Pembinaan Motivasi Kerja Guru
Motivasi kerja guru bisa
rendah bisa tinggi. Seorang guru yang memiliki motivasi kerja tinggi akan
memiliki kemauan yang keras atau kesungguhan hati untuk mengerjakan
tugas-tugasnya, dan akibatnya produktivitasnya akan meningkat. Sebaliknya,
seorang guru yang memiliki kerja yang rendah akan kurang memiliki kemauan keras
untuk mengerjakan tugas-tugasnya, dan akibatnya produktivitasnya menurun.
Konsisten dengan konsep
motivasi dan teori kebutuhan yang telah diuraikan di muka, seorang guru akan
memiliki motivasi kerja yang tinggi apabila ia merasa bahwa segala kebutuhannya
terpenuhi melalui kerjanya. Apabila ia merasa bahwa pekerjaan yang dilakukannya
tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya, maka, menurut Argyris (1957), ia akan
kurang bersemangat, penuh rasa ragu akan masa depannya, bahkan kemungkinan
besar akan meninggalkan pekerjaan tersebut untuk mencari pekerjaan lain yang
sekiranya dapat memenuhi kebutuhannya. Ini berarti, juga ditegaskan oleh Certo
(1985) dan Owens (1987) bahwa pada dasarnya memotivasi kerja guru itu tidak
lain adalah upaya pemuasan atau pemenuhan segala kebutuhan guru.
Menurut Huse dan Bowditch
(1973), ada tiga model memotivasi kerja seseorang, yaitu: (1) model kekuatan
dan ancaman; (2) model ekonomik/mesin, dan dan (3) model pertumbuhan-sistem
terbuka
1. Model
Kekuatan dan Ancaman
Model kekuatan dan ancaman (a force and coercion model) ini
merupakan model tertua dan sangat sederhana dalam memahami atau memandang manusia.
Asumsi yang mendasari model ini adalah bahwa seseorang akan bekerja dengan baik
apabila disudutkan pada sebuah situasi, di mana ia hanya bisa memilih bekerja
ataukah dihukum (Huse dan Bowditch, 1973). Asumsi ini sama dengan asumsi yang
mendasari teori X. McGregor, bahwa pada dasarnya manusia itu suka menghindari
tugas dan tanggung jawab, dan apabila tidak diintervensi dan diancam oleh
atasa, maka ia akan pasif. Oleh sebab itu agar seseorang mau bekerja ia harus
dipaksa (Carver dan Sergiovanni, 1969).
Sekilas, model ini memang
tampak sangat efektif dalam memotivasi kerja guru. Dengan ancaman-ancaman
tertentu, semua guru akan bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh atasan. Namun model ini akan merusak kepribadian guru. Dengan
adanya ancaman terus menerus, guru-guru akan merasa tidak bisa berkembang dan
tertekan sehingga mereka akan mengalami ketegangan jiwa (stress). Ini berarti, akhir penggunaan model ini bukanlah akan
mampu memenuhi atau memuaskan kebutuhan guru-guru, sesuai dengan konsepsi yang
sebenarnya pembinaan motivasi, melainkan justru sebaliknya, yaitu menimbulkan
ketidakpuasan pada guru-guru.
Sehubungan dengan masalah
ketegangan jiwa (stress) tersebut di
atas, Dworkin dan kawan-kawannya (1990) melakukan penelitian tentang ketegangan
jiwa dan perilaku sakit (illness behavior)
pada guru-guru Sekolah Umum Perkotaan (Urban
Public School), dengan jumlah sampel sebesar 291 guru. Hasil penelitian ini
menunjukkan antara lain: (1) ada korelasi positif secara signifikan antara
ketegangan jiwa guru dalam kerjanya dan sakit yang dialaminya, sakit meningkat
sebagaimana meningkatnya ketegangan jiwa guru, dan (2) guru-guru yang memiliki
kepala sekolah bersifat supportive
kurang mengalami sakit daripada guru-guru yang memiliki kepala sekolah yang
bersifat unsupportive.
2. Model
Ekonomik/Mesin
Model ekonomik/mesin (economic/machine model) ini didasarkan
pada pandangan manajemen klasik mengenai motivasi bahwa manusia hanya
membutuhkan uang. Dalam model ini, manusia dipandang sebagai makhluk organisasi
yang bekerja semata-mata untuk mengejar uang atau kekayaan. Ia dipandang
sebagai mesin yang tidak memiliki perasaan sosial, dan tidak memiliki kebutuhan
lain kecuali uang (Huse dan Bowditch, 1973). Oleh sebab itu, menurut model ini,
apabila seseorang digaji dengan memuaskan, maka seseorang tersebut akan bekerja
dengan baik. Selanjutnya, apabila terjadi permasalahan-permasalahan, seperti
adanya pegawai yang malas, menyia-nyiakan waktu (goofing off), performansi kerja yang rendah, maka paling baik dipecahkan
dengan cara memikirkan cara pembayaran yang menyediakan insentif yang mendorong
pegawai berperformansi dengan baik (Owens, 1987).
Berdasarkan asumsi dasar
tersebut di atas, dalam model ekonomik/mesin ini dikembangkan satu sistem
pembayaran gaji berdasarkan bukan pada waktu yang dihabiskan, melainkan apa
yang dihasilkan (Huse dan Bowditch, 1973; dan Tosi dan Carroll, 1976). Sudah
barang tentu sistem pembayaran ini sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan
efektivitas, terutama bila diterapkan dalam dunia industri.
Model ini tampak lebih
manusiawi daripada model kekuatan dan ancaman. Bukan saja karena dalam model
ini tidak digunakan tekanan-tekanan dalam memotivasi kerja seseorang, melainkan
juga setiap orang membutuhkan uang. Namun, guru sebagai manusia, bukanlah
makhluk yang bekerja semata-mata untuk mendapatkan uang. Ia adalah makhluk
sosial yang sepanjang hidupnya bukan hanya membutuhkan uang untuk
mempertahankan eksistensi hidupnya, melainkan juga aspek-aspek lain, seperti
hubungan sosial, harga diri, pengakuan, dan pertumbuhan. Apabila dikaitkan
dengan teori hierarki kebutuhan Maslow dan teori kebutuhan ERG Alderfer, maka
sebenarnya model ini semata-mata mampu memenuhi kebutuhan tingkat rendah, yaitu
fisiologis.
Sesuai dengan teori ini dua
faktor Herzberg, uang atau gaji merupakan salah satu faktor penyehat.
Keberadaannya mampu menimbulkan tidak adanya ketidakpuasan, tetapi tidak akan
menimbulkan kepuasan sehingga tidak akan mampu meningkatkan motivasi.
Keberadaannya dapat memelihara prestasi, tetapi tidak akan mampu meningkatkan
prestasi. Itulah sebabnya Herzberg (1959) memberikan nama lain dari faktor
penyehat itu dengan sebutan faktor pemeliharaan (maintenance factor). Sedangkan menurut Owens (1987), seseorang yang
sebagian besar kebutuhannya terpenuhi oleh faktor-faktor penyehat cenderung
mendapatkan kepuasan kecil dari kerjanya dan menunjukkan perhatian kecil pula
terhadap bagaimana ia seharusnya mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.
3. Model
Pertumbuhan – Sistem Terbuka
Sebagai model ketiga dalam
memotivasi kerja guru adalah model pertumbuhan sistem terbuka (growth-open system model). Model ini
didasarkan pada asumsi bahwa manusia bukanlah menjadi obyek belaka dari
lingkungan, ia diciptakan untuk melakukan perubahan pada dirinya dan
lingkungannya, ia memiliki potensi untuk bertumbuh, bertanggungjawab, dan
berprestasi, dan manusia memiliki motif-motif yang jauh lebih kompleks daripada
yang diasumsikan pada kedua model motivasi sebelumnya (Huse dan Bowditch,
1973).
Berdasarkan asumsi di atas,
model ini lebih menekankan bagaimana mendorong guru untuk tumbuh dan berkembang
dalam kerjanya. Model ini berhubungan langsung dengan teori aktualisasi diri (self actualizing man) oleh Maslow dan
teori dua faktor yang dikemukakan Herzberg. Menurut teori aktualisasi diri,
faktor-faktor psikologis lebih penting daripada faktor-faktor fisiologis.
Sambutan sosial dari teman sejawat memiliki pengaruh lebih besar daripada
insentif terhadap produktivitas kerja. Dengan demikian memotivasi kerja guru
seharusnya dilakukan dengan berupaya memenuhi faktor-faktor yang dapat
menimbulkan kepuasan psikologis guru, misalnya melalui pengakuan, membina
pertumbuhan guru, promosi guru, pemberian tanggung jawab, prestasi.
Sergiovanni, pada akhir
tahun 1960 pernah melakukan replikasi penelitian terhadapa apa yang telah
dilakukan Herzberg. Ia menemukan bahwa prestasi dan pengakuan merupakan faktor
pendorong yang sangat penting bagi guru-guru, menyusul faktor-faktor lain,
seperti kerja itu sendiri, tanggung jawab, dan kemungkinan untuk bertumbuh.
Begitu pula penelitian aplikasi teori Herzberg di Jawa Timur, yang dilakukan
oleh Mataheru (1984) dalam rangka penulisan disertasi, menunjukkan hasil yang
sama.
0 Komentar Tog Bhe Maseh: