Pembinaan Motivasi Kerja Guru

11:09 AM URAY ISKANDAR 0 Comments


Motivasi kerja guru bisa rendah bisa tinggi. Seorang guru yang memiliki motivasi kerja tinggi akan memiliki kemauan yang keras atau kesungguhan hati untuk mengerjakan tugas-tugasnya, dan akibatnya produktivitasnya akan meningkat. Sebaliknya, seorang guru yang memiliki kerja yang rendah akan kurang memiliki kemauan keras untuk mengerjakan tugas-tugasnya, dan akibatnya produktivitasnya menurun.
Konsisten dengan konsep motivasi dan teori kebutuhan yang telah diuraikan di muka, seorang guru akan memiliki motivasi kerja yang tinggi apabila ia merasa bahwa segala kebutuhannya terpenuhi melalui kerjanya. Apabila ia merasa bahwa pekerjaan yang dilakukannya tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya, maka, menurut Argyris (1957), ia akan kurang bersemangat, penuh rasa ragu akan masa depannya, bahkan kemungkinan besar akan meninggalkan pekerjaan tersebut untuk mencari pekerjaan lain yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhannya. Ini berarti, juga ditegaskan oleh Certo (1985) dan Owens (1987) bahwa pada dasarnya memotivasi kerja guru itu tidak lain adalah upaya pemuasan atau pemenuhan segala kebutuhan guru.
Menurut Huse dan Bowditch (1973), ada tiga model memotivasi kerja seseorang, yaitu: (1) model kekuatan dan ancaman; (2) model ekonomik/mesin, dan dan (3) model pertumbuhan-sistem terbuka

1.     Model Kekuatan dan Ancaman

Model kekuatan dan ancaman (a force and coercion model) ini merupakan model tertua dan sangat sederhana dalam memahami atau memandang manusia. Asumsi yang mendasari model ini adalah bahwa seseorang akan bekerja dengan baik apabila disudutkan pada sebuah situasi, di mana ia hanya bisa memilih bekerja ataukah dihukum (Huse dan Bowditch, 1973). Asumsi ini sama dengan asumsi yang mendasari teori X. McGregor, bahwa pada dasarnya manusia itu suka menghindari tugas dan tanggung jawab, dan apabila tidak diintervensi dan diancam oleh atasa, maka ia akan pasif. Oleh sebab itu agar seseorang mau bekerja ia harus dipaksa (Carver dan Sergiovanni, 1969).
Sekilas, model ini memang tampak sangat efektif dalam memotivasi kerja guru. Dengan ancaman-ancaman tertentu, semua guru akan bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh atasan. Namun model ini akan merusak kepribadian guru. Dengan adanya ancaman terus menerus, guru-guru akan merasa tidak bisa berkembang dan tertekan sehingga mereka akan mengalami ketegangan jiwa (stress). Ini berarti, akhir penggunaan model ini bukanlah akan mampu memenuhi atau memuaskan kebutuhan guru-guru, sesuai dengan konsepsi yang sebenarnya pembinaan motivasi, melainkan justru sebaliknya, yaitu menimbulkan ketidakpuasan pada guru-guru.
Sehubungan dengan masalah ketegangan jiwa (stress) tersebut di atas, Dworkin dan kawan-kawannya (1990) melakukan penelitian tentang ketegangan jiwa dan perilaku sakit (illness behavior) pada guru-guru Sekolah Umum Perkotaan (Urban Public School), dengan jumlah sampel sebesar 291 guru. Hasil penelitian ini menunjukkan antara lain: (1) ada korelasi positif secara signifikan antara ketegangan jiwa guru dalam kerjanya dan sakit yang dialaminya, sakit meningkat sebagaimana meningkatnya ketegangan jiwa guru, dan (2) guru-guru yang memiliki kepala sekolah bersifat supportive kurang mengalami sakit daripada guru-guru yang memiliki kepala sekolah yang bersifat unsupportive.

2.     Model Ekonomik/Mesin

Model ekonomik/mesin (economic/machine model) ini didasarkan pada pandangan manajemen klasik mengenai motivasi bahwa manusia hanya membutuhkan uang. Dalam model ini, manusia dipandang sebagai makhluk organisasi yang bekerja semata-mata untuk mengejar uang atau kekayaan. Ia dipandang sebagai mesin yang tidak memiliki perasaan sosial, dan tidak memiliki kebutuhan lain kecuali uang (Huse dan Bowditch, 1973). Oleh sebab itu, menurut model ini, apabila seseorang digaji dengan memuaskan, maka seseorang tersebut akan bekerja dengan baik. Selanjutnya, apabila terjadi permasalahan-permasalahan, seperti adanya pegawai yang malas, menyia-nyiakan waktu (goofing off), performansi kerja yang rendah, maka paling baik dipecahkan dengan cara memikirkan cara pembayaran yang menyediakan insentif yang mendorong pegawai berperformansi dengan baik (Owens, 1987).
Berdasarkan asumsi dasar tersebut di atas, dalam model ekonomik/mesin ini dikembangkan satu sistem pembayaran gaji berdasarkan bukan pada waktu yang dihabiskan, melainkan apa yang dihasilkan (Huse dan Bowditch, 1973; dan Tosi dan Carroll, 1976). Sudah barang tentu sistem pembayaran ini sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas, terutama bila diterapkan dalam dunia industri.
Model ini tampak lebih manusiawi daripada model kekuatan dan ancaman. Bukan saja karena dalam model ini tidak digunakan tekanan-tekanan dalam memotivasi kerja seseorang, melainkan juga setiap orang membutuhkan uang. Namun, guru sebagai manusia, bukanlah makhluk yang bekerja semata-mata untuk mendapatkan uang. Ia adalah makhluk sosial yang sepanjang hidupnya bukan hanya membutuhkan uang untuk mempertahankan eksistensi hidupnya, melainkan juga aspek-aspek lain, seperti hubungan sosial, harga diri, pengakuan, dan pertumbuhan. Apabila dikaitkan dengan teori hierarki kebutuhan Maslow dan teori kebutuhan ERG Alderfer, maka sebenarnya model ini semata-mata mampu memenuhi kebutuhan tingkat rendah, yaitu fisiologis.
Sesuai dengan teori ini dua faktor Herzberg, uang atau gaji merupakan salah satu faktor penyehat. Keberadaannya mampu menimbulkan tidak adanya ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan sehingga tidak akan mampu meningkatkan motivasi. Keberadaannya dapat memelihara prestasi, tetapi tidak akan mampu meningkatkan prestasi. Itulah sebabnya Herzberg (1959) memberikan nama lain dari faktor penyehat itu dengan sebutan faktor pemeliharaan (maintenance factor). Sedangkan menurut Owens (1987), seseorang yang sebagian besar kebutuhannya terpenuhi oleh faktor-faktor penyehat cenderung mendapatkan kepuasan kecil dari kerjanya dan menunjukkan perhatian kecil pula terhadap bagaimana ia seharusnya mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.

3.     Model Pertumbuhan – Sistem Terbuka

Sebagai model ketiga dalam memotivasi kerja guru adalah model pertumbuhan sistem terbuka (growth-open system model). Model ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia bukanlah menjadi obyek belaka dari lingkungan, ia diciptakan untuk melakukan perubahan pada dirinya dan lingkungannya, ia memiliki potensi untuk bertumbuh, bertanggungjawab, dan berprestasi, dan manusia memiliki motif-motif yang jauh lebih kompleks daripada yang diasumsikan pada kedua model motivasi sebelumnya (Huse dan Bowditch, 1973).
Berdasarkan asumsi di atas, model ini lebih menekankan bagaimana mendorong guru untuk tumbuh dan berkembang dalam kerjanya. Model ini berhubungan langsung dengan teori aktualisasi diri (self actualizing man) oleh Maslow dan teori dua faktor yang dikemukakan Herzberg. Menurut teori aktualisasi diri, faktor-faktor psikologis lebih penting daripada faktor-faktor fisiologis. Sambutan sosial dari teman sejawat memiliki pengaruh lebih besar daripada insentif terhadap produktivitas kerja. Dengan demikian memotivasi kerja guru seharusnya dilakukan dengan berupaya memenuhi faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan psikologis guru, misalnya melalui pengakuan, membina pertumbuhan guru, promosi guru, pemberian tanggung jawab, prestasi.

Sergiovanni, pada akhir tahun 1960 pernah melakukan replikasi penelitian terhadapa apa yang telah dilakukan Herzberg. Ia menemukan bahwa prestasi dan pengakuan merupakan faktor pendorong yang sangat penting bagi guru-guru, menyusul faktor-faktor lain, seperti kerja itu sendiri, tanggung jawab, dan kemungkinan untuk bertumbuh. Begitu pula penelitian aplikasi teori Herzberg di Jawa Timur, yang dilakukan oleh Mataheru (1984) dalam rangka penulisan disertasi, menunjukkan hasil yang sama.

You Might Also Like

0 Komentar Tog Bhe Maseh: