada hakekatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.
- Naturalisme: Sesuatu yang bersifat alami memiliki makna, yaitu bukti berlakunya hukum alam dan terjadi menurut kodratnya sendiri.
- Positivisme: Menolak segala sesuatu yang di luar fakta, dan menerima sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Tolok ukurnya adalah nyata, bermanfaat, pasti, tepat dan memiliki keseimbangan logika.
- Materialisme Dialektik: Orientasi berpikir adalah materi, karena materi merupakan satu-satunya hal yang nyata, yang terdalam dan berada diatas kekuatannya sendiri.
- Idealisme: Idealisme menjelaskan semua obyek dalam alam dan pengalaman sebagai pernyataan pikiran.
- Pragmatisme: Hidup manusia adalah perjuangan hidup terus menerus, yang sarat dengan konsekuensi praktis. Orientasi berpikir adalah sifat praktis, karena praktis berhubungan erat dengan makna dan kebenaran
FILSAFAT, ILMU DAN PENGETAHUAN
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Filsafat berarti cinta akan kebenaran, lebih tepatnya usaha untuk mencari kebenaran. Filsafat adalah sebuah upaya, sebuah proses, sebuah pencarian, sebuah perburuan tanpa henti akan kebenaran. Jadi ‘cinta’ dalam filsafat tidak dimaknai sebagai sebuah kata benda yang statis, yang given, melainkan sebuah kata kerja yang berarti proses terus menerus. Dalam arti itu, filsafat adalah sebuah sikap yang dihidupi, yang dihayati dalam pencarian, dalam pertanyaan terus menerus.
Ilmu berkaitan dengan dua sumber pengetahuan yakni pikiran dan indera. Namun pada hakikatnya ilmu mencoba memadukan dua kemampuan manusia untuk mengungkapkan rahasia alam lewat kegiatan berpikir dan mengamati.
Pengetahuan merupakan bagian pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendidiri. Pengetahuan mempunyai berbagai cabang pengetahuan. Pengetahuan adalah mengenai suatu hal tertentu (objek atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal itu. Jadi berarti ada metode, ada sistem, ada satu pandangan yang dipersatukan (memberi sintesis), dan yang dicari ialah sebab-sebabnya. Sumber Pengetahuan berupa pikiran,perasaan, indera, intuisi dan wahyu.
Dengan kata lain bahwa pengetahuan dapat dikategorikan tentang pengetahuan etika,estetika dan logika. Sedangkan ilmu masuk kedalam kategori logika yang dapat diartikan kegiatan berpikir secara teratur berdasarkan pikiran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal itu. Jadi berarti ada metode, ada sistem, ada satu pandangan yang dipersatukan (memberi sintesis), dan yang dicari ialah sebab-sebabnya.
Maka yang membedakan pengetahuan adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu, obyek penelaahan ilmunya mencakup seluruh aspek kehidupan yang diuji oleh pancaindera manusia. Dasar epistemologi ilmu lebih mencerminkan hakekat ilmu yang bersifat kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan.
PENALARAN DAN LOGIKA
Diantara bagian terpenting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan adalah ‘kemampuan manusia untuk menalar’. Dari kemampuan menalar itulah manusia dapat:
(a) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara maksimal;
(b) memilih dan membedakan sesuatu itu benar atau salah, sesuatu itu baik atau tidak baik;
(c) memilih beragam alternatif pilihan jalan hidup yang benar atau tidak benar, bermanfaat atau tidak bermanfaat;
(d) terus melakukan inovasi diberbagai bidang kehidupan dengan pola perubahan yang bersifat progress of change (Ankersmit. 1987; Sztompka, P. 1993
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Sebagai suatu kegiatan berpikir, maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu :
1. Adanya suatu pola berpikir yang secara luas yang disebut dengan logika
2. Sifat analitik dari proses berpikir
Penalaran merupakan bagian dari usaha untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi. Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir harus dilakukan dengan cara tertentu. Cara penatikan kesimpulan inilah yang disebut dengan logika.
Dimana dalam pengetahuan terdapat proses penalaran yaitu berpikir dan analisis. Penalaran adalah suatu kegiatan berpikir yang berdasarkan suatu aturan logika. Sedangkan analisis adalah merupakan proses yang ditempuh dalam berpikir agar kita kesimpulan yang ditarik sahih ditinjau dari suatu logika tertentu. Namun tidak semua kesimpulan dapat ditarik melalui kegiatan analisis.
Dalam bidang filsafat, ada berbagai macam metode antara lain:
1. Metode Kritis, yaitu dengan menganalisis istilah atau pendapat, dilakukan dengan jalan bertanya secara terus menerus sampai akhirnya ditemukan hakikat dari yang ditanyakan.
2. Metode Intuitif, yaitu dengan melakukan introspeksi intuitif dan dengan memakai simbol-simbol.
3. Metode Analisis Abstraksi, yaitu dengan jalan memisah-misahkan atau menganalisis dalam abstraksi atau angan-angan sampai akhirnya ditemukan hakikatnya.
Pengertian logika adalah ‘cabang filsafat ilmu yang melakukan kajian tentang cara berpikir sahih (valid), runtut, dan benar berdasarkan kaidah-kaidah atau hukum-hukum tertentu.Secara umum ada dua macam logika, yaitu:
1. Logika formal atau logika deduktif, yaitu ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikiran’. Atau ‘suatu ilmu yang mempelajari asas-asas atau hukum-hukum dalam berpikir, hukum-hukum tersebut harus ditaati supaya pola berpikirnya benar dan mencapai kebenaran.
2. Logika material atau logika induktif, yaitu ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi’. Atau logika induktif atau logika material juga sering disebut ‘metode-metode Ilmiah’
Paradigma kuantitatif:
Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).
Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera . Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.
Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar otologisnya dalam melihat fakta atau gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah;
(1) obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya
(2) suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu;
(3) suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Paradigma Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.
Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang deterministik dan bebas konteks.
Dalam Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif, lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi. Di sini ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan pada interaksi antara pendapat intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku sosialnya.
Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah – bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis, paradigma kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan verifikasi.
Dalam penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.
Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation). Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan cara merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan suatu pernyataan teoritis.
Paradigma positivisme
Aliran ini menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia maupun alam untuk dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar, yaitu berdasarkan kriteria-kriteria eksplanatoris dan prediktif. Untuk dapat memenuhi kriteria-kriteria dimaksud, maka semua ilmu harus mempunyai pandangan dunia positivistik, yaitu :
1. Objektif. Teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai
2. Fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya bicara tentang semesta yang teramati. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan disingkirkan
3. Reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati;
4. Naturalisme. Alam semesta adalah obyek-obyek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam (Burhan Bungis: 2005; 31-32).
Teori Konstruktivisme
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam minda manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran di peringkat sekolah, maktab dan universiti tetapi tidak begitu ketara dan tidak ditekankan.
Pendekatan penelitian
Orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian ilmiah menjelaskan tentang tiga hal, yaitu: orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian kuantitatif; orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian kualitatif; dan orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian gabungan (kuantitatif dan kualitatif).
a. Orientasi filosofis dan ciri penelitian kuantitatif
Pada masyarakat ilmuwan telah lama terjadi perdebatan panjang dan tetap berlangsung sampai sekarang tentang cara terbaik dalam memahami fenomena sosial-alam melalui kegiatan penelitian ilmiah. Perdebatan tersebut karena adanya: perbedaan orientasi filosofis, perbedaan orientasi teori dalam penelitian, dan perbedaan metode atau pendekatan penelitiannya (Poloma, M.M. 1979; Cambell, T. 1981). Ada dua orientasi filosofis yang selalu menjadi acuan dalam menemukan atau mengembangkan teori dan dalam kegiatan penelitian ilmiah, yaitu:
Pertama, orientasi filosofis positivisme atau rasionalisme atau objektivisme. Proses penelitian ilmiah yang berorientasi pada paham ini, mempunyai ciri: (a) pendekatan penelitiannya adalah kuantitatif; (b) analisis datanya menggunakan statistik; (c) hakikat realitas hidup adalah tunggal; (d) proses research adalah menguji teori atau menguji hipotesis; (e) menggunakan logika deduktif dan melakukan generalisasi statistik; dan (f) kriteria kualitas penelitian adalah: objektivitas, reliabilitas dan validitas.
Kedua, orientasi filosofis empirisme, atau idealisme, atau konstruktivisme; atau subjektivisme. Proses penelitian ilmiah yang berorientasi pada paham ini, mempunyai ciri: (a) pendekatan penelitiannya kualitatif; (b) analisis datanya berupa deskriptif abstraktif (non statistik) secara sistematis dan alamiah; (c) hakikat realitas hidup adalah jamak, holistik; (d) menggunakan logika induktif, tidak menguji teori atau tidak melakukan uji hipotesis; dan (e) kriteria kualitas penelitiannya adalah: otentisitas dan relevansi dengan fenomena alami.
PENDEKATAN INTERPRETIVE
Pendekatan interpretif ini adalah suatu pendekatan dalam penelitian yang berbeda dengan pendekatan yang sudah lazim dan mapan dilakukan, yaitu pendekatan positivist atau empiris. Sesuai dengan definsi di atas, pendekatan interpretif ini dimulai dengan paradigma bahwa realitas itu dibangun sebagai wujud dari konstruksi sosial (social construction). Makanya pendekatan ini sering juga disebut pendekatan konstruksionis. Intinya adalah, realitas atau fakta itu adalah sesuatu yang dibangun manusia dalam ruang pikirannya, dan dipertajam dengan proses interaksi sosial.
Bahasa : Sarana Berpikir Ilmiah
Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak. Demikian juga tanpa bahasa maka kita tidak dapat mengkomunikasikan pengetahuan kita kepada orang lain. Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut. Demikian juga bahasa memberikan kemampuan untuk berpikir secara teratur dan dan sistematis . Bahasa mengkomunikasikan tiga hal, yakni : buah pikiran, perasaan dan sikap. Menurut Kneller dalam Jujun S. Suriasumantri ( 2005:175) bahwa bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah, sedangkan emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Dengan bahasa maka manusia hidup dalam dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik, maka manusia dapat memberikan arti kepada hidupnya. Arti yang terpateri dalam dunia simbolik yang diwujudkan lewat kata-kata yang mempunyai arti bahkan kekuatan.
Beberapa konsep penting tentang keberadaan bahasa dalam proses kehidupan manusia, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan sehari-hari antara lain:
1. Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak.
2. Setiap bahasa yang dijadikan sebagai media komunikasi mengandung dua aspek, yaitu: aspek informatif (informasi tentang segala sesuatu), dan aspek imotif (mengandung perasaan dari para individu yang berinteraksi).
3. Bahasa membuat manusia mampu hidup dalam proses pengalaman demi pengalaman empirik, kemudian merekamnya dengan sistematis, logis, dan mampu berada pada dunia pengalaman simbolik yang dinyatakan dalam bahasa.
4. Dengan bahasa manusia mampu menyusun sendi-sendi yang membuka rahasia alam pikiran dan alam nyata sehari-hari dalam berbagai teori, seperti elektronik, termodinamik, relativitas dan quantum.
5. Para filosof mengatakan, ‘bahasa merupakan modus operandi dari cara manusia berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini’. Manusia tidak akan pernah bisa berbuat apa-apa di dunia ini tanpa menggunakan bahasa.
6. Bahasa merupakan abstraksi dari suatu budaya masyarakat atau bangsa tertentu. Apabila manusia ingin mengkaji atau meneliti suatu karya budaya masyarakat atau bangsa tertentu, dipastikan dia tidak akan bisa apabila tidak memahami bahasa yang dimiliki oleh masyarakat atau bangsa yang ditelitinya.
7. Dengan bahasa manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, melalui kegiatan atau komunikasi ilmiah. Agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik, maka bahasa yang dipergunakan harus bebas dari unsur-unsur imotif, ideologis dan kepentingan subjektivistik. Jadi, komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif yang bersifat objektif (Suriasumantri, J.S.,1996; Sumaryono, 1999).
DAFTAR PUSTAKA
http://aljawad.tripod.com/artikel/filsafat_ilmu.Akses tanggal 18 Juni 2010
http://dienfaqieh.wordpress.com/2010/01/12/apa-itu-filsafat/ Akses tanggal 18 Juni 2010
http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/04/filsafat-dan-ilmu-pengetahuan.html Akses tanggal 18 Juni 2010
(http://romisatriawahono.net/2007/02/20/hakekat-kebenaran) Akses tanggal 22 Juni 2010
http://polres.multiply.com/journal/item/9 Akses tanggal 22 Juni 2010
http://sandiah-sandiah.blogspot.com/2010/05/positivisme-hermeunetik-perang_14.htm Akses tanggal 22 Juni 2010
http://www.teachersrock.net/teori_kon.htm Akses tanggal 22 Juni 2010
http://drarifin.wordpress.com/2009/12/18/kajian-filsafat-ilmu/ Akses tanggal 22 Juni 2010
http://staff.blog.ui.ac.id/rrsatria/2009/08/15/bagaimanakah-interpretive-research-di-dunia-ilmu-komputer-dan-sistem-informasi Akses tanggal 22 Juni 2010
http://www.x3-prima.com/2010/02/pengetahuan-dan-posisi-filsafat.html Akses tanggal 18 Juni 2010
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--mustafasoe-659) Akses tanggal 18 Juni 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Logika. Akses tanggal 18 Juni 2010
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/09/penalaran Akses tanggal 18 Juni 2010
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer.Jakarta.Pustaka Sinar Harapan. 2005
Suriasumantri, Jujun S.Ilmu dalam Perspektif. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2006.
0 Komentar Tog Bhe Maseh: