Supervisi Klinik
Supervisi
klinik, mula-mula diperkenalkan dan dikembangkan oleh Morris L. Cogan, Robert
Goldhammer, dan Richarct Weller di Universitas Harvard pada akhir dasa warsa
lima puluh tahun dan awal dasawarsa enam puluhan (Krajewski) 1982). Ada dua
asumsi yang mendasari praktek supervisi klinik. Pertama, pengajaran merupakan
aktivitas yang sangat kompleks yang memerlukan pengamatan dan analisis secara
berhati-hari melalui pengamatan dan analisis ini, supervisor pengajaran akan
mudah mengembangkan kemampuan guru mengelola proses pembelajaran. Kedua,
guru-guru yang profesionalnya ingin dikembangkan lebih menghendaki cara yang
kolegial daripada cara yang outoritarian (Sergiovanni, 1987).
Pada
mulanya, supervisi klinik dirancang sebagai salah satu model atau pendekatan
dalam melakukan supervisi pengajaran terhadap calon guru yang sedang berpraktek
mengajar. Dalam supervisi ini ditekanannya pada klinik, yang diwujudkan adalah
bentuk hubungan tatap muka antara supervisor dan calon guru yang sedang
berpraktek, Cogan (1973) mendefinisikan supervisi klinik sebagai berikut :
The rational and practice designed to
improve the teacher’supervisi classroom performance. It takes its principal
data from the events of the classroom. The analysis of these data and the
relationships between teacher and supervisor from the basis of the program,
procedures, and strategies designed to improve the student’supervisi learning
by improving the teacher’supervisi classroom behavior (Cogan
1973, halaman 54).
Sesuai dengan
pendapat Cogan ini, supervisi klinik pada dasarnya merupakan pembinaan
performansi guru mengelola proses belajar mengajar. Pelaksanaannya didesain
dengan praktis secara rasional. Baik desainnya maupun pelaksanaannya dilakukan
atas dasar analisis data mengenai kegiatan-kegiatan di kelas. Data dan hubungan
antara guru dan supervisor merupakan dasar program prosedur, dan strategi
pembinaan perilaku mengajar guru dalam mengembangkan belajar murid-murid. Cogan
sendiri menekankan aspek supervisi klinik pada lima hal, yaitu (1) proses
supervisi klinik, (2) interaksi antara calon guru dan murid, (3) performansi
calon guru dalam mengajar, (4) hubungan calon guru dengan supervisor, dan (5)
analisis data berdasarkan peristiwa aktual di kelas.
Tujuan
supervisi klinik adalah untuk membantu memodifikasi pola-pola pengajaran yang
tidak atau kurang efektif. Menurut Sergiovanni (1987) ada dua sasaran supervisi
klinik, yang menurut penulis merefleksi multi tujuan supervisi klinik, yang
menurut penulis merefleksi multi tujuan supervisi pengajaran, khususnya
pengembangan profesional dan motivasi kerja guru, sebagaimana telah dikemukakan
dalam bab I. Di satu sisi, supervisi klinik dilakukan untuk membangun motivasi
dan komitmen kerja guru. Di sisi lain, supervisi klinik dilakukan untuk
menyediakan pengembangan staf bagi guru. Sedangkan menurut dua orang teoritisi
lainnya, yaitu Acheson dan Gall (1987) tujuan supervisi klinik adalah
meningkatkan pengajaran guru dikelas.
Tujuan ini dirinci lagi ke dalam tujuan yang lebih spesifik, sebagai berikut.
1.
Menyediakan
umpan balik yang obyektif terhadap guru, mengenai pengajaran yang
dilaksanakannya.
2.
Mendiagnosis
dan membantu memecahkan masalah-masalah pengajaran.
3.
Membantu
guru mengembangkan keterampilannnya menggunakan strategi pengajaran.
4.
Mengevaluasi
guru untuk kepentingan promosi jabatan dan keputusan lainnya.
5.
Membantu
guru mengembangkan satu sikap positif terhadap pengembangan profesional yang
berkesinambungan.
Demikianlah
sekilas konsep spuervisi klinik bila disimpulkan, maka karakteristik supervisi
klinik sebagai berikut ; supervisi klinik berlangsung dalam bentuk hubungan
tatap muka antara supervisor dan guru, tujuan supervisi klinik itu adalah untuk
pengembangan profesional guru. Kegiatan supervisi klinik ditekankan pad
aspek-aspek yang menjadi perhatian guru serta observasi kegiatan pengajaran di
kelas, observasi harus dilakukan secara cermat dan mendetail, analisis terhadap
hasil observasi harus dilakukan bersama antara supervisor dan guru dan hubungan
antara supervisor dan guru harus bersifat kolegial bukan autoritarian.
Sejak supervisi
klinik diperkenalkan dan dikembangkan pada akhir dasawarsa lima puluhan dan
awal dasawarsa lima puluhan dan awal dasawarsa enam puluhan, penelitian tentang
efektivitas klinik dalam praktek mengajar belum dilaksanakan secara luas dan
mendalam. Bahkan keberadaannya selama lima belas tahun supervisi klinik lebih
bersifat sebagai ide pendidikan belaka daripada praktek yang workable dalam latar pendidikan
(Krajewski 1982). Namun ini telah banyak dipraktikkan supervisi klinik dan
penelitian efektivitasnya. Walaupun hanya beberapa penelitian sederhana, tetapi
hasilnya menunjukkan keefektifan supervisi klinik.
Misalnya,
Flanders (1970) yang lebih memusatkan perhatiannya pada analisis interaksi
dalam supervisi klinik menemukan bahwa melalui supervisi klinik supervisor
dapat membantu guru menganalisis interaksi yang dilakukan di kelas. Penelitian
lainnya dilakukan oleh Amidon, Shinn, dan Marthin yang bertujuan menjaring
informasi mengenai sikap guru dan supervisor terhadap supervisi klinik. Hasil
ketiga penelitian ini dilaporkan atau diinformasikan oleh Acheson dan Gall
(1980) sebagai berikut. Blumberg dan Amidon menemukan bahwa para guru lebih
menyukai dan menghargai penerapan komunikasi tidak langsung yang merupakan
unsur penting dalam supervisi klinik yang bergaya tidak langsung pula.
Berdasarkan penelitiannya, Shinn menemukan dua kesimpulan mengenai supervisi
klinik, yaitu ; para guru banyak yang
mengatakan bahwa teknik supervisi klinik yang sangat bermanfaat, dan para guru
lebih menyukai supervisi klinik yang berbentuk tidak langsung.
Sedangkan hasil
penelitian Marthin menyatakan bahwa para guru bisa menerima supervisi klinik
sebagai satu pendekatan pembinaan pengajaran guru. Ia menemukan bahwa kelompok
yang telah ditatar bisa menerima maksud evaluasi tahunan yang bertujuan
memperbaiki pekerjaan para guru itu sendiri dan sebagai promosi jabatan atau
pertimbangan lain yang menyangkut pekerjaan mereka.
Dalam proses
supervisi kilinik selalu terdapat kegiatan yang disebut dengan istilah post conference, lakukan setelah
dilakukan observasi kelas. Di sini supervisor bersama guru menganalisis
kegiatan pembelajaran yang telah diobservasi sebelumnya. Dengan demikian secara
otomatis, melalui kegiatan post
conference guru memperoleh balikan mengenai kegiatannya mengelola proses
belajar mengajar. Tuckman dan Yates (1980) pernah melakukan penelitian tentang
efektivitas pemberian balikan dalam meningkatkan keterampilan mengajar guru.
Dalam penelitian ini subyek dibagi dua kelompok, yaitu kelompok eksperiman yang
diberikan perlakukan berupa balikan dan kelompok kontrol yang tidak diberikan
perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) ada perbedaan yang
signifikan antara guru-guru yang memperoleh balikan dari murid dan guru-guru
yang tidak mendapatkan balikan dari muridnya, dan (2) penampilan mengajar
tingkat akhir lebih baik bila dibandingkan dengan penampilan mengajar tingkat
permulaan bagi kelompok eksperimen bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Pada tahun
1984, Mantja pernah melakukan penelitian tentang keefektifan supervisi klinik
dalam pembimbingan praktik mengajar mahasiswa IKIP Malang, sebagai studi
eksperimentasi kuasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah
kelompok mahasiswa yang dibimbing dengan supervisi klinik menunjukkan pestasi
keberhasilan yang dibimbing secara tradisional. Penelitian ini hanya memusatkan
perhatian pada salah satu pembentukan kompetensi guru, yaitu kompetensi
profesional. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan eksperimental
kuasi dengan pra tes dan pasca tes.
Data utama
penelitian ini adalah nilai latihan praktik mengajar (dua nilai latihan awal
dan dua nilai latihan akhir dari depalan kali penampilan mengajar). Data lain
yang diperoleh melalui angket dianalisis dengan tes kuasi kuadrat. Data ini
diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara kedua kategori
kelompok setelah perlakuan supervisi klinik diberian kepada kolompok
eksperimental. Sedangkan subyek penelitian ini adalah 104 orang mahasiswa IKIP
Malang Program SO-2, SO-3, dan S-1, yang memprogram dan mengikuti kegiatan PPL
pada Semester I, Tahun Akademik 1983-1984. Jumlah subyek penelitian ini adalah
42 mahasiswa untuk kategori eksperimental dan 62 orang mahasiswa untuk kategori
kelompok kontrol. Berdasarkan penelitian eksperimen ini disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Untuk
penilaian keseluruhan, yang mencakup persiapan tertulis dan pelaksanaan
mengajarnya di kelas, kategori kelompok eksperimental menunjukkan prestasi
keberhasilan lebih tinggi daripada kelompok kontrol.
2.
Untuk
menilai persiapan tertulis, kedua kategori kelompok tidak menunjukkan perbedaan
yang berarti.
3.
Khusus
mengenai pelaksanaan praktek mengajar di kelas, kategori kelompok eksperimental
menunjukkan prestasi keberhasilan yang lebih tinggi daripada kategori kelompok
kontrol.
Demikianlah,
sehingga Mantja menyimpulkan bahwa kelompok mahasiswa yang dibimbing dengan
menggunakan supervisi klinik menunjukkan prestasi keberhasilan yang lebih
tinggi jikalau dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang dibimbing secara
tradisional. Dengan ini pula hasil penelitian menunjukkan efektifitas supervisi
klinik dalam pembimbingan praktek mengajar mahasiswa.
Penjelasan
konsep supervisi klinik dan beberapa hasil penelitian tentang keefektifannya
membawa kita untuk menyakini betapa pentingnya supervisi klinik sebagai satu
pendekatan dalam mengembangkan pengajaran guru. Sudah seharusnyalah setiap
supervisor pengajaran berusaha untuk menerapkannya bagi guru-guru yang menjadi
kawasan tanggung jawabnya. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana
prosedurnya.
Menurut Cogan
(1973) ada delapan kegitan dalam supervisi klinik yang dinamainya dengan siklus
supervisi klinik. Di sini istilah siklus mengandung dua pengertian pertama.,
prosedur supervisi klinik terdiri dari sejumlah tahapan yang merupakan proses
yang berkesinambungan. Kedua, hasil pertemuan tahap akhir menjadi masukan untuk
tahap pertama pada siklus berikutnya. Kedelapan tahap yang dikemukakan oleh
Cogan adalah sebagai berikut (1) tahap membangun dan memantapkan hubungan
guru-supervisor, (2) tahap perencanaan bersama guru, (3) tahap perencanaan
strategi observasi, (4) tahap observasi pengajaran, (5) tahap analisis proses pembelajaran,
(6) tahap perencanaan strategi pertemuan, (7) tahap pertemuan, dan (8) tahap
penjajakan rencana pertemuan berikutnya.
Menurut Mosher
dan Purpel (1972) ada tiga aktivitas dalam proses supervisui klinik, yaitu (1)
tahap perencanaan, (2) tahap observasi, dan (3) tahap evaluasi dan analisis.
Menurut Oliva (1984) ada tiga aktivitas esensial dalam proses supervisi klinik,
yaitu (1) kontak dan komunikasi dengan guru untuk merencanakan observasi kelas
(2) observasi kelas, dan (3) tindak lanjut observasi kelas. Sedangkan menurut
Goldhammer, Anderson, dan Krajewski (1981) ada lima kegiatan dalam proses
supervisi klinik, yang disebutnya dengan sequence of supervision, yaitu (1)
pertemuan sebelum observasi (2) observasi, (3) analisis dan strategi, (4)
pertemuan supervisi, dan (5) analisis sesudah pertemuan supervisi.
Demikianlah,
walaupun berbeda deskripsi pada para teriotisi di atas tentang langkah-langkah
proses supervisi klinik, sebenarnya langkah-langkah ini bisa dikembalikan pada
tiga tahap esensial yang berbentuk siklus, yaitu (1) tahap pertemuan awal, (2)
tahap observasi mengajar, dan (3) tahap pertemuan balikan. Dalam buku ajar sederhana ini penulis lebih cenderung membagi
siklus supervisi klinik menajdi tiga tahap juga sebagaimana tersebut di atas.
Deskripsi demikian juga dikemukakan oleh Acheson dan Gall (1987), Alexander
Mackie College of advanced Education (1981) dan Mantja (1984).
1. Tahap
Pertemuan Awal
Tahap pertama
dalam proses supervisi klinik adalah tahap pertemuan awal (preconference).
Pertemuan awal ini dilakukan sebelum melaksanakan observasi kelas sehingga
banyak juga para teoritisi supervisi klinik yang menyebutkan dengan istilah
tahap pertemuan sebelum observasi (preobservation Conference). Menurut
Sergiovanni (1987) tidak ada tahap yang lebih penting daripada tahap pertemuan
awal ini.
Tujuan utama
pertemuan awal ini adalah untuk mengembangkan, bersama antara supervisor dan
guru, kerangka kerja observasi kelas yang akan dilakukan. Hasil akhir pertemuan
awal ini adalah kesepakatan (contract) kerja antara supervisor dan guru. Tujuan
ini bisa dicapai apabila dalam pertemuan awal ini tercipta kerja sama, hubungan
kemanusian dan komunikasi yang baik antara supervisor dengan guru. Selanjutnya
kualitas hubngan yang baik antara supervisor dan guru memiliki pengaruh
signifikan terhadap kesuksesan tahap berikutnya dalam proses supervisi klinik.
Oleh sebab itu para teoritisi banyak menyarankan agar pertemuan awal ini,
dilaksanakan secara rileks dan terbuka. Perlu sekali diciptakan kepercayaan
guru terhadap supervisor, sebab kepercayaan ini akan mempengaruhi efektivitas
pelaksanaan pertemuan awal ini. Kepercayaan ini berkenaan dengan kenyakinan
guru bahwa supervisor memperhatikan minat atau perhatian guru.
Pertemuan
pendahuluan ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Dalam pertemuan awal ini
supervisor bisa menggunakan waktu 20 sampai 30 menit, kecuali jika guru
mempunyai permasalahan khusus yang membutuhkan diskusi panjang. Pertemuan ini
sebaiknya dilaksanakan di satu ruangan yang netral, misalnya kafetaria, atau
bisa juga di kelas. Pertemuan di ruang kepala sekolah atau supervisor
kemungkinannya akan membuat guru menjadi tidak bebas. Secara teknis, ada
delapan kegiatan yang harus dilaksanakan dalam pertemuan awal ini, yaitu (1)
menciptakan suasana yang akrab dan terbuka, (2) mengidentifikasi aspek-aspek
yang akan dikembangkan guru dalam pengajaran. (3) menerjemahkan perhatian guru
ke dalam tingkah laku yang bisa diamati, (4) mengidentifikasi prosedur untuk
memperbaiki pengajaran guru, (5) membantu guru memperbaiki tujuannya sendiri
(6) menetapkan waktu observasi kelas, (7) menyeleksi instrumen observasi kelas,
dan (8) memperjelas konteks pengajaran dengan melihat data yang akan direkam.
Goldhammer,
Anderson, dan Krajewski (1981) mendeskripsikan satu agenda yag harus dihasilkan
pada akhir pertemuan awal. Agenda tersebut adalah :
a.
Menetapkan
kontrak atau persetujuan antara supervisor dan guru tentang apa saja yang akan
diobservasi.
1)
Tujuan
instruksional umum dan khusus pengajaran
2)
Hubungan
tujuan pengajaran dengan keseluruhan program pengajaran yang diimplementasikan.
3)
Aktivitas
yang akan diobservasi
4)
Kemungkinan
perubahan formal aktivitas, sistem, dan unsur-unsur lain berdasarkan
persetujuan interaktif antara supervisor dan guru.
5)
Deskripsi
spesifik butir-butir atau masalah-masalah yang balikannya diinginkan guru.
b.
Menetapkan
mekanisme atau aturan-aturan observasi meliputi :
1)
Waktu
(jadwal) observasi
2)
Lamanya
observasi
3)
Tempat
observasi
c.
Menetapkan
rencana spesifik untuk melaksanakan observasi meliputi:
1)
Dimana
supervisor akan duduk selama observasi
2)
Akankah
supervisor menjelaskan kepada murid-murid mengenai tujuan observasinya jika
demikian, kapan sebelum ataukah setelah pelajaran.
3)
Akankah
supervisor mencari satu tindakan khusus.
4)
Akankah
supervisor berinteraksi dengan murid-murid
5)
Perlukah
adanya material atau persiapan khusus
6)
Bagaimanakah
supervisor akan mengakhiri observasi
0 Komentar Tog Bhe Maseh: